Mohon tunggu...
Nur Patimah
Nur Patimah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1

NIM: 43221120052 | Program Studi: Sarjana Akuntansi | Fakultas: Ekonomi dan Bisnis | Jurusan: Akuntansi | Universitas: Universitas Mercu Buana | Dosen: Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Edward Coke: Actus Reus, Mens Rea pada Kasus Korupsi di Indonesia - Kasus Korupsi E-KTP

28 November 2024   00:43 Diperbarui: 28 November 2024   00:43 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam ilmu hukum pidana, sebuah tindakan hanya dapat dianggap sebagai tindak pidana apabila memenuhi dua elemen utama, yaitu actus reus dan mens rea. Actus reus merujuk pada elemen fisik dari suatu kejahatan, yang meliputi perbuatan jasmani atau tindakan nyata yang dilakukan oleh seseorang. Hal ini mencakup tindakan langsung seperti pencurian, kelalaian seperti tidak merawat anak yang membutuhkan, atau keadaan tertentu seperti mabuk di tempat umum. Elemen ini menitikberatkan pada aspek perbuatan lahiriah yang dapat dilihat atau dirasakan sebagai wujud nyata dari pelanggaran hukum.

Namun, tindakan fisik semata tidak cukup untuk membuktikan kesalahan seseorang dalam hukum pidana. Dibutuhkan elemen kedua, yaitu mens rea, yang merujuk pada niat atau keadaan batin pelaku saat melakukan tindak pidana. Mens rea menekankan bahwa pelaku memiliki kesadaran atau kehendak yang disengaja dalam menjalankan perbuatan tersebut. Misalnya, dalam kasus korupsi, pelaku memiliki niat untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan menyalahgunakan wewenang. Selain itu, mens rea juga mencakup kelalaian atau ketidakpedulian yang disengaja terhadap kemungkinan konsekuensi yang dapat terjadi akibat tindakannya.

Kombinasi dari kedua elemen ini, yang dikenal dengan prinsip "actus non facit reum nisi mens sit rea" (perbuatan tidak menjadikan seseorang bersalah kecuali disertai dengan niat yang salah), menjadi dasar dalam menentukan seseorang bersalah dalam hukum pidana. Dengan kata lain, hukum pidana tidak hanya melihat apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga mempertimbangkan motivasi atau keadaan mental yang melatarbelakangi tindakan tersebut. Oleh karena itu, dalam sebuah proses hukum, kedua elemen ini harus dibuktikan secara jelas dan meyakinkan agar dapat dijadikan dasar dalam memberikan vonis bersalah kepada pelaku tindak pidana.

Melalui pemahaman akan konsep actus reus dan mens rea, keadilan dalam hukum pidana dapat tercapai. Pendekatan ini memastikan bahwa seseorang tidak dihukum hanya karena tindakan yang tidak disengaja atau tanpa adanya kesalahan mental. Dengan demikian, hukum pidana tidak hanya menjadi alat penghukuman, tetapi juga mencerminkan prinsip keadilan dan kehati-hatian dalam menilai suatu perbuatan. 

Korupsi merupakan salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh Indonesia, di mana praktik tersebut telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam upaya memberantas tindak pidana ini, teori hukum pidana yang diperkenalkan oleh Sir Edward Coke, yaitu actus reus dan mens rea, menjadi konsep yang sangat penting untuk dipahami. Teori ini menjelaskan elemen-elemen yang diperlukan untuk menentukan kesalahan dalam tindak pidana. Dalam konteks korupsi, teori ini membantu mengidentifikasi what (apa) yang dilakukan pelaku, why (mengapa) mereka melakukan tindakan tersebut, dan how (bagaimana) tindakan tersebut dapat dihukum secara hukum. Di Indonesia, teori ini diterapkan dalam banyak kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), termasuk kasus besar yang melibatkan korporasi seperti Kasus Proyek E-KTP.

Doumen Pribadi Nur Patimah
Doumen Pribadi Nur Patimah

Pemahaman Actus Reus dan Mens Rea Menurut Edward Coke

Edward Coke, seorang tokoh hukum Inggris yang hidup pada abad ke-16 dan ke-17, dikenal sebagai salah satu bapak hukum pidana modern. Konsep-konsep yang ia kemukakan, termasuk actus reus (perbuatan yang melanggar hukum) dan mens rea (niat jahat atau kesalahan mental), menjadi dasar dalam sistem hukum pidana banyak negara, termasuk Indonesia.  

Teori yang dikembangkan oleh Sir Edward Coke menyatakan bahwa suatu tindak pidana hanya dapat dikatakan terjadi apabila terdapat actus reus dan mens rea. Actus reus adalah elemen fisik dari kejahatan, berupa tindakan nyata yang melanggar hukum, seperti memberikan suap, menerima gratifikasi, atau mengatur proyek secara tidak sah. Sementara itu, mens rea adalah elemen mental yang menunjukkan niat jahat, kesengajaan, atau kelalaian yang disengaja saat melakukan tindakan tersebut. Prinsip hukum yang mendasari konsep ini adalah "actus non facit reum nisi mens sit rea", yang berarti perbuatan tidak dapat dianggap sebagai kejahatan tanpa adanya niat yang salah.

Dalam kasus korupsi, elemen actus reus sering kali terlihat melalui tindakan fisik seperti manipulasi dokumen, pengaturan proyek secara tidak sah, atau penerimaan uang suap. Namun, tanpa bukti mens rea, yaitu niat atau kesadaran bahwa tindakan tersebut melanggar hukum, pelaku tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, dalam setiap kasus korupsi, jaksa penuntut umum harus membuktikan bahwa tindakan korupsi tersebut dilakukan dengan sengaja untuk memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok, dan tidak hanya sekadar akibat dari kelalaian yang tidak disengaja.

Actus Reus: Elemen Fisik dalam Tindak Pidana

Actus reus merujuk pada elemen fisik dari suatu tindak pidana. Kata "actus" dalam bahasa Latin berarti tindakan, sedangkan "reus" berarti orang yang bersalah atau terlibat dalam suatu kejahatan. Secara sederhana, actus reus adalah tindakan nyata yang dilakukan oleh seseorang yang bertentangan dengan hukum. Dalam hal ini, hukum pidana hanya dapat menilai seseorang sebagai pelaku kejahatan apabila ada suatu tindakan fisik yang jelas, baik berupa perbuatan langsung, kelalaian, atau keadaan tertentu yang melanggar hukum.

Coke menjelaskan bahwa tindakan atau perbuatan yang dilakukan oleh individu harus bersifat nyata dan dapat dilihat untuk dianggap sebagai actus reus. Misalnya, dalam kasus pencurian, perbuatan mengambil barang orang lain tanpa izin merupakan actus reus. Selain itu, tindakan kelalaian atau tidak bertindak yang menyebabkan kerugian juga dapat dianggap sebagai actus reus, seperti misalnya kelalaian seorang dokter dalam merawat pasien. Dengan demikian, actus reus menekankan pada tindakan fisik yang melanggar norma hukum, yang dapat berupa perbuatan aktif (seperti membunuh) atau pasif (seperti tidak memberi pertolongan yang diperlukan).

Unsur-unsur Actus Reus:

  • Tindakan: Perbuatan yang nyata dan dapat diamati, seperti menerima uang suap.
  • Keadaan: Suatu kondisi yang melanggar hukum, misalnya, seorang pejabat yang memiliki konflik kepentingan dalam suatu proyek.
  • Omisi: Kegagalan untuk melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan, seperti tidak melaporkan tindakan korupsi yang diketahui.

Mens Rea: Elemen Mental dalam Tindak Pidana

Sedangkan mens rea adalah elemen mental atau niat batin dari seseorang yang melakukan tindak pidana. "Mens" dalam bahasa Latin berarti pikiran atau niat, dan "rea" berarti pelaku yang terlibat dalam suatu kejahatan. Oleh karena itu, mens rea merujuk pada niat, kesadaran, atau motivasi batin pelaku saat melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum. Edward Coke menegaskan bahwa seseorang tidak dapat dianggap bersalah hanya berdasarkan perbuatan fisik mereka; mereka juga harus memiliki niat jahat atau kesadaran bahwa tindakan mereka melanggar hukum.

Dalam banyak kasus, mens rea berhubungan dengan tujuan atau niat dari pelaku untuk melakukan suatu tindakan yang akan mengakibatkan akibat tertentu. Sebagai contoh, dalam kasus pembunuhan, pelaku harus memiliki niat untuk membunuh korban agar dapat dijatuhi hukuman pidana yang setimpal. Namun, ada juga bentuk mens rea yang lebih luas, seperti kelalaian atau ketidaksengajaan, yang dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana tanpa niat untuk melakukannya. Sebagai contoh, seorang pengemudi yang mengabaikan peraturan lalu lintas dan menyebabkan kecelakaan fatal, meskipun tidak memiliki niat untuk membunuh, tetap dapat dihukum karena kelalaiannya yang mengakibatkan kematian.

Unsur-unsur Mens Rea:

  • Niat: Keinginan yang kuat untuk melakukan tindakan melanggar hukum.
  • Kecuaian: Tidak adanya kehati-hatian yang seharusnya dimiliki oleh seseorang dalam suatu situasi, sehingga mengakibatkan terjadinya tindak pidana.

Keterkaitan Antara Actus Reus dan Mens Rea

Dokumen Pribadi Nur Patimah
Dokumen Pribadi Nur Patimah

Menurut Edward Coke, kedua elemen ini---actus reus dan mens rea---harus ada secara bersamaan agar suatu perbuatan dapat dianggap sebagai tindak pidana yang sah di mata hukum. Dalam artian lain, tindakan fisik atau actus reus tidak cukup untuk membuktikan kesalahan seseorang jika tidak didukung oleh niat batin atau mens rea yang membuktikan bahwa pelaku sadar dan berniat melakukan perbuatan yang melanggar hukum. Sebagai contoh, seseorang yang dengan sengaja melakukan perampokan (actus reus) dan memiliki niat untuk memperkaya diri sendiri dengan cara merampok (mens rea) dapat dihukum berdasarkan kedua elemen ini.

Namun, tidak semua tindak pidana memerlukan adanya mens rea yang jelas. Dalam beberapa kasus, cukup dengan adanya perbuatan fisik yang melanggar hukum tanpa memperhatikan niat pelaku. Misalnya, dalam kasus kelalaian, seperti tidak memberikan pertolongan kepada orang yang sedang sekarat, meskipun pelaku tidak berniat membunuh, perbuatannya tetap dianggap sebagai tindak pidana karena melanggar kewajiban hukum untuk bertindak.

Kasus Proyek E-KTP: Tindak Pidana Korupsi yang Melibatkan Banyak Pihak 

Proyek e-KTP adalah salah satu kasus korupsi terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. Proyek ini melibatkan pengadaan perangkat keras dan perangkat lunak untuk sistem identitas elektronik bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, dalam implementasinya, proyek ini justru menjadi ajang untuk praktik korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat negara, anggota DPR, serta pengusaha. Berdasarkan hasil penyidikan, ditemukan bahwa proyek e-KTP mengalami penggelembungan anggaran yang signifikan, dengan nilai korupsi yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 2,3 triliun. Para terdakwa dalam kasus ini termasuk mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, anggota DPR, serta sejumlah pengusaha yang diduga terlibat dalam suap dan pengaturan proyek yang merugikan negara.

Sebagai contoh, Setya Novanto, yang merupakan ketua DPR pada saat itu, divonis bersalah karena menerima suap dari pengusaha terkait proyek e-KTP. Dalam hal ini, actus reus Setya Novanto adalah tindakan menerima uang suap dan berusaha mempengaruhi proses penganggaran proyek e-KTP. Adapun mens rea atau niat jahatnya adalah kesadaran bahwa tindakannya bertujuan untuk memperkaya diri dan pihak lain dengan cara yang melanggar hukum. Selain itu, ada juga para pejabat Kementerian Dalam Negeri yang terlibat dalam proses penggelembungan anggaran dan penentuan vendor proyek yang mendapat kontrak, dengan niat untuk memperoleh keuntungan pribadi melalui suap atau pembagian hasil.

Kasus e-KTP juga melibatkan pengusaha yang diduga memberikan suap agar proyek ini bisa dijalankan sesuai dengan kepentingan pribadi mereka. Para pengusaha ini menyadari bahwa dengan memberikan uang suap, mereka bisa memenangkan kontrak proyek dan mendapatkan keuntungan yang sangat besar. Di sini, actus reus mereka adalah tindakan memberikan suap kepada pejabat negara, sementara mens rea mereka adalah niat untuk memperoleh keuntungan pribadi yang tidak sah dengan cara yang melanggar hukum.

Aplikasi Actus Reus dan Mens Rea dalam Kasus E-KTP

Dalam konteks kasus e-KTP, kedua elemen ini sangat relevan untuk menentukan apakah para terdakwa dapat dijatuhi hukuman pidana. Jika hanya ada perbuatan fisik, misalnya penggelembungan anggaran atau pemberian suap, tanpa adanya niat jahat untuk memperoleh keuntungan dengan cara yang melanggar hukum, maka tidak akan ada dasar yang cukup untuk menganggap perbuatan tersebut sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, pembuktian mens rea sangat penting dalam kasus korupsi, seperti yang terlihat pada tindakan para pejabat dan pengusaha dalam kasus e-KTP.

Sebagai contoh, pembuktian mens rea Setya Novanto, yang memiliki niat untuk memanipulasi proses pengadaan dan memperoleh keuntungan pribadi dari proyek e-KTP, menjadi elemen penting dalam vonis hukum yang dijatuhkan kepadanya. Begitu juga dengan para pejabat lainnya yang terlibat dalam proyek ini. Jika mereka hanya melakukan perbuatan fisik tanpa adanya niat untuk merugikan negara atau memperkaya diri mereka sendiri secara ilegal, maka mereka mungkin tidak akan dijatuhi hukuman pidana yang setimpal. Namun, karena terbukti bahwa mereka memiliki niat jahat, maka tindakan mereka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.

Salah satu tantangan dalam penegakan hukum pada kasus korupsi seperti e-KTP adalah membuktikan mens rea para terdakwa. Dalam banyak kasus, pelaku tindak pidana korupsi berusaha untuk menutupi niat jahat mereka dengan menggunakan berbagai taktik, seperti menyembunyikan bukti atau memberikan keterangan palsu. Oleh karena itu, dalam menangani kasus-kasus seperti e-KTP, penting bagi aparat penegak hukum untuk menggali bukti-bukti yang dapat menunjukkan niat jahat pelaku, seperti rekaman percakapan, bukti transaksi keuangan, serta kesaksian dari pihak-pihak terkait.

Pentingnya Actus Reus dan Mens Rea dalam Hukum Pidana

Dokumen Pribadi Nur Patimah
Dokumen Pribadi Nur Patimah

Edward Coke, seorang ahli hukum abad ke-16, dikenal karena mengembangkan prinsip dasar yang kini menjadi fondasi hukum pidana modern, yaitu bahwa tindakan kriminal hanya dapat dihukum jika memenuhi dua unsur: actus reus (perbuatan jasmani) dan mens rea (niat atau kesalahan batin). Menurut Coke, seseorang tidak dapat dianggap bersalah hanya karena melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh hukum; ada elemen mental yang juga harus dibuktikan, yang menunjukkan bahwa pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan niat yang salah atau dengan kesadaran bahwa perbuatannya melanggar hukum.

Actus reus mengacu pada elemen fisik dari suatu tindak pidana, yang bisa berupa tindakan nyata, kelalaian dalam bertindak, atau keadaan yang mengarah pada pelanggaran hukum. Dalam konteks kasus korupsi seperti proyek e-KTP, actus reus mencakup berbagai perbuatan yang dilakukan oleh para pejabat dan pengusaha, seperti menyalahgunakan kewenangan, menerima suap, dan melakukan tindakan yang merugikan negara dan rakyat. Sebagai contoh, perbuatan fisik yang dilakukan oleh para terdakwa dalam kasus e-KTP, seperti penggelembungan anggaran dan penyerahan uang suap kepada anggota DPR, dapat dianggap sebagai actus reus dari tindak pidana korupsi.

Sementara itu, mens rea adalah elemen mental dari suatu tindak pidana, yang berkaitan dengan kesadaran dan niat jahat pelaku saat melakukan tindakan tersebut. Dalam kasus e-KTP, mens rea berfokus pada niat para pejabat yang terlibat dalam proyek tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi, meskipun mereka menyadari bahwa tindakan mereka akan merugikan negara dan rakyat. Niat jahat ini tercermin dari pengaturan proyek secara tidak transparan, penggelembungan anggaran, dan kesepakatan untuk menerima suap. Tanpa adanya niat untuk melakukan kejahatan, tidak ada dasar yang cukup untuk membuktikan bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana, meskipun perbuatan fisiknya jelas melanggar hukum.

Pemahaman tentang actus reus dan mens rea sangat penting dalam menangani kasus korupsi, seperti kasus proyek pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) di Indonesia. Tanpa adanya pemahaman yang jelas tentang kedua elemen ini, sistem hukum tidak dapat membedakan dengan tepat antara tindakan yang murni karena kelalaian atau kebetulan dan tindakan yang benar-benar disengaja untuk merugikan negara. Edward Coke, yang pertama kali mengemukakan pentingnya kedua elemen ini dalam hukum pidana, mengajarkan bahwa tidak cukup hanya dengan membuktikan adanya perbuatan fisik (actus reus), tetapi juga harus ada pembuktian niat atau kesalahan batin (mens rea). Dalam kasus e-KTP, banyak pelaku yang terbukti melakukan tindakan fisik, seperti penggelembungan anggaran dan pemberian suap, namun untuk memastikan bahwa tindakan tersebut merupakan kejahatan yang dapat dihukum, harus dibuktikan juga bahwa mereka memiliki niat jahat untuk memperkaya diri mereka sendiri atau pihak lain dengan cara melawan hukum. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang actus reus dan mens rea sangat diperlukan untuk memastikan proses hukum berjalan dengan adil.

Bagaimana Kedua Elemen Ini Diterapkan dalam Kasus Pidana

Penerapan actus reus dan mens rea dalam kasus korupsi e-KTP dilakukan melalui pembuktian dua elemen utama ini. Dalam hal ini, actus reus merujuk pada perbuatan fisik yang dilakukan oleh para terdakwa, seperti penggelembungan anggaran, pengaturan proyek secara tidak transparan, serta pemberian dan penerimaan suap. Tindakan-tindakan ini jelas merupakan pelanggaran hukum yang merugikan negara, dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai actus reus dari tindak pidana korupsi.

Namun, meskipun perbuatan fisik ini dapat dibuktikan, untuk menjatuhkan hukuman yang tepat, perlu juga dibuktikan bahwa para terdakwa memiliki mens rea, yaitu niat atau kesadaran batin untuk melakukan tindakan ilegal tersebut. Dalam kasus e-KTP, para terdakwa, seperti Setya Novanto dan beberapa pejabat Kementerian Dalam Negeri, memiliki niat untuk memanipulasi proses penganggaran proyek e-KTP demi memperoleh keuntungan pribadi melalui suap atau pengaturan proyek yang tidak transparan. Oleh karena itu, pembuktian mens rea dalam kasus ini sangat penting untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya melakukan perbuatan fisik yang merugikan negara, tetapi juga bertindak dengan niat jahat untuk memperkaya diri mereka sendiri dan pihak lain.

Untuk membuktikan mens rea, penyidik dan jaksa penuntut umum perlu menggali bukti yang menunjukkan bahwa para terdakwa tidak hanya melakukan tindakan tersebut secara sembarangan atau tanpa kesadaran, tetapi dengan sengaja dan dengan tujuan tertentu, yakni untuk mendapatkan keuntungan finansial yang tidak sah. Bukti seperti rekaman percakapan, bukti transaksi suap, dan kesaksian dari pihak-pihak terkait menjadi kunci dalam pembuktian niat batin para pelaku.

Daftar Pustaka

Njoto, David Lind Budijanto (2019) Interpretasi Asas Actus Non Facit Reum Nisi Mens Rea Dalam Tindak Pidana Korupsi. Undergraduate thesis, Universitas Katolik Darma Cendika Fakultas Hukum. 

Wachid, M. A. Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh KPK. Fakultas Hukum Universitas Wisnuwardhana Malang

 Hukumonline. Mengurai Actus Reus dan Mens Rea Pidana Korporasi dalam KUHP Nasional. 

Gabrilin, A., Movanita, A. N. K., & Belarminus, R. (2018). Korupsi E-KTP: Dampak dan Proses Hukum [The E-KTP Corruption: Impacts and Legal Process].

Sukma, P. T. (2018). Tugas Filsafat Pancasila: Analisis Kasus yang Terjadi dalam Kehidupan Sehari-Hari di Indonesia. Fakultas Ekonomi/Bisnis, Jurusan Manajemen, Universitas Katolik Widya Mandala Madiun.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun