Azan Subuh belum lagi berkumandang, ketika gadis itu merubuhkan diri dari tempat tidur dan berdebamlah kamar itu. Ia menyingkirkan ponsel canggihnya, karena saat ini, bukan barang itu yang pertama kali ia butuhkan. Ia segera memaksa tubuhnya berdiri di depan cermin besar di lemari pakaiannya---untuk meneliti bintik hitam di pipi kanannya. Raut wajahnya masih cemas. Semuanya didukung oleh rambutnya yang kusut dan pakaiannya yang super lecek.
"Bintik ini masih ada," ia bergumam, lebih pada menyesali keadaannya sendiri. "Kenapa tidak kunjung hilang?"
"Itu adalah hukuman," terdengar suara menyahut dari dalam kamar itu. "Karena wajahmu tidak pernah dirawat sepantasnya. Aku masih ingat, dulu kau rajin membersihkan wajahmu tiga kali sehari, tak pernah terlewat. Tapi sejak kau sering keluar dengan pemuda itu, kau biarkan saja wajahmu kehilangan cahayanya perlahan-lahan."
Gadis itu terdiam. Tidak menyadari kelalaiannya kini membuahkan lima bintik hitam kecil di pipi kanannya yang halus.
"Lho, kau sudah bangun ya."
"Tentu saja. Kau saja berisik begitu."
Gadis itu tidak mempedulikan dan melanjutkan pertanyaannya,"Bagaimana kalau tidak bisa hilang?"
"Bisa."
"Kalau tidak?"
"Kalau bercaknya tidak hilang tetapi ia hilang," suara temannya menyahut lagi. "Tinggalkan saja orang semacam itu."
Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Dia bukan tipe orang yang semacam itu. Benar, ini pasti kesalahanku sendiri. Bintik ini harus hilang. Harus. Harus!"