"Akurasi kebijakan itu butuh akurasi data. Kalau sudah kita putuskan pupuk subsidi, katakanlah sembilan juta ton, itu kan dari data memutuskan itu. Tapi di lapangan banyak petani yang berteriak, "Pak, pupuk enggak ada." Mungkin suplainya kurang, mungkin distribusinya yang enggak betul. Tapi kalau datanya akurat, gampang sekali, oh ya bukan 9 juta ton tapi 13 juta ton misalnya. Sudah, rampung, enggak ada keluhan."
Demikian sambutan Presiden Jokowi pada pencanangan pelaksanaan Sensus Pertanian Tahun 2023 (ST2023) di Istana Negara, 15 Mei 2023 lalu.
Kesan ketidaksesuaian antara realita di lapangan dengan data yang ada di sektor pertanian cukup menguat. Kondisi tersebut terkadang memaksa para pelaku usaha pertanian dan khususnya petani berhadapan dengan ketidakpastian akibat permasalahan klasik soal distribusi pupuk bersubsidi.
Hampir setiap tahun masalah pupuk selalu mencuat ke berbagai media, kuantitas dan distribusi menjadi pangkal persoalannya. Sehingga banyak petani mengeluhkan kelangkaan pupuk yang selalu berulang setiap tahun, apalagi ketika puncak masa tanam. Paralel dengan ini, harga yang dipasarkan juga menjadi lebih mahal. Membuat para petani merogoh kocek dua kali lipat dari harga biasanya.
Kesenjangan Pangan
Namun, kelangkaan pupuk bukanlah satu-satunya masalah yang melekat pada sektor pertanian. Adanya ketergantungan impor komoditas pangan oleh pemerintah nampaknya menjadi persoalan yang sulit dipecahkan hingga kini. Badan Pusat Statistik (2013) mencatat Indonesia mengimpor 29 komoditas pangan dalam kurun waktu Januari - Agustus 2013 senilai 6,16 miliar US$. Adapun 29 komoditas tersebut adalah beras, jagung, kedelai, biji gandum, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis lembu, jenis lembu, daging ayam, garam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakao, cabai, cabai kering, cabai awet, tembakau, ubi kayu, dan kentang.
Kemudian sepanjang Januari - Juni 2021, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali mencatat Indonesia melakukan impor pangan hingga 6,13 miliar US$. Lalu, pada Maret - Mei 2023 pemerintah berencana merealisasikan impor beras 500.000 ton, jagung 527.241 ton, kedelai 746.957 ton, bawang putih 190.325 ton, daging sapi 8.054 ton, dan gula konsumsi 448.550 ton (Bapanas,2023).
Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris terpaksa harus mengimpor bahan pangan dari negara lain sebagai tambahan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat seiring jumlah penduduk yang terus bertambah.
Realita tersebut berkorelasi dengan tingginya tingkat konsumsi perkapita penduduk Indonesia. Diketahui, tingkat konsumsi per kapita untuk beras saja saat ini adalah 139 kg per kapita pertahun (BPS,2022). Jika pada tahun 2035 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 350 juta jiwa, maka dibutuhkan sekitar 50 juta ton beras untuk memenuhi kebutuhan pangan rakyat Indonesia. Untuk itu diperlukan adanya terobosan untuk menanggulangi permasalahan tersebut.
Satu Data Kebutuhan Stabil
Sebagai upaya untuk menjawab tantangan itu, maka BPS sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah melakukan ST2023, mengingat pertanian adalah sektor strategis yang melibatkan hajat hidup seluruh masyarakat. ST2023 dilaksanakan pada 1 Juni - 31 Juli 2023 dengan melibatkan 196 ribu petugas lapangan yang disebar ke seluruh Indonesia.