Di dekat rumah saya ada sebuah masjid. Ada plang besar di depannya bertuliskan "Masjid ini diawasi CCTV". Saat lewat di depan masjid itu, anak saya yang masih kelas lima SD bertanya, "Abi, kenapa harus ada tulisan itu? Bukannya nanti malah ketahuan?"
Benar juga ya, pikir saya. Jika fungsi kamera Closed Circuit Television (CCTV) adalah untuk memantau keamanan, dengan adanya pemberitahuan itu, justru akan memudahkan maling atau pelaku teror untuk menyiasatinya. Misalnya, dengan memakai masker atau topeng untuk menyamarkan identitas, atau justru melumpuhkan kamera tersebut untuk melancarkan aksi mereka.
Tapi, dengan modal bacaan teori lateral thinking a la Edward de Bono, saya punya jawaban yang tampaknya cukup memuaskan putera saya yang penuh rasa ingin tahu itu: "Itu peringatan, Nak. Minimal jika yang berniat jahat baca plang itu, mereka akan gentar, atau bahkan mundur, tidak jadi berbuat jahat."
Belakangan saya baru tahu rupanya pemasangan pemberitahuan keberadaan kamera CCTV itu adalah demi menghargai hak privasi orang yang melintas yang terpantau kamera CCTV yang, dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), hasil rekaman CCTV dikategorikan sebagai informasi elektronik yang memuat data pribadi.Â
Pemasangan CCTV secara tidak langsung juga diatur dalam UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dalam Pasal 26 Ayat 1 UU ITE tersebut, CCTV dan rekaman CCTV adalah data pribadi, yang penggunaannya dilindungi undang-undang. Bunyi klausul tersebut: "Kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan orang yang bersangkutan."Â
Nah, dialog itulah yang terlintas di benak saya sewaktu lini masa (timeline) Facebook (FB) saya disinggahi sejumlah postingan status, lebih berupa deklarasi terbuka, dari beberapa kawan FB bahwa mereka tak segan-segan untuk tidak mengikuti lagi (unfollow) atau bahkan memblokir (block) teman-teman FB mereka yang masih memosting status beraroma politik, terlebih lagi postingan sindiran atau nyinyir tentang politik.
Berhubung itu hak pribadi mereka, tentu sah-sah saja dan patut dihormati, terlepas apa pun alasannya, baik untuk membuat mereka nyaman maupun untuk menjaga mood mereka dalam berhubungan sosial di dunia maya. Kendati, sebetulnya jika mau langsung action, ya kenapa tidak langsung blokir atau unfollow saja? Justru lebih efektif tho, Â tanpa ribut-ribut. Kenapa juga harus terlebih dahulu pasang status peringatan atau gertakan tersebut?
Itulah tindakan preventif mereka, menurut saya. Sekaligus langkah cerdik jika suatu waktu harus memutus perkawanan di FB atau platform media sosial lainnya, entah dengan alasan apa pun. Itulah disclaimer (penafikan atau penyangkalan) yang bisa dieksploitasi.Â
Bisa jadi sebenarnya mereka sebal atau jengkel karena urusan bisnis, utang piutang atau sentimen pribadi, namun, karena rasanya akan terasa lebih "rendah" atau bermasalah jika isu itu yang dikemukakan, maka alasan politiklah yang lebih elegan untuk dikedepankan. Terlebih jika orang yang bersangkutan yang bakal diblokir atau di-unfollow gemar mengunggah status-status politik di lini masa FB atau medsos mereka. Klop sudah.
Dipikir-dipikir itu sebenarnya juga tergolong tindakan politik lho, sama halnya seperti politik di dunia kerja (office politics), kendati memang tak terkait politik praktis kepartaian atau pemerintahan. Hanya berbeda ruang lingkup dan arena permainan saja. Mari kita sebut saja itulah politik medsos atau politik dunia maya. Versi bahasa gaulnya, politik dumay.
Jaksel, saat rembang petang, 1 Maret 2020