"Saya yang lebih pantas jadi ketua. Manusia tak bisa berpikir dan tidak ada apa-apanya tanpa saya!" balas Otak tak mau kalah. Berturut-turut Tangan, Kaki, Hati, Jantung, Ginjal dll saling berkampanye, saling mencela dan menonjolkan kelebihan masing-masing. Rapat pun mengalami deadlock atau kebuntuan.
"Sudahlah! Kenapa sih saling bertengkar? Kalian mau tahu pendapatku tidak?" Anus berusaha menengahi.
"Pendapatmu?!" tukas yang lain. "Buat apa? Kamu itu tidak pantas dibandingkan kami. Tempatmu di belakang, tempat manusia membuang kotorannya. Menjijikkan!"
Anus alias Dubur sangat kecewa. Esoknya ia mengumumkan mogok kerja. Alhasil, ekskresi pembuangan tinja manusia mogok total. Sang manusia tidak bisa buang hajat alias buang air besar.Â
Zat-zat beracun hasil metabolisme tubuh yang semestinya dibuang rutin terhambat untuk keluar. Zat-zat yang tidak terbuang itu berputar-putar kembali dalam sistem peredaran darah, hingga merusak ginjal. Merusak hati dan otak pun terhenti, karena tidak mendapat oksigen dari metabolism yang mendadak kacau.
Akhirnya seluruh fungsi organ tubuh terhenti. Manusia pun mati. Semata-mata karena Anus, yang diremehkan dan dinegasikan fungsinya, memilih mogok kerja.
Dalam sebuah struktur bangunan, semua elemennya mulai dari semen, kayu, besi cor dan sebagainya ditempatkan sesuai fungsinya untuk saling menguatkan.Â
Tidak ada yang statusnya hina atau rendah. Besi cor tidak hina hanya karena ia berada di dalam, tidak terlihat atau menonjol keluar. Justru jika ia menonjol keluar, itu hal yang berbahaya sekaligus merusak harmoni arsitektur yang ada.
Demikian juga dengan keberadaan OB.
Sekitar 2002, delapan belas tahun silam, saat saya menjadi pengajar pada salah satu lembaga kursus bahasa Inggris di bilangan Jakarta Timur, saya berkawan akrab dengan satu-satunya OB lembaga kursus itu. Jo, panggilannya, kependekan dari Kurijo, bukan Johanes atau Joshua. Ia lajang Ortega, Orang Tegal Asli. Hanya tamatan SMP di kampungnya, dan bergaji 300 ribu sebulan dengan jam kerja yang nyaris 24 jam sepekan sebagai penjaga kantor. Namun ia tipe pekerja keras yang sangat pendiam dan nyaris tak pernah mengeluh.
Hanya sekali, yang saya ingat, Jo ngambek dan mogok kerja; pergi ke rumah saudaranya. Itu karena gajinya yang secuil itu disunat oknum staf administrasi. Lumpuhlah kantor kami. Sampah berantakan, piring-piring serta gelas bekas makan siang staf pengajar dan karyawan bertebaran. Demikian juga sepeda-sepeda siswa yang terparkir sembarangan.