Mohon tunggu...
Nursalam AR
Nursalam AR Mohon Tunggu... Penerjemah - Penerjemah

Penerjemah dan konsultan bahasa. Pendiri Komunitas Penerjemah Hukum Indonesia (KOPHI) dan grup FB Terjemahan Hukum (Legal Translation). Penulis buku "Kamus High Quality Jomblo" dan kumpulan cerpen "Dongeng Kampung Kecil". Instagram: @bungsalamofficial. Blog: nursalam.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dicari: Pemimpin Indonesia Masa Depan!

10 Agustus 2012   03:22 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:00 392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_199276" align="aligncenter" width="512" caption="Ilustrasi: www.leadership.php"][/caption] Abad 21, menurut sebagian sosiolog dunia, adalah abad penguatan identitas keagamaan. Di samping, menurut Samuel Huntington, terdapat fenomena menguatnya sentimen tribalisme dan kebangkitan kekuatan-kekuatan di luar Amerika Serikat yang saat ini menjadi negara adidaya tunggal di dunia. Huntington dalam The Clash of Civilization memprediksi bangkitnya kekuatan Islam selain kekuatan Cina (baca: Konfusius) sebagai “ancaman” terhadap keadidayaan Amerika Serikat. Hal ini, barangkali karena pertimbangan jumlah penganut yang besar dan tingkat militansi dari kedua kekuatan (baca: ideologi) tersebut.

Di sinilah dibutuhkan peran strategis Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan merupakan negara demokratis Muslim terbesar di dunia. Cina dengan kekuatan ekonomi, militer dan budaya dengan puncaknya pada Olimpiade 2008 lalu sudah membuktikan prediksi Huntington. Bagaimana dengan Indonesia?

Seiring telisikan sejarah dan anatomi bangsa Indonesia yang berciri paternalisme maka kunci kebangkitan Indonesia adalah pada model kepemimpinan bangsa. Jika kita ingin berjaya di abad 21 perlu ditelisik lebih jauh ciri-ciri pemimpin Indonesia yang ideal di abad 21. Tentunya dengan tetap jeli mengamati geliat kebangkitan mandiri rakyat.

Saya membayangkan bahwa pemimpin Indonesia kelak adalah orang yang memahami jiwa dan alam psikologi manusia Indonesia sehingga ia mampu memobilisasi sumber daya kultural dan insani bangsa untuk mencapai tujuan terbaik. Nah, mayoritas penduduk Indonesia yang Muslim namun moderat dengan menghargai keberagaman agama dan budaya adalah alam terkembang yang inspirasional. Maka kebijakan-kebijakan pemimpin yang bertentangan dengan suasana psikologis dan budaya Indonesia akan selalu tertolak. Indonesia tak mungkin dibiarkan seperti Turki yang mayoritas Muslim dengan budaya Islam yang kuat namun masyarakatnya untuk memakai jilbab pun dilarang. Namun Indonesia juga tak bisa mutlak seperti Arab Saudi yang memberlakukan peraturan Islam secara top down namun acapkali abai dengan fitrah toleransi keberagamaan.

Kepemimpinan Indonesia yang ideal di abad 21 adalah model kepemimpinan yang mengayomi mayoritas dan juga mengasihi minoritas serta memahami betul élan vital serta karakter bangsa Indonesia yang sebetulnya pekerja keras. Sifat nrimo bangsa ini – karena dominasi suku Jawa – tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa rakyat menerima begitu saja kebijakan kenaikan harga BBM atau elpiji yang mencekik leher.

Sekali lagi, di samping masalah “elit” di atas, masalah konkret semisal harga sembako dan kebutuhan sehari-hari rakyat adalah masalah penting. Seorang pemimpin Indonesia yang ideal semestinya, apapun agamanya, bisa mencontoh seorang khalifah Umar bin Khattab yang bisa menangis tersedu-sedu ketika diberitahu bahwa ada seekor keledai mati kelaparan di wilayah kekuasaannya. Baginya, seekor keledai pun yang mati akan ditanyakan Allah kelak kepadanya di hari kiamat. Itulah tanggung jawab seorang pemimpin.

Umar bin Khattab pun dicatat sebagai pemimpin besar, karena ia tak abai dengan hal-hal kecil. Karena sesuatu yang besar berawal dari yang kecil.

“Perjalanan seribu mil dimulai dengan suatu langkah kecil,” demikian pepatah Cina mengatakan. Nah, setidaknya kita sudah memulai dengan kesadaran bahwa kita perlu memulai, dan kita perlu menemukan model kepemimpinan yang tepat sekaligus menelisik sosok pemimpin yang tepat untuk memimpin bangsa ini di abad 21. Karena yang kita perlukan adalah pemimpin, bukan hanya seorang presiden, seorang administrator atau seorang birokrat.

Pemimpin adalah sang peletak tangga, yang berpikir mengenai do the right thing, dan bukan hanya berpikir soal do the things right. Dan alangkah ideal jika wacana kepemimpinan di abad 21 digagas saat pemilu melalui debat kandidat presiden yang akan bersaing produktif soal program dan pembangunan ke depan dan tidak lagi cerewet menyoal ideologi Islam-nasionalis atau ortodoks versus progresif.

Rakyat sudah lelah dengan wacana “elit” demikian yang sudah dipromosikan sejak 1998. Pada akhirnya, rakyat akan cenderung berpikir seperti Deng Xiaoping,”Kucing hitam atau putih tak masalah. Yang penting dapat menangkap tikus.”

Di sinilah kita perlu sosok Umar bin Khattab di masa depan, yang pemimpin sekaligus cendekiawan namun juga pro-rakyat. Adakah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun