Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kopi Tubruk Hitam Versus Black Coffee

3 Maret 2020   10:15 Diperbarui: 3 Maret 2020   10:20 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seusai menghadiri suatu acara publik di Lapangan Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, saya bersama beberapa orang kawan melintasi Jalan Veteran I, yang terletak tak jauh dari Istana Negara, untuk menuju Stasiun Juanda. Di ujung jalan itu, pandangan saya tertumbuk pada plang nama sebuah restoran. Tertulis "ASN Resto & Coffee". 

Sebagai seorang konsultan bahasa, naluri pedantis atau polisi bahasa (grammar police) saya tergelitik untuk mengoreksi tulisan tersebut.

Apa yang salah?

Alih-alih "Resto & Coffee", semestinya "Resto & Cafe" berdasarkan asas paralelisme atau prinsip kesejajaran secara linguistik. Karena "Resto" (menurut situs kamus daring lexico.com adalah singkatan yang diciptakan pada 1980-an) yang merupakan kependekan dari "Restaurant" adalah sebuah tempat, maka semestinya pendampingnya adalah "Cafe" yang merupakan tempat ngopi, dan bukan "Coffee" yang merupakan jenis benda atau sajiannya. 

Selidik punya selidik, tampaknya ini kesalahkaprahan massal, karena, ada banyak tempat makan atau restoran selain jaringan "ASN Resto & Coffee", setidaknya di wilayah Jabodetabek, yang menggunakan nama dengan embel-embel "Resto & Coffee". Inilah problem kita bersama. Karena semestinya kita harus membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa.

Kembali ke pokok bahasan, berikutnya, jika Anda juga iseng untuk menerjemahkan kata "ASN" yang merupakan kependekan dari Aparatur Sipil Negara (dahulu PNS atau Pegawai Sipil Negara) dengan alasan asas paralelisme seperti di atas, maka semestinya yang benar adalah "Civil Servant Resto & Cafe".

Namun selalu ada pengecualian dalam bahasa. Mengingat nama tempat itu termasuk nama jaringan restoran dan kafe milik salah satu instansi pemerintah, maka nama "ASN Resto & Coffee" itu tergolong suatu nama produk atau brand atau jenama yang punya hak istimewa untuk tidak diubah, jadi, biarkan saja apa adanya.

Dalam hal ini, juga akan sangat kocak nan ganjil jika, misalnya, Kentucky Fried Chicken diterjemahkan menjadi Ayam Goreng Kentucky (nanti bisa dikira satu grup usaha dengan Ayam Goreng Suharti atau Ayam Goreng Mbok Berek!) atau jika Breadtalk dialihbahasakan menjadi Bincang Roti, kendati dengan alasan pelokalan bahasa. Nasionalisme bahasa tidaklah sesempit itu, Bro.

Terkait nama restoran itu, pikiran iseng saya mengembara. Jika di daerah pusat kota, namanya Resto & Cafe, mungkin jika di pinggiran kota atau perkampungan, namanya "Warkop PNS", saya membatin.

Tapi jelas beda nama, beda harga.

William Shakespeare, seorang sastrawan legendaris Inggris yang masyhur dengan beragam karyanya, antara lain Hamlet dan Romeo and Juliet, memang pernah mendalilkan tentang nama dalam salah satu karya sastranya, yang kemudian kutipannya populer di seantero kolong jagat ini.

Kutipan kalimat Shakespeare itu adalah sebagai berikut: "What is in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet"

Terjemahan: "Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberi nama lain untuk mawar, aroma mawar akan tetap harum"

Sekian abad lalu boleh saja Shakespeare berpendapat demikian. Namun, di era kekinian, tampaknya pernyataannya itu sudah tak relevan. Terutama di bidang perdagangan dan pemasaran.

Jika suatu nama tak punya arti, tentu sekian tahun lalu pada 2012-an takkan ada konflik perebutan paten tentang nama "kopitiam" di antara para pengusaha kedai kopi Tionghoa, misalnya.

Kopitiam atau kopi tiam (dari bahasa Tionghoa dialek Hokkian) yang semakna dengan warkop atau warung kopi atau kedai kopi tentu punya nuansa yang berbeda dengan warkop atau kafe atau coffee shop. Beda segmen tentu beda nama, dan tentu beda harga serta prestise.

Alhasil, segelas kopi tubruk hitam di warkop barangkali hanya seharga empat atau lima ribu rupiah.

Oh ya, bagi yang bukan pencinta kopi atau yang belum tahu, kopi tubruk itu tidaklah dibuat dengan cara ditubruk gelasnya sampai tumpah. Itu juga pemahaman saya dulu semasa bocah.

Tapi kopi tubruk itu adalah "minuman kopi yang dibuat dengan cara memasukkan bubuk kopi dan gula ke dalam gelas lalu dituangi air panas" (versi Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI). Jadi, campuran bubuk kopi dan gula itu yang ditubrukkan dengan air panas sehingga terciptalah sajian kopi nikmat.

Nah, jika si kopi tubruk ini sudah berganti nama jadi Black Coffee di sebuah kafe atau kopitiam, harganya pun berlipat tiga sampai lima kali lipat.

Demikian juga jika "susu kocok" sudah diberi nama "milkshake", tentu beda lagi harganya.

Apalagi ada kecenderungan di Indonesia untuk menamai produk atau tempat dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris, untuk meningkatkan gengsi atau prestise yang berimbas pada harga jual yang lebih mahal alias lebih cuan (untung) ketimbang jika dinamai dengan bahasa Indonesia. Demikian anggapan atau persepsi publik yang berkembang belakangan ini.

Konon, menurut kajian budaya, inilah sisa mental inlander alias mental kaum terjajah warisan jaman kolonial, yang selalu memandang bahasa kaum penjajahnya (baca: bangsa Eropa) lebih tinggi atau mulia ketimbang bahasa kaumnya sendiri.

Contohnya, ada sebuah kompleks apartemen milik pengusaha lokal di kawasan Pengadegan, Pancoran, Jaksel, yang terletak di tepi Kali Ciliwung, yang diberi nama Riverside Apartment.

Sebetulnya jika sang pengembang atau pemilik apartemen itu berkomitmen kuat untuk tetap taat asas berbahasa Indonesia, toh apartemennya tetap bisa diberi nama versi bahasa Indonesia dengan tetap kreatif dan menarik kok. Misalnya, Griya Girli atau Wisma Pinka. Artinya, bangunan atau tempat tinggal di pinggir kali.

Namun, itulah perkara nama yang tak sekadar nama.

Jadi, Anda pilih mana, Kopi Tubruk Hitam atau Black Coffee?

Kramat Babakan, 3 Maret 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun