Salah satu permasalahan yang gencar disuarakan para demonstran di banyak kota akhir-akhir ini adalah pengesahan UU tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versi revisi.UU KPK versi revisi dinilai berpotensi melemahkan KPK.
Sejumlah aksi di berbagai daerah digelar untuk menyuarakan penolakan terhadap hasil kesepakatan Dewan dan pemerintah terkait UU Nomor 30 tahun 2002 itu. Pada akhirnya, DPR telah mengesahkan UU KPK versi revisi.
Harapan publik bertumpu kepada Presiden Joko Widodo yang memiliki kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan UU KPK.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif mengungkapkan bahwa pengesahan Revisi Undang Undang KPK oleh DPR membuat pegawainya sedih. Sebagian besar menangis.
Menurut Laode, KPK sudah menjadi 'rumah' bagi para pegawainya. Ketika rumah itu direnovasi dengan segala perubahan aturan yang dibuat tanpa melibatkan KPK, pegawai jadi emosional
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan ada 26 poin yang berpotensi melemahkan KPK dalam UU KPK hasil revisi yang telah disahkan oleh DPR pada Selasa (24/9/2019) lalu.
Sejumlah poin yang dianggap akan melemahkan KPK antara lain keberadaan Dewan Pengawas KPK, dilucutinya sejumlah kewenangam KPK terkait penyidikan dan penuntutan, serta sejumlah prosedur yang dianggap merumitkan proses penindakan.
Berikut ini 26 persoalan tersebut, seperti dirangkum KPK.
1.Pelemahan independensi KPK, bagian yang mengatur pimpinan adalah penanggung jawab tertinggi dihapus.
2.Dewan pengawas lebih berkuasa daripada pimpinan KPK.
3.Kewenangan dewan pengawas masuk pada teknis penanganan perkara.
4.Standar larangan etik dan antikonflik kepentingan untuk dewan pengawas lebih rendah dibanding pimpinan dan pegawai KPK.
5.Dewan pengawas untuk pertama kali dapat dipilih dari aparat penegak hukum yang sedang menjabat yang sudah berpengalaman minimal 15 tahun.
6.Pimpinan KPK bukan lagi penyidik dan penuntut umum sehingga akan berisiko pada tindakan-tindakan pro justicia dalam pelaksanaan tugas penindakan.
7.Salah satu pimpinan KPK setelah UU ini disahkan terancam tidak bisa diangkat karena tidak cukup umur atau kurang dari 50 tahun.
8.Pemangkasan kewenangan penyelidikan.
9.Pemangkasan kewenangan penyadapan.
10.Operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumit pengajuan penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.
11.Terdapat pasal yang berisiko disalahartikan seolah-olah KPK tidak boleh melakukan OTT seperti saat ini lagi.
12.Ada risiko kriminalisasi terhadap pegawai KPK terkait penyadapan karena aturan yang tidak jelas dalam UU KPK.
13.Ada risiko penyidik PNS di KPK berada dalam koordinasi dan pengawasan penyidik Polri karena Pasal 38 ayat (2) UU KPK dihapus.
14.Berkurangnya kewenangan penuntutan, dalam pelaksanaan penuntutan KPK harus berkoordinasi dengan pihak terkait tetapi tidak jelas siapa pihak terkait yang dimaksud.
15.Pegawai KPK rentan dikontrol dan tidak independen dalam menjalankan tugasnya karena status ASN.
16.Terdapat ketidakpastian status pegawai KPK apakah menjadi Pegawai Negeri Sipil atau PPPK (pegawai kontrak).
17.Terdapat risiko dalam waktu dua tahun bagi penyelidik dan penyidik KPK yang selama ini menjadi pegawai tetap.
18.Harus menjadi ASN tanpa kepastian mekanisme peralihan ke ASN.
19.Jangka waktu SP3 selama dua tahun akan menyulitkan dalam penanganan perkara korupsi yang kompleks dan bersifat lintas negara.
20.Diubahnya Pasal 46 ayat (2) UU KPK yang selama ini menjadi dasar pengaturan secara khusus tentang tidak berlakunya ketentuan tentang prosedur khusus yang selama ini menyulitkan penegak hukum dalam memproses pejabat negara.
21.Terdapat pertentangan sejumlah norma.
22.Hilangnya posisi penasihat KPK tanpa kejelasan dan aturan peralihan.
23.Hilangnya kewenangan penanganan kasus yang meresahkan publik.
24.KPK hanya berkedudukan di ibu kota negara.
25.Tidak ada penguatan dari aspek pencegahan.
26.Kewenangan KPK melakukan supervisi dikurangi.
Jadi, jika ada pihak-pihak yang mengatakan revisi UU KPK saat ini memperkuat KPK, baik dari aspek penindakan ataupun pencegahan, dilihat dari 26 poin di atas hal tersebut tidak dapat diyakini kebenarannya.
Selain itu, terdapat ketidaksinkronan antarpasal hingga menimbulkan tafsir yang beragam, sehingga menyulitkan KPK dalam penanganan perkara korupsi ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H