Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

The Magic of Like

1 Februari 2020   22:13 Diperbarui: 4 Februari 2020   14:44 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejatinya like di Facebook (FB) (atau love di Instagram atau IG) sekadar pertanda apresiasi, yang kehadirannya opsional, sesuka sang pemberi saja. Jangan diminta, apalagi ditagih. Ora ilok, kata orang tua jaman baheula. Di sisi lain, untuk lebih fair, semestinya FB dan IG juga mengadopsi tombol dislike seperti Youtube yang notabene masih kawan sekoalisi mereka.

Tapi saya yakin Mark Zuckerberg pernah meriset kebiasaan warga +62 (baca: Indonesia) sehingga wacana adanya tombol dislike di FB sirna sudah. Kendati kabarnya muncul wacana penyembunyian tombol like di IG, yang menurut CEO Instagram Adam Mosseri, bertujuan mengurangi kompetisi dan lebih menghadirkan koneksi yang berkualitas terutama untuk kaum muda (Republika, 29 November 2019).

Alhasil, klop sudah korelasi antara sirnanya wacana tombol dislike di FB dan munculnya wacana penyembunyian like di IG jika menelisik perihal kebiasaan warga +62, khususon kalangan milenial, dalam bermedsos ria.

Ketika bangunan-bangunan rumah para tetangga di kaveling saya ini mulai berdiri beberapa tahun lalu yang tentu saja jauh lebih megah daripada rumah saya yang berkategori RS3 (Rumah Sangat Sederhana Sekali), istirahat akhir pekan saya sering terganggu karena segerombolan ABG (Anak Baru Gede) yang berswafoto (selfie atau wefie) di depan bangunan-bangunan anyar nan rancak itu.

"Eh, keren kan pose gue?"

"Guys, ini rumah gue. Cihuy kan? Bla..bla.." Rupanya ada juga yang ngevlog atau bikin video blog. Yang jelas tampaknya semua sibuk dengan hape dan medsosnya. Entah bikin foto profil baru, unggah status konyol atau puitis hasil contekan, ngevlog atau live cam.

Awalnya terasa mengganggu, karena bisingnya celotehan gaul mereka yang entah kenapa sarat kata-kata anjir atau anjrit yang kurang nyaman di telinga saya yang kepala empat awal ini. 

Apalagi karena lebih sering mereka nongkrong di depan rumah tetangga sebelah yang sering kosong saat akhir pekan karena penghuninya beribadat ke gereja atau ngemall. Tapi lama-lama jadi penasaran, karena rupanya para abege itu peduli banget (bahkan kadang cemas berlebihan) soal statistik jempol alias like di status atau postingan media sosial mereka.

"Duh, baru sepuluh nih jempolnya! Elo like dong status FB gw. Kan udah capek copas nih!"

"Si Dul katrok nih. Udah gw mention kok gak like gw!"

"IG gw sepi nih..."

Sebagai makhluk generasi jauh di atas mereka (generasi X), jelas saya heran. Sedemikian berharganyakah like itu bagi mereka, generasi milenial dan generasi Z, generasi rebahan? Karena buat saya, yang pernah dengan enteng saja puasa medsos sekitar tiga tahunan, jumlah like tak berpengaruh bagi mood, gengsi atau harga diri saya (karena lebih sering sepi juga, jadi ya dibawa santuy aja,hehe). 

Jadi tak perlu juga saya kasih like untuk postingan saya sendiri. Meskipun saya tahu banyak yang melakukannya untuk "menyundul" postingan isu penting (setidaknya buat dirinya) yang diusungnya agar tak tenggelam dalam lautan lini massa medsos.

Nah, penasaran dan keheranan saya kian membuncah setelah ada kejadian pertengkaran (nyaris bentrok fisik) di antara para abege itu gegara postingan medsos. Yang satu mengemis minta sedekah like, yang lain menertawakan. Hingga nyaris baku hantam. Aneh! Setidaknya buat saya saat itu.

Selidik punya selidik, terutama setelah saya sempat membaca berita pelajar SMA yang dirisak (di-bully) teman-temannya karena menolak kasih like di postingan kawannya atau berita tragis gantung diri cewek usia SMP karena dipermalukan rekan sekolahnya (difoto dalam keadaan tak senonoh dan disebarkan via medsos, katanya untuk lucu-lucuan), mafhumlah saya bahwa like di medsos bagi generasi langgas alias milenial sudah menjadi new currency, mata uang baru, setidaknya dalam lingkup pergaulan sosial mereka.

Survei dari Royal Society for Public Health dengan sasaran kalangan muda usia 14-24 tahun di Inggris juga menegaskan fakta tersebut. Hasil survei tersebut menemukan bahwa Snapchat, Facebook, Twitter, dan Instagram semuanya meningkatkan perasaan depresi, kecemasan, citra tubuh yang buruk, dan kesepian (Republika, 29 November 2019).

Alhasil, elo gak kasih like, elo gak asyik! Elo gak beli jualan gw, gw bisa bangkrut nih! Kasarnya sih begitu. Apalagi jika diteroka lebih jauh dalam konteks profit komersial sebagai vlogger atau youtuber yang menjadi profesi idaman kalangan milenial (termasuk anak tetangga saya, gadis cilik usia 8 tahun!), urusannya pun kian ribet.

Bahkan konon, dari hasil googling, ada magic number untuk statistik like yakni sebelas. Jika Anda posting foto di IG atau status FB dan tak sampai sebelas jempol atau like yang digaet, berarti itu postingan gagal. Mending dimodifikasi ulang atau ditarik. Ini jelas bukan urusan main-main, tampaknya. Meskipun, bagi saya dan mungkin Anda, mereka hanya tampak sedang bermain-main.

Abraham Maslow, sang psikolog Amerika Serikat yang legendaris, tepat sekali saat mengatakan bahwa self-esteem (harga diri atau citra diri) adalah tahapan kebutuhan manusia setelah terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, yakni sandang dan pangan. 

Dan di era kiwari, terutama untuk generasi rebahan yang menurut para pakar psikologi digolongkan sebagai generasi native digital, itu semua tersalurkan lewat media sosial.

So, like does matters, Bro!

Jagakarsa, 1 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun