Mohon tunggu...
Okta Tutut
Okta Tutut Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Allah Menghalalkan Bunga Desa dan Mengaharamkan Bunga Bank

10 Mei 2017   23:55 Diperbarui: 11 Mei 2017   00:54 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut Imam Hanafi dan hambali, barang yang berpotensi terkena riba adalah semua barang yang dapat dijual, sedangkan menurut Imam Malik yang berpotensi terkena riba adalah barang yang dapat dimakan dan tahan lama, dan menurut Imam Syafi’i adalah barang yang dapat dimakan. Dalam konteks kekinian, tampaknya semua orang lebih cenderung sepakat bahwa yang termasuk riba tidak terbatas pada komoditas tertentu seperti pendapat Imam di atas, namun hal-hal yang berlipat ganda termasuk ke dalam golongan riba.[4]

Kegiatan ekonomi dari masa ke masa selalu mengalami perubahan dan perkembangan. Yang dulu tidak ada, kini menjadi ada, dan sebaliknya yang dulu ada, kini tidak ada. Contohnya saja di masa Rasulullah tidak ada uang kertas, kini ada uang kertas. Dulu lembaga pemodal seperti bank tidak ada, kini ada. Persoalan baru dalam fikih mu’amalah muncul ketika pengertian riba sebagaimana diterangkan di muka dihadapkan kepada persoalan bank. Di satu pihak, bunga bank terperangkap dalam kriteria riba, tetapi di sisi lain bank mempunya fungsi sosial yang besar, bahkan dapat dikatakan tanpa bank suatu negara akan hancur.

Bunga bank telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan umat islam, khususnya di Indonesia. Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, organisasi yang terbesar di Indonesia tidak menyatakan larangan terhadap bunga bank. Tetapi terdapat beberapa kelompok , baik di kalangan NU dan Muhammadiyah yang belakangan mengelola badan pemodal seperti bank.

dalam kaitan apakah riba sama dengan bunga bank ,wahbah Az- Zuhaili mengatakan, “bunga bank adalah haram hukumya, karena bunga bank adalah riba nasi’ah (menunggu). Sama saja apakah bunga itu mengembang atau menumpuk. Karena perbuatan bank adalah janji dan janji, sungguh bunga bank merupakan bunga yang jelas, bunga adalah haram hukumnya seperti riba.[5]

Pengharaman riba nasi’ah pada dasarnya mengakibatkan bahwa penetapan di muka tingkat keuntungan positif atas pinjaman sebagai imbalan karena ‘waktu menunggu’ tidak diperbolehkan oleh syariat. Dalam permasalah antara riba dan bung bank terdapat beberapa perbedaan pendapat, apakah bunga bank konvensional sama dengan riba. Dalam rangka untuk melakukan pembenaran atas kehalalan sistem bunga bank konvensional, ada sebagian ulama yang berdalih bahwa  riba yang diharamkan Allah dan Rasulnya dikenal sebagai bunga konsumtif, yaitu bunga yang dibebankan bagi orang yang berhutang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti makan, minum, dan lain-lain. Namun dalam kenyataannya, tidak hanya bunga yang konsumtif saja, tetapi bunga komersial juga, sebagaimana praktik bunga bank konvensional saat ini.

Kesimpulanya, dari pernyatan di atas dapat disimpulkan bahwa para ahli fiqih  berpendapat bahwa perkara utang-piutang dengan faedah (riba) adalah termasuk diharamkan, karena  Al-Qur’an maupun hadist yang dijadikan dalil pelarangan riba tidak terdapat kecacatan dan termasuk hadist yang shahih. Islam menganggap bunga bank sebagai suatu kejahatan ekonomi yang menyebabkan penderitaan masyarakat baik secara ekonmis, sosial, dan moral.

Hikmah diharamkannya riba dalah untuk mencegah penganiayaan pihak kreditor terhadap pihak debitor. Selain alasan tersebut alasannya adalah untuk mewujudkan persamaan yang adil antara pemilik harta dan peminjam, serta memikul risiko dan akibatnya secara berani dan penuh rasa tanggung jawab.[6]


[1] Dr. Muh. Zuhri. Riba Dalam Angsuran dan Masalah Perbankan.Solo: Rajawali Press. Halm. 181.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun