Buton, sebuah wilayah di Sulawesi Tenggara yang kaya akan tradisi, memiliki sebuah ritual keagamaan yang unik dan penuh makna, yaitu haroa. Tradisi ini dikenal sebagai “baca-baca” di kalangan masyarakat Buton, di mana doa-doa dan harapan dipanjatkan dalam suasana penuh kebersamaan. Haroa menjadi cerminan kuatnya ikatan antara adat lokal dan ajaran Islam yang dibawa oleh para ulama sejak abad ke-16.
Apa itu Haroa?
Secara harfiah, haroa berarti “doa bersama” atau “pengucapan doa secara kolektif.” Dalam praktiknya, haroa dilakukan dengan membaca doa-doa dalam bahasa Arab dan Buton, dipimpin oleh seorang tokoh agama atau tetua adat, biasanya disebut dengan "Lebe". Acara ini biasanya diadakan untuk memperingati momen-momen tertentu, seperti Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri, Idul Adha, atau acara penting keluarga, seperti kelahiran, pernikahan, dan syukuran rumah baru.
Simbol Kekeluargaan dan Gotong Royong
Haroa bukan sekadar acara keagamaan, tetapi juga momen sosial yang menyatukan warga. Setiap keluarga biasanya menyiapkan hidangan, dari berbagai jenis kue tradisional, nasi, hingga lauk-pauk, untuk dibawa ke tempat haroa dan dinikmati bersama. Tradisi ini mencerminkan semangat gotong royong dan kebersamaan yang kental di masyarakat Buton.
Dalam acara haroa, masyarakat berbagi makanan yang disebut isi dulang haroa, antara lain ngkaowi-owi, loka yi hole, nasi dan telur goreng, baruasa, cucuru, onde-onde, lapa-lapa, waje, dan manu nasu wolio. Setiap orang yang hadir akan makan bersama dari nampan tersebut sebagai lambang persaudaraan. Melalui tradisi ini, warga belajar tentang pentingnya berbagi, menghormati, dan mempererat hubungan antar tetangga.
Proses Ritual Haroa
Rangkaian haroa dimulai dengan pembacaan doa-doa dan zikir yang dilakukan oleh pemimpin agama setempat. Doa ini sering kali dipanjatkan dalam bahasa Arab, namun juga disertai doa lokal agar semua orang bisa ikut merasakan khusyuknya prosesi. Setelah doa, acara dilanjutkan dengan makan bersama, di mana semua orang duduk bersila mengelilingi hidangan yang telah disiapkan. Pembacaan doa pada haroa ini disertai dengan pembakaran dupa. Alasan dari pembakaran dupa ini tidak lain untuk menjadikan suasana berdoa menjadi khusyu, tidak ada kaitannya dengan keyakinan agama lain dan kesyirikan.
Momen haroa menjadi tempat untuk merefleksikan nilai-nilai agama sekaligus sebagai sarana berkumpul dan mempererat silaturahmi. Orang tua mengajarkan kepada generasi muda tentang ajaran-ajaran Islam, serta menjelaskan makna simbolik dari setiap prosesi yang dilakukan. Selain itu, mereka juga mengajarkan tentang pentingnya menjaga budaya tradisional sebagai identitas daerah.
Macam-macam Haroa
Haroana Maludu, yaitu haroa yang dilakukan pada bulan Rabiul Awal untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. Lahirnya Muhammad adalah berita gembira yang menjadi berkah bagi semesta. Muhammad adalah representasi dari sosok yang membawa jalan terang bagi manusia. Untuk itu, kelahirannya dirayakan dengan haroa dan membaca doa syukur bersama-sama. Menurut adat Buton, haroa tersebut dibuka oleh sultan pada malam 12 hari bulan. Kemudian untuk kalangan masyarakat biasa memilih salah satu waktu antara 13 hari bulan sampai 29 hari bulan Rabiul Awal. Setelah itu ditutup oleh Haroana Hukumu pada 30 hari bulan Rabul Awal. Masyarakat menjalankannya setiap tahun dengan membaca riwayat Nabi Muhammad. Kadangkala selesai haroa, dilanjutkan dengan lagu-lagu Maludu sampai selesai, yang biasanya dinyanyikan dari waktu malam sampai siang hari.
Haroana Rajabu, yaitu haroa yang dilakukan untuk memperingati para syuhada yang gugur di medan perang dalam memperjuangkan Islam bersama-sama Nabi Muhammad SAW. Haroana Rajabu dilakukan pada hari Jumat pertama di bulan Rajab dengan melakukan tahlilan serta berdoa semoga para syuhada tersebut diberi ganjaran yang setimpal oleh Allah.
Malona Bangua, yaitu haroa yang dilaksanakan pada hari pertama Ramadhan. Pada masa silam, hari pertama Ramadhan dimeriahkan dengan dentuman meriam. Kini, dentuman meriam itu sudah tidak terdengar. Masyarakat merayakannya dengan doa bersama di rumah serta membakar lilin di kuburan pada malam hari.
Qunua, yaitu upacara yang berkaitan dengan Nuzulul Qur’an (Qunut). Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pertengahan bulan suci Ramadhan atau pada 15 malam puasa. Dulunya, masyarakat memeriahkannya dengan membawa makanan ke masjid keraton dan dimakan secara bersama-sama menjelang waktu sahur. Qunua dilakukan usai salat tarwih dan dirangkaian dengan sahur secara bersama-sama di dalam masjid.
Kadhiria, yaitu upacara yang berkaitan dengan turunnya Lailatul Qadr di bulan suci Ramadhan. Upacara ini tata pelaksanannya mirip dengan Qunua, yakni setelah salat Tarwih dirangkaikan dengan sahur secara bersama-sama di dalam masjid. Biasanya dilaksanakan pada 27 malam Ramadhan karena diyakini pada malam itulah turunnya Lailatul Qadr.