Ada-ada saja cara media menarik perhatian pemirsa atau pembaca atau pendengarnya. Salah satunya seperti headline atau judul berita utama koran dalam foto ini: Janda muda bertaburan!
- Saat dapat foto itu dari salah satu grup Whatsapp (WA), komentar saya di grup itu: "Untung bertaburan ya, bukan bertebaran."
Di Facebook, untuk foto yang sama, salah satu kawan saya berkomentar, "Kalau begitu, duda muda juga bertaburan dong!"
Logikanya sih demikian, sahut saya, sayangnya, dalam kacamata media, janda muda tampaknya lebih seksi dan sensasional untuk diangkat jadi pemberitaan tinimbang duda muda. Terkecuali mungkin "duren sawit", istilah anak gaul kekinian, yakni duda keren sarang du(w)it!
Itu sih dugaan saya menerka isi kepala tim redaksi koran tersebut. Terlebih lagi, dengan menggunakan kata "tabur", sang penulis berita atau redaksi koran itu terkesan ingin mengasosiasikan janda serupa bunga atau kembang yang bertaburan di taman.Â
Indah penampakannya, menarik untuk dinikmati dan siap dipetik.
Tampaknya ini juga terkait dengan istilah "janda kembang", yakni untuk perempuan yang tidak bersuami lagi (karena perceraian atau karena kematian pasangan) dan belum mempunyai keturunan.Â
Dalam redaksional istilah tersebut di KBBI, deskripsinya adalah "janda muda yang cantik dan belum beranak". Terlepas dari apa pun implikasi, protes atau keberatan atas pemilihan judul berita utama tersebut, setidaknya itulah impresi yang ingin dihadirkan redaksi koran tersebut dalam benak para pembaca berita.
Sementara jika pakai kata "tebar", justru akan mengasosiasikan para janda itu serupa barang yang terhampar atau ngambrak di mana-mana, dan terkesan receh atau murahan. Itulah kenapa ada tabur bunga dan tebar hadiah atau tebar jaring.
Demikianlah perihal "tabur" dan "tebar" yang sekilas mirip bunyi, mirip penulisan dan pelafalan namun berbeda arti.
Ada lagi "ambles" dan "amblas" yang juga mirip namun punya arti berbeda.Â
Sayangnya banyak orang, bahkan kalangan media, yang salah memahami dalam menggunakan kedua kata tersebut sehingga acap kali tertukar. Padahal kedua kata yang diserap dari khazanah bahasa Jawa ini sudah resmi masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
"Jalanan di Lebak, Banten, amblas karena tersapu banjir bandang di awal tahun baru 2020".Â
Demikian judul berita di salah satu media pada awal Januari 2020. Saya menahan tawa membacanya, sambil berharap moga-moga jalanan itu bisa ditemukan kembali setelah banjir surut.
Ya, "amblas" bermakna hilang, lenyap atau tidak muncul-muncul lagi. Untuk konteks berita tersebut, semestinya yang digunakan adalah "ambles" (pelafalan dengan 'e' pepet seperti pada kata 'merem'). Jadi, jalanan itu ambles. Ambles itu turun (ke dalam tanah) atau terbenam.
Nah, duit negara yang digarong koruptor itulah yang amblas! Akibatnya negara ini kian ambles dalam pusaran lumpur korupsi.
Kendati retorika manis anti-korupsi dari para pemimpin negeri bertaburan di media, namun tetap saja kasus-kasus korupsi bertebaran di mana-mana.
Jagakarsa, 18-19 Januari 2020.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H