Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Fatwa Kremasi Jenazah Korban Covid-19, Mungkinkah?

17 April 2020   16:22 Diperbarui: 17 April 2020   16:34 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramainya berita penolakan sebagian kalangan masyarakat Indonesia di beberapa daerah terhadap jenazah korban COVID-19 yang akan dikuburkan memang cukup memprihatinkan. Terlepas dari pola komunikasi dan sosialisasi pemerintah kepada masyarakat tentang protokol pemulasaraan atau pengurusan jenazah korban virus Korona tersebut, keberatan masyarakat antara lain di Depok (Jawa Barat), Ungaran (Jateng), dan di beberapa tempat di Sulawesi tersebut layak diperhatikan.

Sebagai warga masyarakat yang berdomisili di kawasan lokasi penguburan atau pemakaman jenazah COVID-19 tersebut, wajar mereka merasa khawatir atas kesehatan mereka dan keluarga terhadap penyebaran virus Korona yang mematikan dari jenazah yang akan dikuburkan.

Di sisi lain, jenazah-jenazah tersebut juga punya hak untuk dimakamkan segera.

Terlebih lagi dalam ajaran agama Islam yang merupakan agama mayoritas di Indonesia, kewajiban pengurusan termasuk penguburan jenazah Muslim atau Muslimah merupakan fardhu kifayah, yang bermakna kewajiban kolektif atau bersama bagi penduduk di suatu tempat.

Artinya, jika ada jenazah warga atau yang berada di suatu tempat yang tidak segera atau tidak dapat dikuburkan maka itu akan menjadi dosa kolektif yang ditanggung bersama oleh seluruh penduduk yang berdomisili di tempat tersebut.

Sementara itu, mengingat kian masifnya persebaran virus Korona atau Corona hari ini seiring arus pergerakan orang dari episentrum COVID-19 seperti Jabodetabek ke berbagai wilayah di Indonesia jelang bulan puasa dan juga meningkatnya tingkat kematian akibat COVID-19, kendati Corona bukan aib, kekhawatiran akan meningkatnya kebutuhan lahan pemakaman para korban virus Korona juga perlu dipikirkan.

Tidak heran, sama seperti ketika terjadi bencana tsunami Aceh pada 2004 dengan jumlah korban besar dalam waktu bersamaan, muncul wacana kremasi jenazah korban COVID-19 dengan pertimbangan efisiensi proses dan pengiritan lahan pemakaman yang ada.

Pasca-tsunami Aceh 2004, salah seorang intelektual Muslim, Profesor Nazaruddin Umar (kini Imam Masjid Negara Istiqlal Jakarta), pernah mengusulkan wacana kremasi bagi para korban tsunami jika jumlah korban yang teramat besar dalam waktu yang bersamaan itu menimbulkan bahaya kesehatan masyarakat.

Dengan sandaran kaidah fikih "mendahulukan mencegah kemudharatan", tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang pernah menjabat sebagai wakil menteri agama di era kepresidenan SBY tersebut memandang kremasi bagi jenazah Muslim merupakan suatu ijtihad dan pengecualian khusus, yang dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu.

Tapi tampaknya wacana itu tidak bersambut, karena tidak ada kabar kremasi jenazah Muslim yang dilakukan saat itu. Juga terdapat pro-kontra terutama di kalangan umat Islam tentang usulan metode kremasi yang berbeda dari praktik dan tradisi kebiasaan pemakaman yang biasa diselenggarakan oleh kalangan Muslim.

Yang ada adalah penguburan massal para korban tsunami dalam suatu lubang besar untuk menghindari penyebaran penyakit jika tumpukan mayat tersebut dibiarkan terlalu lama bergelimpangan atau tidak dikuburkan.

Dalam konteks pandemi COVID-19, pro-kontra kremasi jenazah korban Corona juga terjadi di Inggris yang mayoritas Kristen Anglikan ketika kalangan minoritas Muslim dan Yahudi menolak rencana pemerintah Inggris untuk mengkremasi jenazah korban COVID-19 untuk mencegah risiko penyebaran infeksi virus Korona.

Sebagaimana dikutip dari Republika, lebih dari 137 ribu orang menandatangani petisi daring (online) di Change.org untuk menolak kremasi atas jenazah korban COVID-19.

Ilustrasi kremasi di krematorium/Sumber: wikipedia.org
Ilustrasi kremasi di krematorium/Sumber: wikipedia.org

Menurut salah satu kelompok advokasi Muslim Inggris, MEND, yang turut menggalang aksi penolakan tersebut, kesucian mayat dan pentingnya penguburan dengan upacara agama merupakan komponen integral dari praktik keagamaan bagi umat Islam serta orang Yahudi.

Dengan demikian, menurut argumen MEND yang mewakili kalangan penolak kremasi jenazah, "Kremasi dilarang dalam Islam dan Yudaisme dan karena itu, kemungkinan memaksakan kremasi pada orang-orang yang dicintai dari komunitas-komunitas ini akan menambah penderitaan dan trauma lebih lanjut bagi keluarga-keluarga yang berduka."

Baca Juga: Rencana Kerusuhan 18 April 2020 oleh Anarko Sindikalis

Landasan dalil penguburan jenazah

Dalam Al-Qur'an, kitab suci agama Islam, dalam Surah 'Abasa, surah ke-80, ayat 18 sampai ayat 21, Allah berfirman: "Dari apakah Dia (Allah) menciptakannya (manusia)? Dari setetes mani, Dia menciptakannya lalu menentukannya (takdir manusia). Kemudian jalannya Dia mudahkan, kemudian Dia mematikannya lalu Dia tetapkan untuk dikuburkan."

Dalam Surah Thaha ayat 55, juga disebutkan firman Allah bahwa "Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain".

Lalu dalam Hadis Rasulullah Muhammad Shallahu 'Alaihi Wassalam (SAW) disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Segerakanlah pemakaman jenazah. Jika dia orang baik, berarti kalian telah mempercepat kebaikan untuknya, dan jika dia bukan orang saleh, berarti kalian telah menyingkirkan kejelekan dari pundak kalian." (Hadis Riwayat Bukhari No. 1315 dan Hadis Riwayat Muslim No. 944)

Kremasi jenazah juga dianggap menyakiti dan menghinakan jenazah yang telah wafat.

Hal itu berdasarkan salah satu hadis Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Malik, Ibnu Majah dan Abu Daud: "Suatu hari kami menghadiri pemakaman jenazah bersama Rasulullah lalu beliau duduk di tepi kuburan, kami pun duduk bersama beliau, tiba-tiba penggali kubur mengeluarkan tulang dari galiannya dan ingin mematahkannya, namun dilarang oleh Rasulullah, yang berkata, "Jangan kau patahkan tulang itu, karena mematahkan tulang orang yang telah mati sama dengan mematahkannya pada waktu hidup. Sisipkanlah (tulang tersebut) di samping kuburan itu".

Di samping itu juga diyakini bahwa penguburan jenazah pada kedalaman tertentu di tanah akan mematikan bakteri dan virus yang berada pada tubuh jenazah yang bersangkutan, sehingga tidak membahayakan bagi keluarga, para pelayat maupun penduduk sekitar.

Ruang ijtihad

Lantas, apakah terbuka peluang bagi kalangan ulama Indonesia, dalam hal ini MUI, untuk mengeluarkan fatwa kremasi jenazah Muslim mengingat pertimbangan menghindari potensi benturan sosial di masyarakat, potensi penyebaran virus Korona dan keterbatasan lahan pemakaman?

Berdasarkan kaidah ushul fikih "dar'ul mafasid muqoddam 'ala jalbil masholih" (menghindarkan kemudharatan atau kerusakan atau kerugian lebih diutamakan daripada upaya mengambil keuntungan atau kebaikan), dengan mempertimbangkan syarat dan kondisi tertentu, ruang ijtihad (pemikiran atau inovasi baru) memang selalu terbuka.

Kaidah itu juga yang dipegang oleh kalangan ulama Islam arus utama (mainstream) di Indonesia dari zaman ke zaman untuk mengeluarkan fatwa atas segala persoalan umat Islam.

Termasuk ketika menyikapi merebaknya virus Korona saat ini, dengan mengeluarkan fatwa MUI tentang peniadaan sholat Jumat dan sholat lima waktu berjamaah selama masih berjangkitnya COVID-19 di daerah-daerah yang tergolong Red Zone (Zona Merah) COVID-19, seperti Jabodetabek dan beberapa provinsi lainnya di Indonesia. Juga termasuk fatwa pemulasaraan jenazah Muslim positif Korona dengan perlakuan khusus dan penggunaan peti mati yang tidak lazim bagi pengurusan jenazah Muslim yang meninggal bukan karena virus Korona.

Jauh sebelum itu, terkait penguburan, kalangan alim ulama Jakarta melalui Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jakarta pada 1970-an mengeluarkan fatwa "pemakaman tumpang" yakni dibolehkannya menguburkan jenazah secara bertumpuk (sepanjang masih ada hubungan keluarga satu sama lain) dalam satu liang lahat.

Hal itu untuk merespons permohonan fatwa dari Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin yang mengkhawatirkan mulai terbatasnya lahan pemakaman di ibu kota Jakarta saat itu. Salah satu Tempat Pemakaman Umum (TPU) milik pemerintah yang menjadi tempat awal model pemakaman tumpang tersebut adalah TPU Tanah Kusir di Jakarta Selatan.

Dalam kurun waktu yang lebih jauh lagi, sebelum dilakukannya perjalanan haji dengan pesawat terbang yang berawal pada 1950-an, para ulama Nusantara mengeluarkan fatwa dibolehkannya melakukan penguburan di laut bagi para calon jemaah haji (calhaj) yang meninggal dunia selama perjalanan berhaji dengan kapal laut.

Perjalanan haji melalui laut yang dapat memakan waktu berbulan-bulan hingga setengah tahun membutuhkan stamina yang ekstra besar dan kesehatan prima, sehingga tak ayal banyak calhaj yang wafat di tengah jalan. 

Dan, demi menghindari masalah kesehatan yang berasal dari jenazah terhadap seisi kapal (para calhaj lain dan para anak buah kapal), penguburan saat itu pun dilakukan dengan menenggelamkan jenazah yang telah dibungkus dengan pelapis khusus ke laut dengan pemberat tertentu agar tidak mengambang atau mengapung.

Alhasil, tentunya peluang keluarnya fatwa MUI tersebut masih dimungkinkan dengan mempertimbangkan segala kondisi yang ada termasuk faktor kian memburuknya tingkat persebaran dan kematian akibat virus Korona di Indonesia dan juga tingkat ketersediaan dan kapasitas krematorium di Indonesia.

Toh, saat ini posisi Indonesia belumlah seperti Filipina yang kini menduduki puncak daftar positif Korona tertinggi di Asia Tenggara, sehingga dirasa wajar bagi pemerintah mereka mengeluarkan perintah kremasi jenazah (itu pun dengan pengecualian untuk jenazah Muslim dan Yahudi) maksimal dalam waktu 12 jam untuk tidak menambah masalah penyebaran virus Korona lebih jauh lagi.

Dan juga Indonesia tidak seperti Ekuador, suatu negara miskin di Amerika Latin, yang kewalahan menangani amukan pandemi COVID-19 sehingga tak mampu menangani penyebaran infeksi tersebut sehingga pemandangan bergelimpangan mayat-mayat korban COVID-19 di jalan merupakan hal yang umum sebagaimana diberitakan banyak kantor berita internasional.

Sejatinya fatwa kremasi jenazah tersebut adalah kemungkinan langkah paling terakhir dan terburuk yang diambil sekiranya kondisi kian memburuk. Dan kita semua berharap agar negeri ini tidak kian terpuruk dan terbenam dalam pusaran pandemi virus Korona sehingga tidak harus mengambil langkah ekstrem dan memilukan tersebut.

Semoga.

Jakarta, 17 April 2020

Referensi: NU, Doripos, Republika, ABC

Baca Juga: Kasus Stafsus Milenial dan Terbantahnya Teori "Orang Baik" dan Katebelece Andi Taufan Garuda Putra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun