Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Belajar dari Kudeta Konstitusional Malaysia

2 Maret 2020   08:16 Diperbarui: 2 Februari 2021   16:24 7447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita lihat betapa legowonya Anwar Ibrahim, yang pernah dipenjarakan Mahathir dengan tuduhan kasus sodomi (liwath) dengan asisten pribadinya selama belasan tahun tanpa peradilan yang adil dengan perlakuan yang kerap diskriminatif bahkan membahayakan fisik dan jiwanya, bersedia bersekutu dan mengikat janji dengan bekas mentor sekaligus bekas seterunya itu demi suatu tujuan, menggulingkan Barisan Nasional.

Demikian juga sebaliknya dengan Mahathir Mohammad, yang dapat digolongkan sebagai pendiri UMNO dan Barisan Nasional pada 1980-an, yang rela turun gunung dari rehat panjangnya di dunia politik guna melawan entitas politik dan para murid binaannya sendiri.

Ini jelas bukan perkara mudah, terutama secara fisik dan emosional, bagi seorang politisi berusia 92 tahun saat itu yang semasa mudanya dijuluki The Little Soekarno oleh pers Barat.

Alhasil, dalam hal itu, agak aneh sebetulnya terkait fenomena kebaperan para politisi Indonesia yang sampai enggan untuk sekadar berjabat tangan dengan lawan politiknya atau sekelompok politisi medioker lokal yang getol mengejek secara personal seorang pejabat publik yang dianggap oposan dengan sebutan "idiot", "onta", dan "wanabud" atau sebutan rasialis lainnya.

Bukankah sewaktu-waktu mereka justru akan memerlukan berkoalisi dengan lawan politik atau oposan tersebut pada suatu momen tertentu dan untuk kepentingan tertentu, seperti pilkada atau pilpres, misalnya?

Karena sejatinya politik adalah seni kemungkinan (politics is the art of possibilities), dan para politisi harus mumpuni merajutnya dengan tekun dan sabar seiring waktu dan tak bisa secara instan atau sekonyong-konyong.

Dalam hal inilah para politisi milenial perlu belajar dari ketangkasan dan kesabaran mantan wapres Jusuf Kalla (JK) dan almarhum Taufiek Kiemas (politisi senior PDIP yang juga suami Megawati Soekarnoputri) dalam menjaga hubungan perkawanan dan silaturahmi sehingga bisa diterima kawan maupun lawan politik untuk memecahkan kebuntuan masalah politik melalui jalan damai tanpa serangan personal apalagi gontok-gontokan fisik.

Back to laptop, di sisi lain, kita lihat juga betapa tak terduganya seorang Muhyiddin Yasin, yang dikenal selama bertahun-tahun sebagai figur politisi pemalu yang tak banyak bicara serta lebih banyak sebagai tokoh di belakang layar yang juga murid serta orang kepercayaan Mahathir, tega berlaku bagai Brutus terhadap guru politik sekaligus mantan bosnya sendiri, Mahathir Mohammad, juga demi suatu tujuan yakni kekuasaan. Ternyata diam-diam tak hanya menghanyutkan, tetapi juga membinasakan.

Inilah drama Game of Throne (GoT) versi dunia nyata!

Sebetulnya di dunia politik Indonesia, dalam skala kedinamisan dan tingkat "ketegaan" yang berbeda, kita juga punya banyak contoh serupa. Silakan Anda susun sendiri daftarnya.

Last but not least, satu pelajaran terakhir yang patut diperhatikan adalah kita perlu menyusun barisan alih-alih kerumunan. Kita memerlukan adanya konsolidasi kekuatan demokrasi dan reformasi yang kuat dan tertata rapi dengan agenda tepat sasaran dan sistematis untuk menghadang bangkitnya anasir anti-perubahan untuk melakukan perlawanan balik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun