Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Katebelece Topan

15 April 2020   14:18 Diperbarui: 15 April 2020   14:18 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain wabah virus Korona, Indonesia tengah diramaikan dengan berita topan. Bukan topan si angin ribut. Tapi Andi Taufan Garuda Putra, sang tokoh muda pendiri suatu perusahaan pembiayaan teknologi finansial (tekfin) yang masyhur dan kini telah menjadi salah seorang staf khusus Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama beberapa tokoh kaum langgas (milenial) berprestasi lainnya.

Ramainya pun bukan soal prestasi bos Amartha itu, tetapi perihal surat Taufan berkop Sekretariat Kabinet (Setkab) kepada para camat di Indonesia agar membantu aktivitas perusahaan tekfin miliknya tersebut di wilayah kekuasaan mereka masing-masing dalam upaya penanggulangan COVID-19.

Terlepas dari apakah itu terindikasi praktik korupsi karena penyalahgunaan kekuasaan atau sekadar kekurangpahaman atas administrasi kepemerintahan, surat sang stafsus milenial itu dapat dikategorikan sebagai "katebelece".

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), "katebelece" adalah "(1) surat pendek untuk memberitakan hal seperlunya saja; (2) surat pengantar dari pejabat kepada pihak lain untuk urusan tertentu".

Di era Orde Baru (1966-1998), katebelece juga biasa disebut "surat sakti". Karena kesaktiannya, lumrah saja saat itu banyak terjadi "keajaiban" dalam proses pemerintahan. Bahkan konon banyak anak pejabat negara yang berhasil diterima di universitas negeri bergengsi di negeri ini kendati nilai ujian masuk tak mencukupi. Itu semua karena katebelece yang sakti itu.

Namun, jauh sebelum Orde Baru, praktik ilegal seperti itu juga lazim dikenal, baik di era Orde Lama maupun era sebelumnya, termasuk era VOC Belanda.

Baca Juga: False Friend, Kawan Palsu yang Kadang Lucu

Bahkan kata "katebelece" sendiri berasal dari bahasa Belanda, yakni "kattebelletje" yakni "sehelai kertas bertulisan; surat yang ditulis pada sobekan kertas, pendek dan tak rapi" (Kamus Umum Belanda Indonesia, Prof. Drs. S. Wojowasito, Jakarta, Penerbit Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999).

Pada awalnya, surat sakti itu hanya berupa secarik atau sehelai selipan kertas dengan maksud agar tidak mudah diketahui orang lain, atau untuk menghindari pemantauan atau pengawasan birokrasi.

Seiring zaman, selipan kertas itu pun bertransformasi menjadi surat legal bercap resmi, dalam bentuk rapi, dan bersifat terbuka. Namun, esensinya tetap sama, penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Dampak kerusakannya pun tetap sama, meluluhlantakkan, seperti akibat terjangan angin taufan (versi tidak baku dari "topan") yang melanda.

Alhasil, sebut saja itu "katebelece topan".

Jakarta, 15 April 2020

Baca Juga: Haruskah Fanatik Pada KBBI? dan Tumben I Gede Banget 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun