Antara lain, pertimbangan eufemisme bahasa yang lazim dikenal di kalangan masyarakat Indonesia. Semisal pencuri uang kelas kakap justru disebut "koruptor" alih-alih "pencuri", "maling atau "pencoleng". Contoh lain, "Pekerja Seks Komersial" (PSK) untuk menggantikan istilah "Wanita Tuna Susila" (WTS) atau Perek (Perempuan Eksperimen) (yang sebenarnya pada awalnya adalah eufemisme untuk "pelacur" atau "lonte").
Namun, terkait kian mewabahnya COVID-19 sementara sebagian masyarakat masih membandel untuk melakukan pembatasan sosial atau tinggal di rumah saja sesuai imbauan pemerintah, tidak perlu lagi eufemisme yang justru memperlemah semangat perlawanan bersama terhadap virus Korona.
Hemat saya, gunakan saja istilah yang sama kerasnya tetapi juga taat asas bahasa Indonesia untuk padanan "Covidiot". Misalnya, "Gokor" (Goblok Korona) atau "Begor" (Bebal atau Bego Korona). Namun untuk istilah terakhir ini, mungkin malah diasosiasikan dengan "bebek goreng", suatu menu kuliner yang lebih dahulu populer dengan akronim "begor".
Bisa juga gunakan istilah "Idiokor" (Idiot Korona) atau "Pankor" (Pandir Korona). Dalam KBBI, "pandir" adalah "bodoh; bebal". Kata "pandir" sendiri merangkum makna "bebal" yang berarti "sukar mengerti" dan "bodoh". Dari segi bunyi atau pelafalan pun mirip dengan "pansos" atau "panjat sosial" yang populer di kalangan generasi milenial. Alhasil, istilah ini akan lebih lekat dan lebih mudah diterima kalangan muda, yang sebagian dari mereka termasuk kalangan yang dapat dikategorikan sebagai "Covidiot".
Lantas apa pentingnya sih semua sebutan itu?
Pelabelan atau, dalam bahasa yang lebih keras, stigmatisasi itu penting berdasarkan konteksnya. Selain mengandung unsur "efek kejut" (shock therapy) yang menggugah kesadaran publik, juga berfungsi menyatukan solidaritas kelompok atau, dalam konteks COVID-19 ini, bangsa dalam satu nada dan bahasa yang sama. Singkatnya, memisahkan secara tegas antara siapa yang waras dan siapa yang bebal atau idiot dalam menyikapi pandemi COVID-19 ini.
Belajarlah dari sejarah. Rezim Orde Baru (Orba) di bawah pimpinan Jenderal Soeharto (1967-1998) adalah rezim pemerintahan yang secara sadar dan efektif memahami dan mempraktikkan politik bahasa ini.
Sewaktu Presiden Soekarno di era Orde Lama (Orla) menyebut gerakan kup dan pembunuhan 7 jenderal TNI-AD pada 1965 sebagai "Gestok" atau "Gerakan Satu Oktober" (merujuk pada waktu kejadian pada dini hari 1 Oktober 1965, jelang subuh), Orba melabelinya "Gestapu" atau Gerakan September Tiga Puluh. Tidak tepat secara kronologi waktu, namun ada kemiripan bunyi dengan Gestapo, nama pasukan rahasia NAZI di Jerman yang dikenal kesadisannya membantai lawan politik Hitler. Belakangan kemudian istilah tersebut bergeser menjadi G-30S-PKI, dan kemudian G-30S selepas Reformasi 1998 yang menumbangkan Soeharto.
Akhirul kalam, apa pun nanti pelabelan atau istilah padanan yang lebih berterima atau populer di kalangan masyarakat Indonesia untuk padanan "Covidiot", apakah "koronorak", "kofidungu" atau "pankor", yang jelas kalangan yang bebal atau idiot atau pandir dengan menolak pembatasan sosial atau melakukan penimbunan barang selama pandemi COVID-19 tetap harus dilabelkan atau distigmakan.
Ini jelas dan harus karena kebebalan atau egoisme mereka membahayakan publik atau kalangan yang lebih luas baik karena kelakuan penimbunan barang yang menyebabkan lonjakan harga maupun karena perilaku egois yang berpotensi terpapar sebagai pasien positif Korona atau carrier (pembawa dan perantara penyakit) virus Korona.
Jakarta, 24 Maret 2020