Mohon tunggu...
Nurohmat
Nurohmat Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Pecinta Literasi dan Pendaki Hikmah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menyorot Seremoni Keagamaan Warga Perumahan

18 Agustus 2020   08:58 Diperbarui: 18 Agustus 2020   08:47 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hari  Senin, tanggal 17 Agustus 2020  adalah hari jadi Republik Indonesia yang ke-75. Di Masjid kami, ekspresi rasa syukur itu diwujudkan dalam bentuk 'nderes' Al-Qur'an 30 Juz yang dibacakan oleh jamaah Masjid yang hadir. 

Sekadar informasi, Masjid kami berada di lingkungan  perumahan, bukan Masjid yang berada di lingkungan perkampungan. Hal ini tentu membawa karakter sosial tersendiri terhadap warga dan jamaah yang ada di perumahan kami. 

Masjid kami sering mengadakan kumpul-kumpul seremonial keagamaan, entah itu tahlilan, marhabanan, sholawatan, bahkan tadarusan. Pelaksanannyapun sudah terjadwal secara rutin; mingguan, bulanan, bahkan tahunan. 

Soal kumpul-kumpul yang berkaitan dengan seremonial keagamaan,sebenarnya saya tidak tertarik untuk membanding-bandingkan antara warga perumahan dengan warga perkampungan, meskipun letak perumahan kami berada di desa bukan perkotaan. 

Namun, dalam pengamatan saya selama ini menghasilkan kesimpulan sementara bahwa soal kumpul-kumpul seremonial keagamaan seperti tahlilan, sholawatan, manakiban, marhabanan, atau tadarusan di masyarakat perumahan belum bisa melampaui kemeriahan seremonial keagamaan di perkampungan. 

Seingatan saya, saat saya kecil hingga remaja kemeriahan seremonial keagamaan lebih semarak di perkampungan dibandingkan di perumahan meskipun perumahan dan perkampungan tersebut sama-sama berada di desa.

Kita juga harus memaklumi bahwa umumnya warga perumahan itu adalah pendatang dan berasal dari latar belakang yang beragam, seperti latar agama, corak pemahaman keagamaan, suku bangsa, kebiasaan, dan sebagainya.

Latar belakang yang beragam itu membuat warga perumahan jauh lebih heterogen ketimbang warga perkampungan. Warga perumahan yang ada di suatu desa merupakan perkawinan antara kultur masyarakat perkotaan dengan masyarakat pedesaan, terkadang bahkan corak masyarakat perkotaannya lebih dominan ketimbang pedesaan. 

Hal tersebut menggiring pandangan  kita bahwa seremonial keagamaan yang secara umum digandrungi oleh masyarakat perkampungan (pedesaan) belum tentu digandrungi  oleh masyarakat perumahan meskipun perumahan tersebut berada di suatu desa. 

Terkadang saya ingin melakukan survey kecil-kecilan, terkait dengan kecenderungan masyarakat perumahan kami terhadap seremonial keagamaan yang  biasa dilakukan di perkampungan. 

Saya ingin mengetahui lebih jauh kecenderungan masyarakat perumahan terhadap kegiatan seremoni keagamaan seperti tahlilan, sholawatan, marhabanan, manakiban, atau tadarusan. 

Berikut harapan-harapan yang sebenarnya, hambatannya, dan teknis pelaksanaannya. Saya agak penasaran juga, untuk mencari jawaban apakah kegiatan-kegiatan seremonial tersebut, secara umum masih benar-benar digandrungi oleh masyarakat perumahan kami atau memang sudah memudar? 

Cirebon, 18 Agustus 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun