"Aku hanya ingin menjadi manusia bebas di Bumi Manusia dengan segala permasalahannya."
Sejak kemunculannya film Bumi Manusia di bioskop tanah air per tanggal 15 Agustus 2019, film yang diadaptasi dari karya sastra Pramoedya Ananta Toer ini telah menarik perhatian banyak penikmatnya.
Ragam penialaianya pun muncul. Mulai dari suka, sampai yang memberikan berbagai kritikan atas film tersebut. Bagaimana pun, lagi dan lagi. Film yang diadaptasi dari sebuah karya tulis rasanya akan sulit untuk bisa tampil sempurna saat divisualisasikan menjadi sebuah film.
Sebagai penonton yang sebelumnya belum membaca novelnya. Saya sangat menikmati film yang berdurasi 3 jam ini. Tidak membosankan, menyuguhkan banyak konflik, seputar keadilan atas diskriminasi dan intolerasi, percintaan, budaya, hukum dan lainnya. Sehingga mampu menguras emosi saya.
Bagi saya pribadi, film ini mampu memberikan jalan cerita yang tidak membosankan. Memvisualisasikan kehidupan era kolonialisme dengan menarik lengkap dengan pemain orang-orang Belandanya. Serta setting tempat dan kostum yang dipersiapkan secara matang.
3 jam menjadi waktu yang lama, nyatanya masih juga belum membuat puas para penikmat novel tentralogi Buru maupun mereka yang sudah menonton film ini. Pasalnya, memang masih banyak cerita-cerita yang tidak terungkap secara selesai di dalamnya. Sehingga, menimbulkan pertanyaan bagi penonton yang belum membaca novelnya. Tentu, bagi yang sudah membaca akan kecewa tidak melihat detail cerita yang sudah mereka tahu dari film tersebut.
Bumi Manusia menjadi film yang menceritakan seorang anak pribumi bernama Minke. Di mana pada masa itu, menjadi era diskriminasi bagi masyarakat pribumi sebagai strata terendah.
Tentu saja, Minke sebagai salah satu anak pribumi yang mengenyam pendidikan di sekolah Belanda HBS menjadi pelajar yang banyak tidak disukai. Semua jelas, karena statusnya pribumi yang masih di bawah dengan strata Indo (keturunan campuran Belanda-pribumi) dan berdarah Belanda murni.