Mohon tunggu...
Nur Rizka Mardhatillah
Nur Rizka Mardhatillah Mohon Tunggu... Lainnya - Freelance Graphic Designer | Industrial Engineering Student

Mahasiswa teknik yang menggemari seni

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengakhir Waktu

19 Maret 2017   08:06 Diperbarui: 19 Maret 2017   08:44 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bukan dia yang menghilang tapi waktunya yang telah berakhir-infinite love.” Begitulah Meli mengingatnya. Bagaikan pungguk merindukan bulan, Meli takbisa melepaskannya. Bagaimanapun juga, mereka tidak akan bisa bersama selamanya. Waktu akan mengakhiri segalanya. Seperti saat ini, Meli akan mengakhiri waktu. Meli akan mengukir sedikit kenangan pada akhir waktu ini. Hanya untuknya, Gilang Hermawan.

Malam yang menyegarkan bagi Meli. Karena malam ini Meli ditemani benda kesayangannya. Bersama Gilang, Meli bisa melakukan apapun yang dia mau. Layaknya malam ini, mereka Gilang mengiyakan apa yang diinginkan kekasihnya. Gilang sangat menikmati permainan malam ini seperti singa yang kelaparan, sungguh rakus. Namun bagaikan meniup api di atas air, Gilang sangat mudah dikibuli. Ditambah lagi dengan sentuhan Meli yang makin membuat Gilang terangsang. Di ruangan bermainnya dan hanya ditemani lampu usang yang berwarna kuningini, Meli siap bermain bersama korban barunya.

Diambilnya tali, lalu diakatkannya pada lengan Gilang dengan sangat hati-hati. Lalu Meli menarik talinya dan langsung membuat Gilang tergantung lemas di depannya. Tidak membutuhkan waktu lama bukan untuk Meli menyekap Gilang. “Tak sulit bermain dengan Anda,” ujar Meli. Meli menatap Gilang seakan-akan mencampakkan. “Mau main yang lain?” tanya Meli. “Oh iya, sampai lupa saya ada ini dan ini, mau?” lanjut Meli bertanya. Dipegangnya pisau di tangan kanannya dan jeruk nipis di sebelah kirinya. “Hmp.., hmmp.., ehmp,” berontak Gilang.

Semakin Gilang memberontak, tentunya semakin membuat Meli terbakar. Pisau yang tajam seperti senyuman Meli saat ini. Mata yang mengintimidasi telah meneliti landasan mana yang cocok untuk benda kesayangannya ini. Pisau senan tiasa menari-nari di atas perut Gilang yang tergantung layaknya kambing yang siap dikuliti. Tatapan memohon ampun senan tiasa Gilang tunjukkan. Betapa lucunya Gilang, memohon-mohon pada seseorang yang tidak memiliki hati lagi. Meli tertawa terbahak-bahak akan tingkah Gilang. “Mengapa? Anda takut?” tanya Meli. “Hmmp, hmmp,” balas Gilang memborantak seakan-akan berkata “Tolong! Lepaskan aku!”. “Percuma Gilang!,” bentak Meli yang membuat Gilang terdiam.

“Hmmp… hmp… hmmpp…,” Gilang terus memberontak. Meli membalasnya dengan tamparan lalu memainkan pisaunya di pipi Gilang. “Hmmp! Hmmp!” Semakin lama, pisaunya bermain ke mata. “Mata Anda bagus juga,” kata Meli. “Hmp! Hmmp!” Gilang memborantak ketakutan dan mencoba membuka ikatannya dengan percuma. Plak! Satu tangan mendarat lagi di Pipi Gilang. Tatapan tajam dari Meli lagi-lagi membekukan Gilang. Diambilnya tangan Gilang dan mulai menyayatnya. Menggunakan ujung pisau dia mengukir huruf D I E dengan diiringi lagu dari mulut Gilang yang merintih. Ini baru pemulaan belum puncak. “Tangan Anda butuh perbaikan bapak Gilang, jadi saya buatkan tato gratis,” ujar Meli dengan senyuman penuh arti. Meli menambahkan perasan jeruk nipis yang membuat musik malam ini terdengar begitu indah. Pedih yang merangsang ke sekejur tubuh Gilang tak sebanding dengan nyawanya yang harus diselamatkan. “Hmmp! Hmmp!” rintih Gilang layaknya cacing yang kepanasan. “Musik yang indah, saya suka,” kata Meli memuji.

Meli melingkarkan tali gelasan di leher Gilang. Tali dan leher saling bertemu dan bergesekkan. Rintihan tidak kunjung berhenti. Semakin lama semakin kencang dan pedih. Garis merah mulai bermunculan. Meli menghentikkan kegiatannya tapi dia menambahkan perasan jeruk nipis di atasnya. Tidak memberikan efek apapun pada Gilang. Tanpa pikir panjang Meli mengambil pisaunya lagi dan menguluti Gilang. Air mata Gilang tak sanggup lagi dibendung. Rintihan dan pemberontakan kian mencuak. Darah membasut mengotori baju Meli. Dengan satu tarikan kulit Gilang terbuka. Tampang Gilang pucat pasi dan keringat bercucuran bercampur dengan perasan jeruk nipis. Betapa pedihnya penderitaan Gilang malam ini.       

Leher saja tak cukup untuk Meli, kali ini Meli menginginkan mata. Pisau mulai mengisyaratkannya. Memutar-mutar di depan matanya seperti mencari landasan yang layak. Sekarang mata saling bertemu, mata pisau dan mata Gilang.

“Berapa harga satu bola mata ini? Saya sedang kehabisan uang,” kata Meli merayu. Tawa Meli memecahkan keheningan. “Berapa harganya? Anda tidak tahu ya?” tanya Meli. “Ya sudah, saya bantu cari tahu harganya ya,” lanjut Meli dengan senyuman tipis layaknya setan. Sebelum dicongkel, Meli memberikan jeruk nipis sebagai pemulus yang membuat Gilang menggeliat layaknya cacing. Meli makin menyukai musik di ruangan ini. Belum sampai Meli menekan matanya, ada seseorang yang datang ke diri Meli.

“HAAH!” kata Meli kaget dengan apa yang dia pegang. Dada Meli sesak, tangannya mulai berkeringat dingin, dan tampangnya yang ketakutan. Meli mengacak-ngacak rambutnya. Bajunya yang kusut penuh darah semakin membuat Meli seperti orang gilang. Dia duduk melungkup di sudut ruangan. “Hah! Apa yang aku lakukan!” bentak Meli sambil menjambak-jambak rambutnya. “Bodohnya aku mengikutinya lagi!” lanjut Meli menyesali perlakuannya. “AHHH!” teriak Meli. “BODOH!” bentak Meli sambil melempar pisau ke arah Gilang yang dari tadi hanya terdiam. “Jangan ganggu saya bekerja!” kata Meli dengan tatapan fokus ke Gilang.

Gilang bingung dengan apa yang dia lihat malam ini. Meli terlihat seperti orang gila. Dia berkelahi dengan dirinya sendiri mulai dari mencaci maki sampai melukai dirinya sendiri. Bahasanya pun berubah-ubah. Dia seperti memiliki dua kepribadian. Apakah ini yang disebutMultiple Personality Disorder?batin Gilang. Selagi Meli bertengkar dengan dirinya sendiri, Gilang berusaha melepaskan dirinya. Namun posisi Gilang yang tergantung layaknya hewan kurban menjadi masalah utama untuk kabur. Tidak ada gunanya Gilang menggeliat, meskipun itu untuk mengendurkan tali. Karena tali yang diikatkan Meli sangatlah ku- “HEI!” teriak Meli sambil menunjuk Gilang dengan pisaunya yang berdarah. “Permainan kita belum selesai! Saya belum menjual mata Anda,” ujar Meli dengan nada tinggi.

Segaris senyuman setan terlukis di wajah Meli. Tangan kirinya sibuk menguntal-nguntal jeruk dan kananya memainkan pisau layaknya stickdrum.Meli melangkah bagaikan orang mabuk. Lalu, sekarang Meli berada tepat di depan Gilang. Dia mulai memperkenalkan pisau kepada mata Gilang. Pertama Meli memulainya dengan menyayat pelipis Gilang. Darahpun berjatuhan layaknya orang sedang menangis. “I love your eyes Mr.Gilang,” ujar Meli sambil mengecup kedua mata Gilang.

Tiba-tiba lampu padam, Meli menunjukkan tingkah laku aneh. “APA LAGI INI!” teriak Meli. Sekujur tubuhnya mulai berkeringat. “Jangan lagi please!” mohon Meli ketakutan. Dia menggigiti jarinya dan matanya berkaca-kaca layak ada yang mengincarnya. Dia berjalan mundur sambil menggiti jarinya dan sedikit membungkuk. Dia terkaget dan menangis memohon ampun saat dia menabrak lemari. Kali ini dia merungkup di dalam lemari. Dia ketakutan. “Gelap!” kata Meli dengan nada tinggi. Mulutnya bergetar dan matanya berkaca-kaca. Apa yang terjadi padamu Meli?Batin Gilang. Meli sudah gila.

“Tok, tok, tok!” Meli merasakan ada yang mengetok pintu lemari. “TIDAK!” teriak Meli sambil menutup telinganya. Terdengar lagi, “tok, tok, tok!” “Tidak jangan,” ujar Meli menangis. “Don’t take my boy again! Please!” kata Meli. Seperti ada sesuatu yang pernah terjadi pada Meli. Dia berubah dengan drastis. Tadinya dia psikopat,lalu menangis menyesal dan sekarang ketakutan seperti ada orang yang akan menangkapnya.

Meli melungkup sedih. Cahaya putih mulai merasuki alam sadar Meli. Semua putih. Dia juga masih bergetar dan berkeringat. Dada Meli sesak saat dia berjalan mundur lalu menabrak seekor anjing. Anjngnya menggonggong dan membuat Meli berjalan mundur. Anjing tersebut mengeluarkan air liur dan badannya penuh darah. “Kring,” Meli terkaget karena dia menginjak bel. Tak lama kemudian segerombolan orang bersama bambu runcing dan bahan peledak datang. Mereka berlarian melewati Meli yang bingung apa yang terjadi sebenarnya. Anjing yang tadinya menyeramkan berubah menjadi anjing yang ketakukan. Dia mengeluarkan puppy eyesnya dan menyeret-nyeret Meli pergi. Lalu Meli mengikuti kemauan si anjing.

Mereka berlari tanpa tujuan. Meli berlari sangat kencang, sampai-sampai meninggalkan si anjing. Meli memutar arah untuk mencari si anjing namun hasilnya nihil. Semuanya putih, tidak tahu mana langit dan daratan. Semuanya sama. “APA YANG TERJADI PADAKU!” teriak Meli. “Tes,” ada suara yang mengagetkan Meli. “Tes,” seperti suara air. “Tes,” Meli menelusuri sumber suara. Lalu, Meli tercengang dengan hasil yang dia dapatkan. Anjing tadi tergantung layaknya hewan kurban yang berdarah. Meli merasa ibah kepada anjing tersebut. Lehernya hampir putus dan parahnya takada mata di sana. Lantas, di mana mata anjingnya?

Dari seberang sana Meli mendengar ada keramaian. Meli senang karena dia bisa berjumpa dengan manusia lagi. Meli berlari mencari keramaian itu. Dia menemukan pasar yang ramai sekali. Pasar tersebut sangat becek dan sedikit menjijikkan. Darah di mana-mana. Daging segar tergantung. Anehnya pedagang di sani menjual bola mata, ginjal, paru-paru, hati manusia. Semua barang di sini masih segar, buktinya ada orang yang baru mengkuliti manusia. “Cek, nak nyari apo?” (Kak, mau cari apa?) tanya orang dari belakang yang menepuk pundakku. “Hah? Apa mas?” tanyaku. Lalu orang tersebut menggelengkan kepalanya lemas dan pergi seperti orang yang kecewa. Meli semakin bingung apa yang terjadi sebenarnya.

Seketika Meli merasa pusing. Kakinya tidak kuat menahan lelah. Sakit di kepalanya tidak sebanding dengan sakit hati yang pernah ia raskan. Meli berdiri bagaikan ilalang yang bergoyang. Lalu putih menghantam dan menelannya.

Dia terbangun di kamarnya yang telah dipenuhi sinar matahari pagi. Di kamarnya Meli mengingat apa yang telah terjadi semalam. Mimpi. Semua itu hanya mimpi. Namun Meli bukan satu-satunya anak yang mengalami Multiple Personality Disorderyang dikarenakan trauma masa kecil di muka bumi ini. Meli sempat dicumbu dan dicampakkan oleh seorang lelaki. Lelaki bangsat memang. Berkat iming-iming cinta, Meli rela memberikan semuanya kepada lelaki itu termasuk Mrs.V.Meli menjadi pecandu seks di waktu itu. Cinta karena nafsu tidak akan bertahan lama, tepat sekali tidak sampai 1 bulan cinta nafsu mereka berakhir. Habis manis sepah dibuang, lelaki itu meninggalkan Meli tanpa sebab dan pamit sedikitpun. Sekarang tinggallah Meli meratapi nasibnya.

Berkat lelaki itu Meli mempunyai kepribadian lain. Meli menjadi psikopat. Setiap bulan Meli pasti menghasilkan uang dari menjual organ tubuh orang. Layaknya wanita jalang kehausan belaian lelaki, Meli merayu lelaki-lelaki yang hadir di kehidupannya. Kenikmatan harus dibayar kenikmatan. Meli memberikan kenikmatan kepada lelaki itu, lalu Meli harus menikmati kenikmatannya yaitu uang.

Satu hal yang Meli benci, di dirinya seringkali terjadi pertikaian. Meli akan tampak seperti orang gila. Kadang diri psikopatnya yang keluar dan kadang diri aslinya. Dua kepribadiannya ini tidak saling mengenal . Sekarang Meli memiliki dua kepribadian yang sangat bertolak belakang. Meli menyebut semua ini sebagai takdir. Namun sejatinya takdir itu tidak menuntut, ia akan berjalan sesuai pilihan yang kita ambil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun