Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tegal yang Menginspirasi "Lockdown" Nasional

29 Maret 2020   17:05 Diperbarui: 30 Maret 2020   06:15 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono dan Gubernur Jateng Ganjar Pranowo/Sumber: teropongsenayan.com

Karakter orang Tegal yang tegas dan blak-blakan, apa adanya, jelas terbukti dalam beberapa hari belakangan di akhir bulan Maret ini. Itu yang ditunjukkan Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono yang berencana melakukan local lockdown selama empat bulan atas Kota Tegal sejak 30 Maret 2020 berupa pembatasan atau penutupan akses ke kota asal para perantau pengusaha Warung Tegal (Warteg) di Jakarta tersebut.

Selain karena sudah ada warga kota yang terletak di Provinsi Jawa Tengah tersebut yang meninggal dunia karena infeksi COVID-19, local lockdown atau karantina (wilayah) lokal tersebut juga dilakukan untuk mengantisipasi arus pemudik asal Jakarta yang memasuki Tegal. Saat ini di antara 1200-an kasus positif Korona nasional, sekitar separuh lebih berasal dari DKI Jakarta.

Di samping itu, beredarnya berita tentang melonjaknya angka positif Korona di Jawa Tengah yang disebabkan serbuan pemudik dari Jakarta tentu menjadi perhatian serius bagi sang wali kota yang belum genap berusia 40 tahun tersebut.

Dalam UU No. 6 Tahun 2018, Karantina Wilayah atau Lockdown didefinisikan dalam Pasal 1 dalam undang-undang tersebut sebagai “pembatasan penduduk dalam suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.

Sementara definisi “Pintu Masuk” dalam pasal yang sama adalah “tempat masuk dan keluarnya alat angkut, orang, dan/atau barang, baik berbentuk pelabuhan, bandar udara, maupun pos lintas batas negara”.

Dan tanggung jawab penyelenggaraan karantina wilayah (lockdown) yang termasuk dalam jenis tindakan Kekarantinaan Kesehatan di tingkat negara atau nasional tersebut diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 yang berbunyi sebagai berikut: “Pemerintah Pusat bertanggung jawab menyelenggarakan kekarantinaan kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu”.

Alhasil, memang benar sebagaimana apa yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, sewaktu muncul wacana Jakarta Lockdown dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bahwa lockdown adalah wewenang pemerintah pusat. Memang benar, namun itu di tingkat negara atau nasional.

Jadi, apa yang dilakukan pemerintah Kota Tegal dengan istilah local lockdown atas Kota Tegal sah-sah saja dan tidak menyalahi aturan hukum yang ada.

Dalam konteks hierarki pemerintahan, tentu Ganjar Pranowo sebagai Gubernur Jawa Tengah, yang notabene atasan Wali Kota Tegal, tidak akan “merestui” tindakan Dedy Yon Supriyono jika dianggapnya melanggar regulasi yang ada.

“Restu” dari Ganjar tersebut, setidaknya dengan pengajuan istilah eufemistik dari Ganjar yakni pada awalnya “isolasi kampung” (yang kemudian menjadi "isolasi wilayah") atas rencana local lockdown dari bawahannya tersebut, dapat dibaca sebagai upaya melindungi Dedy dari tekanan pemerintah pusat yang terkesan alergi dengan wacana lockdown, hatta di tingkat apa pun.

Dan sebagai kader PDIP, sebagai partai penguasa dan partainya Jokowi sekaligus partai utama pendukung pemerintahan saat ini, Ganjar jelas tak mungkin menentang Ibu Mega sebagai pimpinan partainya atau melawan Jokowi yang merupakan atasan sekaligus rekan separtainya di PDIP.

Jika pun tidak demikian, hal itu juga dapat dibaca sebagai ekspresi komitmen kerakyatan seorang Ganjar Pranowo yang mantan aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), sayap mahasiswa dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno, yang kental dengan ideologi sosial kerakyatan Marhaenisme.

Alhasil, jika Tegal Lockdown sah secara hukum, demikian juga jika sekiranya kelak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengeksekusi wacana karantina lokal atas Jakarta (Jakarta Lockdown) seiring semakin parahnya penyebaran COVID-19 di wilayah kekuasaannya tersebut. Itu juga suatu hal yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dalam yurisdiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Akan tetapi, terkait status DKI Jakarta sebagai ibu kota negara yang sedikit banyak bersinggungan dengan domain kewenangan pemerintah pusat, tentulah tak bakal sesederhana apa yang dilakukan Kota Tegal. Namun, sekali lagi, Jakarta Lockdown jelas sah dan punya legitimasi dasar hukum yang tak bisa dinafikan oleh pemerintah pusat.

Dan ketegasan Wali Kota Tegal Dedy Yon Supriyono untuk melakukan Tegal Lockdown dengan pernyataan heroiknya bahwa “lebih baik dibenci daripada maut menjemput warga” jelas dapat menginspirasi kota-kota lain untuk melakukan hal serupa demi kemaslahatan warga kota mereka masing-masing.

Sebetulnya, terkait local lockdown, Kota Tegal bukanlah yang pertama. Dari catatan CNN Indonesia, sudah ada beberapa daerah yang mewacanakan local lockdown atau karantina lokal. Antara lain Papua, Kalimantan Timur, Aceh, Maluku, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bahkan Kota Solo, yang merupakan kota asal Presiden Jokowi, per 13 Maret 2020 menyatakan status Kejadian Luar Biasa (KLB), yang diistilahkan oleh Wali Kota Solo Hadi Rudyatmo sebagai semi-lockdown, berupa penutupan sekolah atau lembaga pendidikan selama 14 hari; penutupan destinasi wisata; pelarangan acara terbuka dengan jumlah massa besar, dan pembatalan acara Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day (CFD).

Pernyataan sikap Hadi Rudyatmo juga tak kalah tegas. “Mending saya disalahkan orang waras daripada disalahkan orang sakit,” ujar mantan Wakil Wali Kota Solo di era Jokowi menjabat sebagai Wali Kota Solo tersebut.

Kendati, dalam pandangan UU No. 6 Tahun 2018, sejatinya apa yang dilakukan Kota Solo itu lebih merupakan “Pembatasan Sosial Berskala Besar” (Social Distancing) alih-alih Local Lockdown, karena tidak sampai membatasi atau menutup akses keluar masuk kota.

Menurut Pasal 1 UU No. 6 Tahun 2018, definisi “Pembatasan Sosial Berskala Besar” adalah “pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran penyakit atau kontaminasi”.

Apa pun itu, komitmen dan ketegasan para kepala daerah tersebut patut diapresiasi setinggi-tingginya. Jika pimpinan nasional atau pemerintah pusat terlihat gamang menetapkan status lockdown atau karantina wilayah secara nasional dengan pertimbangan ekonomi, misalnya, tentu dapat dimaklumi dan sah-sah saja jika daerah-daerah yang lebih dulu bergerak atau berinisiatif sendiri melakukan local lockdown di wilayahnya masing-masing selama ada celah hukum yang memungkinkan.

Dalam konteks strategis, inilah implementasi teori “desa mengepung kota” (DMK), yang diperkenalkan oleh Mao Tse Tung atau Mao Zedong, sang pemimpin Revolusi China pada 1920-an. Belakangan istilahnya diperhalus dan dilokalkan sebagai teori “makan bubur panas”, dimulai dari pinggiran yang kemudian meluas ke tengah atau bagian pusat.

Dalam konteks politis, bagi Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang kini posisinya terjepit antara aspirasi Jakarta Lockdown dari masyarakat terkait kondisi kotanya yang memburuk dan tekanan pemerintah pusat yang lebih memilih social distancing yang cenderung tidak efektif karena tingkat kedisiplinan warga yang rendah, hal ini cukup memberikan ruang untuk mendesakkan dan mengeksekusi wacana Jakarta Lockdown sesegera mungkin.

Jika semakin banyak daerah seperti Kota Tegal yang mengimplementasikan local lockdown di berbagai wilayah di Indonesia, sedikit banyak hal itu akan memaksa pemerintah pusat untuk setidaknya mempertimbangkan wacana lockdown berskala nasional, yang pada awalnya ditolak mentah-mentah.

Jika saja Anies Baswedan mau dan lebih lihai memainkan kartu trufnya sebagai ketua umum Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) periode 2019-2023 (yang, dalam proses pemilihannya, sukses menumbangkan Gubernur Jabar Ridwan Kamil yang notabene relatif lebih dekat dengan Presiden Jokowi) untuk menggalang gerakan Local Lockdown berskala nasional bersama para kolega kepala daerahnya, tak pelak wacana National Lockdown atau karantina (wilayah) nasional tidak bisa lagi diremehkan.

Kendati, sejujurnya, dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang lebih awal dan lebih tegas mengarantina negaranya seperti India, Singapura, Filipina dan Malaysia, Indonesia agak terlambat. 

Tapi, bukankah better late than never? Lebih baik telat daripada tidak sama sekali. Karena perkara wabah virus Korona saat ini tidak lagi terkait urusan ekonomi atau devisa semata, tetapi urusan nyawa manusia, yang tak bisa ditabung atau dicari jika sudah sirna.

Terlebih lagi, berdasarkan rekomendasi dari Tim Ahli Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI) kepada Bappenas, jika tidak ada intervensi negara yang lebih tegas, maka diestimasikan bakal ada 2,5 juta penduduk Indonesia yang terinfeksi virus Korona.

Kelak dalam catatan sejarah dan memori publik bangsa Indonesia, Presiden Jokowi akan dikenang dalam upayanya memimpin negara ini menghadapi pandemi COVID-19 ini. Kini tinggal Jokowi yang memilih hendak dikenang seperti apa.

Jakarta, 29 Maret 2020

Referensi: CNN, Detik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun