Saat itulah terasa betul arti keberadaan seorang Kurijo yang selayaknya superman. Ia yang menyapu dan mengepel ruang kelas; membelikan makan siang bagi para pengajar; memarkirkan kendaraan pengantar siswa, atau merapikan sepeda siswa yang sering diparkir seenaknya, bahkan sampai mengusir kucing-kucing yang sengit berkelahi atau rusuh kawin di atas atap gedung. Namun semua itu tak lantas membuat derajat Kurijo dianggap setara.
Saat lembaga kursus itu mengalami defisit keuangan konon karena korupsi sebagian oknum pejabat kantor pusat sehingga gaji karyawan tertahan dan dibayarkan secara bertahap, Jo adalah karyawan terakhir yang mendapat amplop gaji.
Luar biasanya, tak pernah sekali pun ia mengeluh atau berusaha pinjam uang kepada kami saat tak punya uang. Hanya saja, saat itu ia terlihat lemas. Menurut salah satu staf administrasi, Jo sudah dua hari hanya minum air putih untuk menghemat uangnya. Alhasil, kami pun sepakat untuk urunan membelikannya nasi bungkus dan sekadar uang sangu.
Lalu apakah Jo dendam dengan segala perlakuan tidak adil itu? Apakah ia lantas pindah kerja sebagai tanda protes? Saya, yang saat itu juga mengajar di beberapa lembaga kursus lainnya, sering "memprovokasi" Jo untuk berhenti kerja dan mencari pekerjaan yang lebih baik di tempat lain.Â
Karena, bagi saya, dengan segala ketekunan dan kerja gila-gilaannya, Jo berhak mendapat penghasilan lebih dan perlakuan yang lebih manusiawi. Bagaimana pun, sebagai OB, Jo juga manusia.
"Ndak ah, Mas," jawab Jo dengan logat medok khas Tegalnya. "Kalau saya pindah, kasihan tempat kursus ini. Anak-anaknya juga kasihan, nggak ada yang ngurusin. Mereka kan sudah akrab sama saya. Lagian saya masih bujangan. Belum ada tanggungan, jadi ya tidak apa-apa."
Saat itu saya tertegun, dan merenung. Apakah saya yang terlalu materialistis atau Jo yang kelewat setia dengan konsep hidup nrimo ing pandum-nya?
Sayang sekali, karena saya hengkang lebih dahulu dari lembaga kursus itu sebelum terakhir setahun kemudian saya dengar tempat itu ditutup karena dampak korupsi yang tak tertanggulangi, tak ada lagi kontak dengan Kurijo Ortega sampai sekarang.
Andai saya bisa bertemu dengannya kembali, mungkin saya akan katakan kepadanya, "Jo, you are my hero."
Ya, ia pahlawan karena, kendati jauh lebih muda dari saya, secara tidak langsung mengajarkan banyak hal kepada saya tentang keikhlasan tanpa pamrih, kesabaran, profesionalisme kerja, dan juga menghargai perbedaan dalam hidup tanpa membeda-bedakan status atau latar belakang sosial ekonomi seseorang.
Jakarta, 15 Maret 2020