Mohon tunggu...
Nurohmat
Nurohmat Mohon Tunggu... Guru - Pembelajar

Pecinta Literasi dan Pendaki Hikmah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Sakit

20 Januari 2019   21:27 Diperbarui: 21 Januari 2019   07:29 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sakit itu manusiawi. Semua orang pasti pernah merasakan sakit. Jangankan manusia kotor seperti kita, manusia suci seperti para Nabi juga mengalami sakit bahkan super sakit, derita.  Derita di badan seperti yang dialami Nabi Ayyub saat ditimpa penyakit kulit.  Derita perasaan dan pikiran seperti yang dialami Nabi Ya'kub saat kehilangan Yusuf a.s., anak yang sangat dikasihinya.

Namun, para Nabi tidak ada yang mengalami sakit jiwa. Yang ada adalah tuduhan sakit jiwa, seperti yang  dituduhkan oleh kalangan kafir Quraish yang menuduh Nabi Muhammad SAW sebagai orang yang majnun.

Yang namanya tuduhan, pasti akan selalu dituduhkan terhadap seseorang atau sekelompok orang yang berpotensi mengganggu kemapanan. Dan tuduhan yang mudah diterima oleh masyarakat adalah tuduhan yang dirasionalisasikan, tuduhan yang masuk akal untuk ukuran akal masyarakat awam.

Begitu pula dengan sakit hati hingga mengkristal menjadi dendam. Para Nabi, tidak mengalami hal yang demikian, karena hati para Nabi  senantiasa menuju kepada Yang Maha Suci sehingga hatinya jernih, bersih, dan suci. Karena itu, penyakit hati tidak menghinggapi para Nabi.

Berbeda dengan manusia yang hatinya jauh dari Yang Maha Suci, yang ruang hatinya dipenuhi oleh jabatan, ketokohan, uang, dan hal-hal yang profan. Bisa jadi tarikan dan dorongan untuk melampiaskan sakit hati sangat terbuka.

Bagaimana dengan sakit sosial ? Ini pun mustahil dialami para Nabi. Jangankan berjudi, korupsi, mabuk-mabukan, atau meniduri wanita lain yang bukan pasangannya. Ucapan berbau ngapusi   agar masyarakat mau mengikuti keinginan  pribadi Nabi pun tidak  dilakukan. 

Tentu para Nabi sangat berbeda dengan para politisi yang sedang nyapres atau nyaleg. Janji lama belum terpenuhi, janji yang baru, didaur ulang lagi. Anehnya masih saja banyak masyarakat  yang bahagia meski diapusi. Konyol kan?

Jadi, soal sakit itu, mengingatkan kita bahwa kita adalah manusia. Bayangkan bila  kita tidak pernah sakit, bisa jadi kita lupa bahwa kita adalah manusia. Fir'aun adalah manusia biasa, Tuhan memberikan kelebihan kepada Fir'aun, Fir'aun tidak pernah mengalami sakit. Fir'aun 'lupa' bahwa ia manusia, hingga mengaku sebagai Tuhan.  

Sakit itu wujud kasih sayang Tuhan pada kita. Sebagai manusia yang beragama, saat sakit pasti ingat Tuhan. Banyak menyebut asma Allah. Sangat mungkin, saat itulah segala kesalahan dan dosa-dosa kita diampuni.

Cirebon, 20 Januari 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun