Mohon tunggu...
Nur PujiRahayu
Nur PujiRahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa Universitas Airlangga, kesibukan saya selain berkuliah adalah bermain musik dan menyanyi.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Menuju Masyarakat Inklusif-Mental Disorders dalam Mewujudkan Prinsip SDGs No One Left Behind

12 Juni 2022   00:28 Diperbarui: 12 Juni 2022   00:42 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada September 2015, isu mengenai kesehatan mental telah resmi dimasukkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs) oleh PBB. Dalam langkah  ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengakui beban penyakit penyakit mental, dan disebutkan bahwa  kesehatan mental sebagai prioritas pembangunan global untuk masa depan. SDGs sendiri merupakan kesepakatan pembangunan global  yang berisi 17 Tujuan dan 169 Target yang merupakan rencana aksi global untuk 15 tahun ke depan semenjak pertama kali diresmikan yaitu pada tahun 2015. SDGs sendiri memiliki tujuan untuk mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. SDGs bersifat universal, yang berarti berlaku bagi seluruh negara tanpa terkecuali. Sehingga seluruh negara diwajibkan berkontribusi dalam tercapainya tujuan dan target sesuai dengan agenda yang tertera dalam SDGs.

"Pada tahun 2030, mengurangi sepertiga dari kematian dini yang disebabkan oleh penyakit tidak menular, melalui tindakan pencegahan dan pengobatan serta menaikkan kesehatan mental dan kesejahteraan"(SDGs, 2017). Pada tujuan 3 SDGs, secara eksplisit disampaikan bahwa naiknya kesehatan mental merupakan salah satu target yang harus dicapai. Di mana, sejatinya  kita telah melewati 7 tahun setelah target tersebut pertama kali dicetuskan oleh PBB. Lalu apakah target tersebut telah terpenuhi?

Data yang dipublikasikan oleh (National Alliance on Mental Illnes) NAMI, menunjukan bahwa 21% orang dewasa AS mengalami penyakit mental pada tahun 2020 dari sebanyak 52,9 juta orang, data ini mewakili 1 dari 5 orang dewasa. Sebanyak 5,6% orang dewasa AS mengalami penyakit mental serius pada tahun 2020 dari sebanyak 14,2 juta orang, data ini mewakili 1 dari 20 orang dewasa. Sedangkan 16,5% remaja AS berusia 6-17 tahun mengalami gangguan kesehatan mental pada tahun 2016 dari total 7,7 juta orang. Selain itu, 6,7% orang dewasa AS mengalami gangguan penggunaan zat yang terjadi bersamaan dan penyakit mental pada tahun 2020 dari total 17 juta orang. Data-data tersebut juga disertai dengan presentasi jumlah penduduk yang mendapatkan perawatan dikarenakan masalah kesehatan mental. Sebanyak 46,2% orang dewasa AS dengan penyakit mental menerima perawatan pada tahun 2020, 64,5% orang dewasa AS dengan penyakit mental serius menerima perawatan pada tahun 2020, dan 50,6% pemuda AS berusia 6-17 tahun dengan gangguan kesehatan mental menerima perawatan pada tahun 2016. Selain itu masih terdapat penyandang kesehatan mental yang tidak ter-cover oleh asuransi, yaitu sebanyak 11% orang dewasa AS dengan penyakit mental tidak memiliki cakupan asuransi pada tahun 2020, 11,3% orang dewasa AS dengan penyakit mental serius tidak memiliki cakupan asuransi pada tahun 2020, dan 150 juta orang tinggal di Area Kekurangan Profesional Kesehatan Mental.

Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa target SDGs yang dicetuskan masih belum dapat terealisasikan secara sempurna, tetapi memang tidak dapat dipungkiri bahwa semakin kesini, tuntutan hidup semakin tidak wajar. Di mana, kebanyakan  orang terutama di kalangan anak muda berlomba-lomba menerapkan budaya Hustle Culture yaitu budaya yang mengharuskan seseorang harus selalu produktif, tentunya hal tersebut dapat berdampak pada kesehatan mental itu sendiri. Apalagi setelah 2 tahun berkutat di era pandemi covid-19  yang semakin memperburuk kondisi kesehatan mental beberapa individu. 

Lalu, langkah apa yang dapat dilakukan untuk mencapai target yang telah dicetuskan oleh SDGs sebelumnya?

Dibutuhkan kerjasama oleh seluruh pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Seperti prinsip yang telah disebutkan oleh SDGs yaitu No One Left Behind, kita tidak boleh begitu saja meninggalkan mereka yang berjuang dengan kondisi kesehatan mentalnya. Pemerintah dapat lebih meningkatkan pemerataan asuransi bagi mereka yang membutuhkan, bukan hanya asuransi untuk kesehatan fisik saja, namun juga untuk pelayanan kesehatan mental. Karena menjaga kesehatan mental sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik.  Sedangkan untuk masyarakat sendiri, kita dapat merangkul orang di sekeliling yang berpotensi memiliki gangguan mental. Hilangkan stigma bahwa penyandang kesehatan mental itu harus diasingkan, karena mereka juga sama dengan manusia lain yang berhak mendapatkan dunia yang lebih baik. Dengan begitu, kita sudah mengambi selangkah lebih dekat dengan tercapainya SDGs  pada tahun 2030 mendatang. 

Memang tidak mudah, tetapi, sekecil apapun langkah yang akan kita ambil, merupakan pergerakan yang akan membawa kita mencapai akhir dari perjalanan menuju garis finish.

Referensi:

1. https://www.sdg2030indonesia.org/

2. https://www.nami.org/mhstats#:~:text=21%25%20of%20U.S.%20adults%20experienced,represents%201%20in%2020%20adults.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun