film "Republik Twitter" yang disutradarai oleh Kunt Agus. Film ini menggambarkan dunia dimana kita bebas mengekspresikan diri, tanpa peduli apa latar belakangmu, bagaimana rupamu, dimana rumahmu, siapa orang tuamu, seperti apa kerjaanmu dan lain-lain. Hanya bermodal internet dan sebuah akun sebagai identitas diri, semua bebas berekspresi, tanpa memikirkan sekat-sekat sosial yang terlihat. Dunia tersebut bernama sosial media, suatu platform yang menghubungkan satu sama lain secara maya.
Menarik sekali menontonKetika kita candu menjadi penghuni dunia maya, realita kehidupan dan jati diri pun seakan tergadai dalam angan-angan. Hal tersebut tergambar dalam salah satu sinema Indonesia berjudul Republik Twitter.
Tokoh utama dalam film tersebut adalah Sukmo (Abimana Aryasatya), seorang mahasiswa tingkat akhir di Yogyakarta. Sedangkan pemeran kedua adalah Hanum (Laura Basuki), seorang jurnalis dari Jakarta. Serta ada beberapa pemeran pendukung yang cukup sering muncul dalam film seperti tokoh Andre, Nadia, Belo dan kawan-kawannya.Â
Cerita dimulai dengan latar kehidupan ala kos-kosan dimana penghuninya sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Sukmo dan Hanum kenal lewat twitter, sebuah platform sosial media yang lagi nge-tren waktu itu.
Manusia selalu dipengaruhi dan dibentuk oleh teknologi. Tetapi, tidak ada pengaruh yang lebih besar, selain munculnya internet. (Dr. Marry Aiken. dalam, Rhenald, Kasali.2018.The Great Shifting: Gramedia Pustaka Utama)
Salah satu pengaruh besar internet dalam film tersebut dapat kita saksikan ketika Sukmo berencana pergi ke Jakarta demi mengejar komitmen. Komitmen yang dimaksud adalah personifikasi dari cintanya untuk Hanum. Disinilah batas dari angan-angan dan realita itu mulai terlihat, layaknya fatamorgana.Â
Tanpa memikirkan kondisinya yang serba kekurangan, serta kepastian apakah perempuan yang akan ia temui benar-benar sesuai ekspektasinya di internet atau tidak. Online relationship itu mampu menyihir Sukmo tetap memutuskan untuk berangkat ke Jakarta. Padahal sudah diingatkan oleh Andre dengan kalimat "masih banyak cewek-cewek di dunia nyata di Jogja."
Tindakan Sukmo yang demikian dapat di persepsikan sebagai self-imposed. Tapi ketika keinginan itu terwujud, self-imposed dapat menstimulasi kehadiran dopamin yang bisa mengundang kebahagiaan dalam otak manusia. Itulah yang dirasakan oleh Sukmo ketika keinginannya untuk nebeng ke Jakarta dituruti oleh Andre. Pada shot adegan tersebut, dapat dianalisis dengan jelas bagaimana teknologi maupun internet khususnya twitter mempengaruhi tindakan seseorang demi memperoleh kesenangan.
Hal tersebut juga tergambar dalam beberapa adengan lainnya yang menjelaskan bagaimana candu twitter menghipnotis berbagai kalangan. Mereka seolah hidup hanya dengan dua jempol, sibuk dengan gawainya masing-masing. Bahkan saat lagi berjalan, sedang pacaran, sambil makan, atau apa pun itu, kerjaannya hanya menunduk dibarengi dengan jari yang menari-nari diatas keyboard gawai.
Jarak dan waktu seakan tak berarti lagi, yang jauh terasa dekat sedangkan yang dekat jadi jauh. Mereka menembus batas-batas tak terlihat hanya dengan gawai di tangan. Semacam komunitas tersendiri yang memiliki cara berbeda untuk menikmati hidup. Namun, visualisasi kecanggihan teknologi dalam film ini relatif biasa seperti yang digambarkan dalam film-film sejenis pada umumnya.
Permasalahan berawal ketika Sukmo janjian bertemu dengan Hanum. Ia tidak menyangka, Hanum yang dikenalnya lewat twitter, ternyata di dunia nyata se-wow itu, cantik dan berkelas. Sedangkan Sukmo digambarkan sebagai pribadi yang 'slengean' dan apa adanya dengan strata sosial yang biasa-biasa saja. Tampilannya di twitter dengan di dunia nyata tidak jauh berbeda.Â
Itulah yang membuat Sukmo seketika insecure untuk menghampiri Hanum. Apalagi saat itu Hanum didekati oleh seorang cowok yang tampilannya lebih stylish dari pada dirinya. Dengan demikian Sukmo menjadi subyek yang tersingkirkan akibat persepsinya sendiri. Hanum bagaikan fatamorgana untuknya.
Seperti yang dijelaskan oleh Rhenald Kasali dalam bukunya The Great Shifting (2018), berkomunikasi secara online sering kali dianggap memiliki risiko yang lebih rendah dibandingkan tatap muka. Hal itulah yang dilupakan oleh Sukmo, Ia tidak memperhitungkan resiko apa yang akan dihadapinya ketika bertemu Hanum di dunia nyata. Sedangkan Hanum dengan kekecewaan yang mendalam, bertanya-tanya dan risau kenapa Sukmo tidak menepati janjinya.Â
Kondisi tersebut sebenarnya juga sudah diingatkan oleh teman kantor Hanum melalui percakapan "jangan berharap banyak, karena biasanya yang menyenangkan di dunia maya itu pasti mengecewakan di dunia nyata." Dengan kata lain, dunia maya berpotensi mengandung unsur tipuan belaka.
Di dunia maya kita tahu bahwa orang-orang mungkin melakukan dan mengatakan hal yang berbeda dengan di dunia nyata. (Bruce King. dalam, Rhenald, Kasali.2018.The Great Shifting: Gramedia Pustaka Utama)
Pertemuan Sukmo dan Hanum kemudian terealisasi kembali. Namun, lagi-lagi Sukmo mengecewakan. Hanum menyangka ia akan mendapati Sukmo apa adanya seperti personanya di twitter, akan tetapi Sukmo tampil dengan gaya manipulasi, yang dengan cepat membuat Hanum risih akan keberadaannya.Â
Terjadi pergolakan jiwa yang kontradiktif pada adegang tersebut, dimana Sukmo berharap dengan tampilannya yang rapi dan stylish akan membuat Hanum memaafkannya bahkan luluh padanya. Sedangkan Hanum lebih suka Sukmo yang 'slengean' seperti aslinya. Sukmo dan Hanum pun sama-sama kecewa karena pertemuan yang direncanakan tidak sesuai dengan harapan.
Selain itu, terjadinya politik eksistensi untuk menggiring opini publik manambah deretan tipu daya dunia maya dalam film Republik Twitter. Hal ini tergambar ketika Sukmo menjalani profesi sebagai buzzer di sebuah warnet milik Belo. Bisnis tersebut menggiring Belo untuk memiliki angan-angan setinggi langit, yaitu mengubah nasib lewat twitter.Â
Belo berambisi untuk mengubah dunia melalui permainan dunia maya. Dengan bantuan beberapa karyawannya yang bertindak sebagai buzzer, pundi-pundi rupiah Belo mengalir dari jual beli isu untuk mendongkrak popularitas para public figure yang haus eksistensi.
Tapi akhirnya rahasia tersebut terbongkar ketika Hanum menerbitkan artikel terkait orang bayaran di balik itu semua tanpa memalsukan nama-nama pelakunya. Sukmo menjadi dalang kerusuhan terbongkarnya informasi tersebut. Namun, Sukmo dan Hanum cukup bertanggungjawab untuk menangani masalah tersebut, sehingga cerita berakhir dengan happy ending. Hanum yang awalnya hanya angan-angan bagi Sukmo kini benaran terwujud dalam dunia nyata.
Secara umum, akting para tokoh dalam film ini cukup menghibur. Apalagi dilengkapi dengan perpaduan budaya yang khas seperti Sukmo yang kental dengan gaya Jogja dan Belo yang identik dengan logat Bataknya, sedangkan Hanum, Andre, Nadia dan lain-lain mempertahankan gaya Jakarta, dimana kondisi ini menggambarkan pandangan realitas yang merata seperti di dunia maya.[*]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H