Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Isra Miraj dan Tahun Kesedihan Indonesia

23 Maret 2020   09:06 Diperbarui: 23 Maret 2020   10:05 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: harakahislamiyah.com

Dua puluh tujuh Rajab 1441 Hijriah adalah saatnya peringatan Isra Miraj, salah satu hari besar kalangan Muslim atau penganut agama Islam.

Di tengah pandemi COVID-19 atau virus Korona dan dalam keadaan harus beraktivitas di rumah saja dalam rangka pembatasan sosial (social distancing), saya coba menuangkan refleksi Isra Miraj menurut versi saya.

Isra Miraj atau Isra Mikraj, menurut versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pada tahun 2020 ini jatuh pada Ahad, 22 Maret 2020.

Isra Mikraj tahun ini terasa berbeda. Bukan karena ramai atau meriahnya, tapi lebih karena sunyi dan kesepian yang melingkupinya. Untuk pertama kalinya tak ada peringatan Isra Mikraj, baik di tingkat lokal maupun nasional. Masjid, mushola, surau, dan langgar sunyi dari ceramah atau taushiyah Isra Mikraj yang biasanya bersahut-sahutan. Demikian juga Masjid Istiqlal di Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) nasional juga bergeming, sunyi.

Ya, Isra Mikraj tahun ini, terutama di Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta, "terpaksa" disunyikan. 

Sejak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menetapkan masa darurat bencana COVID-19 di Jakarta hingga bulan April, kendati belum diberlakukan karantina wilayah atau lockdown, seluruh warga ibu kota diminta mengurangi kegiatan di luar rumah. Perusahaan-perusahaan diminta menyetop kegiatan usaha dan industri hingga 5 April 2020. Sekolah-sekolah juga demikian. Alhasil, populerlah istilah WFH atau Work From Home (Bekerja Dari Rumah) dan SFH atau School From Home (Sekolah Dari Rumah).

Bahkan kegiatan sosial pelbagai lapisan masyarakat seperti resepsi pernikahan dan arisan dan juga aktivitas peribadatan untuk semua agama yang dilakukan secara massal atau berjamaah ditunda atau ditiadakan. Ini semua karena virus Korona yang sejauh ini per 22 Maret 2020 secara nasional telah menewaskan 48 orang dan menjangkiti ratusan orang dengan angka 514 orang terindikasi positif Korona.

Sebagai anak Betawi asli Jakarta yang lahir empat dasawarsa silam, ini hal baru yang pertama kalinya terjadi atau yang saya ketahui dan alami di kampung halaman sekaligus kota tercinta ini. Sedih memang. Saat setengah kebebasan terampas, tentu hasrat kemanusiaan berontak. Namun, apa daya, kiranya hanya sabar dan tawakal yang mampu membuat kita bertahan agar bencana ini segera berlalu dan semuanya lekas pulih kembali.

Dalam konteks Isra Mikraj, terasa ironis memang. Isra Mikraj yang sejatinya merupakan hadiah pelipur lara dari Allah untuk Rasulullah (Nabi Muhammad) yang dalam tahun yang sama ditinggal orang-orang tercintanya yang juga para pendukung utama perjuangan dakwahnya di masa awal kenabian, yakni sang paman Abu Thalib dan sang istri Khadijah, kini justru harus diperingati dalam suasana sedih.

Jika tahun ketika Rasulullah ditinggal orang-orang tercinta disebut Amul Huzni (Tahun Kesedihan), maka dapat dikatakan tahun 2020 ini adalah Amul Huzni bagi Indonesia, tahun kesedihan.

Namun sebenarnya, masih dalam konteks Isra Mikraj, Allah telah mengisyaratkan suatu hal gembira. Firman-Nya dalam Surah Al-Insyirah adalah jelas, terang benderang. Inna ma'al 'usri yusro, bersama kesulitan terdapat kemudahan. 

Bukankah di saat Isra Mikraj diturunkan perintah sholat lima waktu? Bagi Muslim, sebagaimana disabdakan Rasulullah dalam salah satu hadisnya, sabar dan sholat adalah senjata dan pelindung, bukan hanya kewajiban.

Dalam konteks itu, bagi segelintir kalangan Muslim yang saat ini tetap memaksa bahkan nekat, hingga mencitrakan diri sebagai paling beriman, untuk tetap sholat berjamaah di musholla atau masjid, kendati berisiko terpapar COVID-19 baik sebagai pasien maupun perantara penyakit (carrier), tak perlulah berlaku sok jago.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan para ulama serta habaib sudah jelas, untuk menunda dulu aktivitas ibadah berjamaah dalam kondisi wabah penyakit (tha'un) dahsyat seperti sekarang ini.

Toh, sholat lima waktu sementara ini masih bisa ditegakkan di rumah, bersama keluarga tercinta. Tentu ada hikmah di balik semua ini. Everything happens for a reason, tidak ada sesuatu yang kebetulan, tanpa sebab yang melatari atau hikmah yang dapat dipetik.

Justru kenekatan mendirikan sholat berjamaah di saat ini di suatu kawasan yang terdampak wabah penyakit yang jelas-jelas tidak dianjurkan oleh ulama dan pemerintah bukanlah aksi show of force keimanan sejati. Justru itulah tindakan yang bukan hanya tidak berakhlak atau konyol tetapi juga egois, bebal dan zalim.

Mengapa?

Bolehlah, selepas berjamaah, kita sehat tak terpapar virus Korona, mungkin karena imunitas kita tinggi.Tapi tak lantas kita aman-aman saja. Bisa jadi yang terpapar dan kemudian terindikasi positif yang berakibat kematian justru istri, anak, saudara, kerabat atau tetangga kita yang tertular karena berinteraksi dengan kita sebagai carrier (perantara atau pembawa virus Korona). Bisa jadi karena saat terpapar, daya tahan tubuh mereka lemah atau faktor usia.

Alhasil, di situlah kita secara tidak langsung telah berlaku zalim. Dan kezaliman, sekecil apa pun hatta sebesar butiran atom atau zarrah, akan ditanggung dan diperhitungkan nanti oleh Allah di Padang Mahsyar, saat semua dosa dan pahala kita ditimbang dengan mizan yang maha-adil. Sudah siapkah kita? Jika belum, dan pasti takkan siap, mari beristighfar dan bertobat. Minta ampun sungguh-sungguh kepada Allah.

Hal ini juga yang saya sampaikan dan tekankan kepada istri dan putera tunggal saya di rumah. Juga kepada teman-teman, saudara dan kolega di Jabodetabek yang sementara ini hanya dapat terhubung melalui grup Whatsapp (WA) atau media sosial seperti Facebook atau Instagram. Kami saling menasihati dan saling menguatkan dalam kondisi tak menentu seperti sekarang ini. Terlebih, dalam kalkulasi dan estimasi para pakar, Indonesia belumlah melewati masa puncak penyebaran virus Korona.

Berdasarkan analisis Badan Intelijen Nasional (BIN), salah satu lembaga negara yang secara khusus ditugaskan Presiden Jokowi untuk terjun dalam penanggulangan COVID-19, puncak penyebaran virus Korona diperkirakan terjadi pada bulan Ramadhan, yang berarti dimulai medio April hingga Mei 2020.

Secara nasional, pemerintah pusat telah menetapkan masa tanggap darurat bencana COVID-19 hingga Mei 2020. Alhasil,  perjuangan kita masih panjang, masih akan berlangsung hingga minimal dua bulan ke depan. Itu pun jika upaya pemerintah baik daerah maupun pusat cukup optimal dengan didukung kesediaan dan pengorbanan masyarakat Indonesia. Masalahnya, sudah siapkah kita semua untuk berkorban?

Di tingkat minimal, setidaknya untuk tetap taat pada ulil amri (pemerintah) untuk tetap di rumah dan mengurangi kegiatan di luar, dan juga berdonasi untuk kalangan medis sebagai garda terdepan dan juga bagi kalangan tak beruntung yang terdampak paling besar dari wabah COVID-19 ini.

Sebagaimana saya sebutkan di atas bahwa segala sesuatu ada hikmahnya.

Kenapa wabah virus Korona terjadi saat Isra Mikraj dan puncaknya diperkirakan saat Ramadhan? Barangkali Tuhan tengah mempersiapkan kita semua.

Dalam hadisnya, Rasulullah mengisyaratkan bahwa bulan Rajab dan Syakban adalah bulan persiapan sebelum Ramadhan. Ibaratnya, kedua bulan dalam Tahun Hijriah itu adalah pelatnas (pemusatan pelatihan nasional) sebelum ajang olahraga berskala besar seperti SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade.

Sejatinya Ramadhan sebagai bulan penempaan keimanan dan pembakar dosa dengan aktivitas puasa (shaum) dan ibadah lainnya seperti sholat Tarawih, sahur, zakat dan tilawah Al-Qur'an adalah puncak pemusatan aktivitas rohani kita. Dan Isra Mikraj yang jatuh pada 27 Rajab adalah alarm pengingat bahwa sedikit lagi kita memasuki Ramadhan; kita harus bersiap-siap. Bukankah sebagian persiapan adalah separuh kemenangan?

Dan jika kita sukses berjaya melalui Ramadhan, bukan hanya puncak kesalehan pribadi yang menjadi buahnya tetapi juga kesalehan sosial yang akan tercipta melalui aktivitas zakat, salah satunya. Dan ini bukan hanya berdampak baik bagi diri kita pribadi tetapi juga lingkungan dan bangsa ini secara umum.

Terlebih jika sesuai prediksi wabah virus Korona berpuncak saat Ramadhan maka di saat bulan suci kita pun akan didorong lebih intens dan khusyuk beribadah di tengah puncak salah satu ujian-Nya itu.

Tuhan tidak kejam, Ia tengah menguji kita, dan tengah membuktikan kebesaran-Nya bahwa manusia itu kecil dan hanya Ia yang Maha-Besar, Allahu Akbar.

Ketika kita sebagai manusia telah menyadari betapa kecilnya kita dan kemahabesaran Tuhan, di situlah puncak transendensi keimanan seseorang demi mencapai ridho-Nya.

Masalahnya, sanggupkah kita dan sabarkah kita? Tentu saja ini bukan hal mudah, semudah membalik telapak tangan. Dan kita pun butuh alarm yang mengingatkan sejauh mana persiapan dan ketahanan kita menghadapi semua ini.

Innalloha ma'as shobirin. Sesungguhnya Tuhan bersama orang-orang yang sabar.

Jakarta, 22 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun