Oleh Nur Nazhifah,Â
(Mahasiswi Pendidikan Sosiologi B, FIS UNJ)
Yogyakarta merupakan kota budaya yang telah melahirkan banyak kesenian sebagai produknya hingga seniman sebagai aktornya. Keluwesan yang dimiliki daerah tersebut melahirkan kreatifitas musik yang bertumbuhkembang dalam berbagai genre, mulai dari keroncong hingga hip-hop.
Salah satu produk budaya yang lahir dari daerah tersebut ialah Jogja Hip Hop Foundation. Komunitas musik ini cukup populer lewat lagu yang bertajuk Cintamu sepahit topi miring, Red Khedep, hingga Ngilmu Kyai Petruk dan Jogja Istimewa. Sejak didirikan pada tahun 2003, Jogja Hip Hop Foundation konsisten dalam membawakan aneka tema musik yang dikemas dengan irama Hip Hop dan dipadukan dengan musik tradisional Jawa.
Pada kajian Budaya, musik Hip Hop di Indonesia sendiri menjadi subkultur dari jenis musik yang ada di Indonesia secara umum. Hip Hop Jawa yang dibawakan oleh Jogja Hip Hop Foundation merupakan subkultur dari kebudayaan yang lebih luas, yaitu budaya Hip Hop dan budaya musik di Indonesia. Musik yang diusung oleh komunitas ini mencakup aneka tema yang meliputi kritik sosial, puisi Jawa, dan falsafah hidup orang Jawa yang terdapat dalam kitab Jawa kuno. (Rakhmawati, 2011)
Untuk itu, tulisan ini berusaha mengkaji bagaimana musik Hip Hop yang berakulturasi dengan budaya Jawa dapat dikatakan sebagai subkultur serta kaitannya dengan perspektif pada kajian Sosiologi Budaya, yaitu Interaksionisme Simbolik.
Hip Hop Jawa sebagai Subkultur
Seperti namanya, subkultur ada di dalam sistem budaya yang lebih besar dan memiliki kontak dengan budaya luar. Namun, di dalam domain subkultur, beroperasi seperangkat simbol, makna, dan norma perilaku yang kuat---seringkali kebalikan dari budaya yang lebih besar---yang mengikat anggota subkultur (Griswold, 2012). Akan tetapi, Jogja Hip Hop Foundation memeliki karakteristik yang berbeda seperti subkultur pada umumnya. Ia merupakan lembaga informal yang keanggotaannya bersifat terbuka.
Subkultur dapat disebut sebagai way of life. Para remaja secara khusus berduyun-duyun memproduksi dan bergabung dalam subkultur, sebab mereka memiliki sarana untuk mengekspresikan diri melalui konsumsi, mereka berkeinginan untuk membedakan diri mereka dari kelompok usia lain dan bahkan remaja lain. Faktor lainnya juga disebabkan mereka belum terikat oleh institusi kehidupan orang dewasa (Hebdige, dalam Griswold, 2021).
Hip Hop Jawa dalam Interaksionisme Simbolik
Sudut pandang interaksionis simbolik meyakini bahwa individu (self) terbuka lebar untuk dipengaruhi. Perspektif ini menunjukkan bahwa interaksi manusia menciptakan budaya. Begitu tercipta, objek budaya dilanggengkan dan ditransmisikan melalui ekspresi berulang dan sosialisasi anggota kelompok baru, misalnya kaum muda. Inilah yang terjadi pada Hip Hop Jawa yang dipopulerkan oleh Jogja Hip Hop Foundation