"Hei, itu telponmu bergetar-getar terus..."
"Apanya?"
"Telepon, ada panggilan masuk. Angkat!"
Nampaknya Sato sudah mulai kehilangan kesadaran meski matanya tetap menegang. Panggilan dering telepon dari seseorang di seberang sana tak dihiraukannya. Ada sebuah nama mungil yang tertera di layar telepon genggam yang digeletakkan begitu saja di meja minuman. Sari...
"Biarin."
"Siapa sih, istrimu? Angkat dong!"
"Biarin!"
"Kalau gak mau ngangkat, matiin dong, di silent kek. Brisik, Bro..."
Toni menggerutu sebal melihat kelakuan temannya. Bunyi nada dering dari Sari, istri Sato menggema-gema dengan keras hingga bunyinya akan memekakkan telinga setiap orang yang mendengarkan lama-kelamaan . Mulanya dering itu berbunyi lalu mati karena tak ada yang mengangkatnya bukan tak ada yang mau mengangkatnya sebetulnya melainkan yang berhak dan sungguh diingini yang mengangkatnya hanya Sato seorang. Begitu kiranya harapan orang yang sedang berusaha mati-matian untuk menelepon Sato.
Sato pun menyambar telepon genggam yang barusan mati itu, dan memencet tombol pengaturan. Setelah beberapa detik kemudian layar telepon genggam itu menyala lagi tanpa bunyi. Tanpa getar. Layarnya sedikit menyala-nyala. Â Dipandanginya telepon genggam itu dengan tajam. Dari mulutnya tersembur asap rokok yang tak henti-hentinya menabrak wajah layar telepon genngamnya. Dengan menatap tajam serta menghembusinya dengan asap rokok seolah Sato ingin melenyapkan persoalan yang sedang menimpanya.
Diseberang ruang dan waktu yang berbeda Sari memeluk guling sambil tiduran seperti keluwing sambil memeluk sehelai sarung kepunyaan Sato. Air matanya senantiasa membasahi sarung itu. Ia baui kain bermotif hujan itu seolah ia ingin menyesap serat kain yang menyimpan kerinduannya. Sambil memegang telepon genggam yang senantiasa basah oleh air mata pula. Sari tak henti menghubungi suaminya di seberang sana.