Bagi saya yang saat ini sudah beristri selama 1,5 windu, mengenang masa lajang saat meminang atau melamar istri saya adalah mengenang saat migren kumat karena gelisah. Gelisah karena tenggat pekerjaan yang menjepit dan kekurangan uang. Jika jadi sinetron, mungkin judulnya adalah "Saat Jomlo Menjemput Jodoh".
"Calon istriku, seperti halnya sahabat Nabi yang meminang istrinya dengan sekerat cincin besi, maukah engkau menerimaku dengan sebatang pena bertintakan cinta yang diraut dari kayu pohon cita-cita?"
Itu bisikan dalam hati saya di malam-malam permenungan dalam penantian hari lamaran, di antara jeda rehat begadang malam demi mengejar tenggat pekerjaan yang berjatuhan bagai air hujan.
Seperti hujan, ia pun bervariasi mulai dari tandus, gerimis, hingga hujan deras. Menjelang lamaran, curahnya memang sedang-sedang saja. Namun, itu tidak berbanding lurus dengan banyaknya uang yang terkumpul.
Saat itu sebagai freelancer penerjemah dokumen hukum yang tergolong pemula, tarif terjemahan saya masih sangat rendah. Setelah bergabung dengan milis Bahtera (Bahasa dan Terjemahan Indonesia), salah satu forum terjemahan terkemuka di Indonesia, pada 2006, saya kian tercengang dengan kenyataan bahwa tarif saya masih sangat jauh dari layak, apatah lagi dibandingkan dengan standar tarif yang ditetapkan oleh Himpunan Penerjemah Indonesia (HPI).
Maklum, saat itu saya lebih banyak menerima orderan tangan kedua, yakni dari agensi atau biro penerjemahan yang kerap menekan tarif penerjemah sebagai subkontraktor mereka. Terlebih lagi penerjemah yang belum memiliki sertifikat sworn translator (penerjemah tersumpah).
"Memang mau bawa uang seserahan berapa?" tanya salah seorang kakak saya sebulan sebelum hari lamaran. Sebagai anak yang tak lagi berayah ibu, restu atau partisipasi kakak atau kerabat tentu sangat penting dalam proses lamaran saya.
"Belum tahu," jawab saya. Tapi saya tahu kakak saya terperangah. Mungkin ia mengira saya bercanda. Atau bahkan kelewat nekat, saking lamanya membujang. Usia saya pada 2007 itu genap tiga puluh tahun.
Umumnya, dalam tradisi Betawi, khitbah atau lamaran sudah disertai dengan uang seserahan untuk calon istri yang dilamar. Namun keluarga calon istri saya tidak mensyaratkan itu. Mungkin mereka tahu tumpukan utang saya, yang antara lain karena kegagalan bisnis di masa lalu.Â
Ditambah dengan ludesnya aset bisnis penerjemahan saya tatkala banjir bandang menerjang Jakarta pada Februari 2007, tujuh bulan sebelum lamaran.
"Yang penting keluarga besarmu bisa datang," ujar calon ibu mertua saya saat itu ketika saya mengutarakan niat untuk melamar puteri satu-satunya.