budaya yang melekat pada masyarakatnya. Apalagi dengan kencangnya arus informasi didukung oleh perkembangan teknologi yang kian maju, segalanya bisa kita ketahui hanya dalam gengaman tangan.
Akhir-akhir ini saya senang mengikuti berbagai berita tentang lokalitas, banyak hal menarik yang saya peroleh dari sumber yang saya gali. Wilayah Indonesia yang terhampar luas dengan banyak pulau, memiliki kekayaan melimpah tidak hanya dari sumber daya alamnya namun jugaSeiring dengan itu, sebagian besar orang mulai menyadari bahwa modernisasi perlahan mengikis budaya lokal bahkan mempengaruhi hubungan sosial masyarakat. Salah satu wujud nyata dari adanya perubahan tersebut adalah memudarnya tradisi yang menjadi indentitas kearifan lokal suatu daerah. Ironisnya, hal tersebut dianggap wajar karena alasan perkembangan zaman. Itulah kenapa modernisasi kerap disebut sebagai suatu transformasi yang berpotensi menyeragamkan ketidakseragaman.
Di sisi lain, beberapa daerah tetap gencar melestarikan budaya dan tradisi yang menjadi warisan leluhur meskipun digerus oleh modernisasi. Salah satunya adalah tradisi peta kapanca dalam adat Bima, Nusa Tenggara Barat. Istilah peta kapanca umumnya diartikan sebagai kegiatan penempelan daun pacar ke telapak tangan. Hal tersebut merujuk pada alat dan media yang digunakan selama prosesinya.
Dalam budaya masyarakat Bima peta kapanca merupakan rangkaian prosesi dalam resepsi pernikahan dan acara sunatan. Biasanya dilaksanakan pada malam hari sebelum akad nikah maupun sunatan. Namun ada juga yang melaksanakannya pada malam setelah akad nikah. Akan tetapi perbedaan waktu dari segi pelaksanaan ini sama sekali tidak mengurangi makna dan tujuannya.
Peta kapanca menjadi simbol keindahan bagi pengantin. Bahkan dalam konteks islami, tradisi tersebut dapat dijadikan sebagai media untuk mensosialisasikan ajaran islam terkait kehidupan sosial, khususnya pernikahan. Dengan kata lain, peta kapanca didesain sebagai tradisi yang dapat disisipi nilai-nilai keislaman oleh para leluhur. Sehingga dalam implementasinya peta kapanca dibarengi dengan zikir dan sholawat yang dilantunkan oleh sekumpulan tetua adat yang bertugas khusus.
Tujuannya adalah memohon restu kepada Allah SWT sekaligus mengantarkan pengantin menuju gerbang pernikahan sebagai wujud kesiapan untuk membina rumah tangga atau hidup baru. Tentunya dengan harapan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah warrahmah. Hal tersebut memperjelas bahwa penyebaran Islam di nusantara dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan akulturasi budaya. Â
Selain dikenal sebagai salah satu rangkaian upacara adat dalam prosesi hajatan, secara historis peta kapanca merupakan gambaran kebudayaan yang mencerminkan kepercayaan, moralitas, kesenian, pengetahuan maupun perilaku masyarakat suku Mbojo (Bima).
Kondisi tersebut sedikit berbeda dengan pelaksanaan peta kapanca pada acara sunatan, namun tidak mengurangi nilai historisnya. Dalam acara sunatan, peta kapanca bermaksud untuk mengajarkan anak-anak agar memiliki sifat rela berkorban dan bertanggung jawab dalam kehidupannya meski darah bercucuran.
Peta kapanca dalam acara sunatan juga dilengkapi dengan penyediaan soji ro sangga atau dalam bahasa Indonesia disebut sesajen sebagai simbol potensi alam dan lingkungan yang mendukung keberlangsungan hidup anak-anak dalam mengarungi masa depan. Hal ini menandakan betapa kebudayaan tersebut tetap lestari ditengah-tengah kehidupan suku Mbojo.
Seiring berjalannya waktu, tradisi peta kapanca alih-alih memudar malah makin berkolerasi dengan modernisasi. Terutama dari segi busana dan aksesorisnya yang terus disesuaikan dengan perkembangan zaman. Jika pada masa lampau busana peta kapanca hanya berkutat pada pakaian Asi Mbojo (pakaian adat Bima), sekarang pilihan busananya lebih bervariasi karena bisa mengenakan baju Bodo (pakaian adat Bugis) atau baju Asi yang sudah di refashion mengikuti gaya yang lebih modern.
Penggunaan baju Bodo dalam acara peta kapanca adat Bima dapat dinormalisasi karena budaya Bugis dan budaya Bima memiliki kemiripan yang cukup signifikan didukung oleh latar belakang sejarah hubungan kekeluargaan antar kesultanan kedua daerah tersebut.
Meski tampak tradisional, hadirnya social media (sosmed) juga menambah kesan elitis bagi budaya-budaya lokal seperti tradisi peta kapanca untuk menunjukkan eksistensinya. Kondisi ini diperjelas dengan semakin banyaknya budaya-budaya lokal yang disorot oleh berbagai media akibat kepopulerannya di sosmed. Sehingga kampanye membudayakan lokalitas dapat lebih sering terdengar karena kencangnya arus informasi. Untuk itu perlu adanya kesadaran bagi setiap generasi untuk melestarikan budaya-budaya lokal meskipun dunia terus berubah.[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H