Awal tahun 2021 merupakan masa-masa yang mengerikan bagi warga Myanmar. Pada 1 Februari 2021, militer Myanmar menggulingkan pemerintah atas tuduhan penipuan pemilu. Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto bangsa, dan tokoh terkenal lainnya ditahan selama operasi dan sejak itu mereka ditempatkan di bawah tahanan rumah.
Dalam minggu-minggu setelah kudeta, sejumlah besar orang turun ke jalan untuk protes massal. Militer menanggapi protes ini dengan kekerasan dan melakukan kampanye teror, menggerebek rumah-rumah dan menangkap siapa pun yang dicurigai mendukung demokrasi.
Lebih dari 15.500 orang telah ditangkap pada September 2022 – jumlah yang terus meningkat. Insiden ini menyebabkan 100 anak-anak dan 510 lebih dari 1.300 orang tewas akibat pengambilalihan militer. Menurut laporan, ada 141 kematian pada 27 Maret saja akibat pertempuran kekerasan yang pecah. di sektor Dagon Selatan Yangon. Hampir 700.000 orang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena konflik sejak kudeta, yang berarti lebih dari 1,2 juta saat ini mengungsi. Ekonomi sedang dalam krisis, dan layanan publik telah runtuh.
Menurut BBC News, Suu Kyi dan mantan Presiden Win Myint dinyatakan bersalah atas tuduhan "menghasut perbedaan pendapat dan melanggar norma Covid" pada 6 Desember 2021 dan dijatuhi hukuman penjara empat tahun. Suu Kyi dituduh melanggar Undang-Undang dengan 11 tuduhan berbeda, termasuk tuduhan kasus korupsi.
Bagaimana Indonesia Merespons Isu Kudeta Myanmar Ini?
Sebagai negara tetangga dan bagian dari ASEAN, Indonesia segera mengambil tindakan untuk meredakan isu ini karena apa yang terjadi di Myanmar bukanlah lagi sekedar isu politik, melainkan sudah menjadi isu kejahatan perang dan kemanusiaan.
Melalui website Kementerian Luar Negeri, Indonesia telah meminta pihak-pihak yang bertikai di Myanmar untuk menyelesaikan perbedaan mereka secara damai, setelah militernya menggulingkan pemerintah sipil, Aung San Suu Kyi, dan menyatakan keadaan darurat pada Senin, 1 Februari.
Kementerian Luar Negeri Indonesia menyatakan keprihatinannya atas situasi politik baru-baru ini di Myanmar dan juga menyerukan ditaatinya prinsip-prinsip Piagam ASEAN, antara lain kepatuhan terhadap supremasi hukum, pemerintahan yang baik, prinsip-prinsip demokrasi dan pemerintahan konstitusional.
Sebagai upaya awal untuk membantu Myanmar, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, melakukan perjalanan ke Brunei Darussalam pada 16 Februari 2021 untuk berkumpul dengan sesama anggota ASEAN dengan objektif untuk merumuskan tanggapan yang “lebih baik” terhadap gejolak politik di Myanmar.
Selain itu, Retno juga mengunjungi negara-negara Asia Tenggara lainnya setelah singgah di Brunei, yang memegang kepemimpinan ASEAN. Kunjungan Retno ke Brunei dan negara-negara Asean lainnya terjadi beberapa minggu setelah para pemimpin Indonesia dan Malaysia menyerukan pertemuan khusus Asean untuk membahas situasi Myanmar.
Tidak hanya dengan sesama perwakilan ASEAN, Retno juga mengatakan telah berkomunikasi dengan menteri luar negeri regional dan rekan-rekan di India, Australia, Jepang dan Inggris, serta dengan utusan khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener.
Tanggapan negara-negara Asean terhadap kudeta militer Myanmar beragam, dengan Indonesia, Malaysia dan Singapura menyatakan keprihatinan atas perebutan kekuasaan, sementara Filipina awalnya mengatakan masalah itu adalah “urusan internal” sebelum menyerukan “pemulihan total” dari status quo di Myanmar. Kamboja dan Thailand juga menyebut kudeta sebagai masalah internal, sementara Vietnam menyerukan agar situasi "distabilkan". Brunei mengeluarkan pernyataan yang menyerukan “dialog, rekonsiliasi, dan kembali normal”, meskipun tidak mengutuk kudeta.
Indonesia dan anggota ASEAN lainnya berharap dapat meyakinkan militer Myanmar untuk mengambil tindakan guna meredakan ketegangan di negara itu dan menghindari kekerasan.
Asosiasi tersebut percaya bahwa negosiasi dengan para pemimpin militer akan lebih berhasil daripada sanksi, atau tindakan keras lainnya yang disarankan oleh beberapa negara Barat.
Namun, ada kekhawatiran di antara beberapa aktivis pro-demokrasi bahwa upaya Indonesia untuk bernegosiasi dengan militer Myanmar dapat melegitimasi pemerintah kudeta. Kantor berita Reuters melaporkan minggu ini bahwa Indonesia telah mengusulkan pengiriman pengamat ASEAN untuk memastikan para pemimpin militer memenuhi janji mereka untuk mengadakan pemilihan umum baru yang adil.
Bahkan, sampai sekarang di bulan Oktober 2022, masalah ini belum kunjung selesai. Hal ini disebabkan oleh Myanmar yang tidak menyambut dengan baik uluran tangan dari negara-negara di ASEAN. Meskipun begitu, Retno mengatakan bahwa keputusan Myanmar untuk tidak mengambil resolusi damai tersebut tidak mengubah tekad ASEAN untuk memberikan bantuan karena rakyat Myanmar memiliki hak dan layak untuk perdamaian dan pembangunan. Dia menambahkan bahwa perhatian utama Indonesia akan selalu menjadi keamanan dan kesejahteraan rakyat Myanmar.
Di sela-sela Sidang Umum PBB ke-77 di New York, Amerika Serikat, Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi bertemu dengan para menteri luar negeri ASEAN (AS). Saifuddin Abdullah, menteri luar negeri Malaysia, telah meminta ASEAN untuk bekerja dengan pemerintah bayangan Myanmar, NUG, untuk membantu mengakhiri krisis politik negara tersebut. Saifuddin menyatakan pekan lalu bahwa "ASEAN harus menggunakan kerangka kerja yang ditetapkan dengan tujuan memulihkan demokrasi di Myanmar," yang dicapai melalui diskusi dan partisipasi yang inklusif dan adil dari para pemangku kepentingan penting, termasuk NUG dan NUCC (National Unity Consultative Council)
National Unity Consultative Council terdiri dari organisasi pemangku kepentingan dari Myanmar. Kebanyakan dari mereka menginginkan demokrasi di Myanmar dan menentang kekuasaan junta militer.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H