Alhasil, entah apakah sesuai hukum kausalitas atau bentuk perlawanan balik, biawak sering mendatangi rumah warga. Biasanya yang ukuran kecil, sekitar 30 sentian, kurus, masih anak-anak. Namanya juga anak-anak ya. Masih demen main-main, mungkin juga pingin kenalan. Biawak dewasa apalagi tua jarang muncul. Mungkin lebih suka tafakur dalam kesunyian. Maklumi saja, kita manusia juga begitu.
Beberapa kali saya harus usir anak-anak biawak yang silaturahim tanpa diundang, tapi bikin anak istri panik. Tak usah dibunuh. Maksudnya, biawaknya. Cukup dihalau dengan sapu, masukkan ke ember. Lantas buang biawaknya ke kebun atau kawasan hijau dekat rumah. Embernya? Ya, bawa pulang lagi. Jangan dibuang, masih baru saat itu.
Itu juga yang saya lakukan waktu rumah tetangga sebelah disatroni biawak usil. Si mahmud abas (mamah muda anak baru satu) itu jejeritan, dan lari keluar rumah, cuma handukan, dan teriak-teriak panggil saya, "Pak Salam! Pak Salam!" Saat itu saya yang sedang cuti kantor tengah menata sampah di tong sampah depan rumah.
Untungnya saya kuat iman. Maksudnya, tak ge-eran dengan panggilan si mamah manis (untungnya bukan Jelo!). Juga untungnya kuat nyali hadapi si biawak. Biawaknya masih kecil soalnya!
Si biawak kecil yang bersembunyi di dekat toilet si tetangga pun, alhamdulillah, bisa diamankan. Penangkapan biawak itu pun sukses, dengan pengawasan Dewas KPK, eh, istri saya, di depan pagar rumah tetangga itu.
Jagakarsa, 15-21 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H