Pada 24 Februari 2022 lalu, Presiden Vladmir Putin pada akhirnya secara resmi melancarkan operasi militer Rusia ke Ukraina. Serangan mulai dilancarkan di beberapa kota di Ukraina. Hal tersebut menimbulkan ketegangan yang kian memanas antara Rusia dan Ukraina yang hingga saat ini masih terus berlangsung.
Lalu bagaimana awal dari perseturuan kedua negara ini? Menurut Connie Rahakundini Bakrie, pengamat militer Indonesia, menyatakan bahwasanya perang Rusia dan Ukraina ini tidak lepas dari ketegangan yang telah lama terjadi antara Rusia dan Barat dalam hal ini tidak lain adalah North Atlantic Treaty Organization (NATO).
Rusia dan Ukraina memiliki hubungan secara geopolitik yang bersinggungan. Secara geopolitik Ukraina berada di dua sisi, di mana pro-Eropa berada di bagian barat, sedangkan pro-Rusia berada di bagian timur. Pada awalnya Rusia dan Ukraina tergabung dalam sebuah negara federasi yakni Uni Soviet, sebelum akhirnya mengalami keruntuhan pada Desember 1991. Uni Soviet kemudian mulai terpecah belah hingga menjadi 15 negara yang diantaranya adalah Rusia dan Ukraina.
Setelahnya, Rusia, Ukraina dan Belarusia membentuk Commonwealth of Independent States (CIS). CIS ini dibentuk dengan tujuan sebagai wadah bagi negara-negara eks-Soviet untuk berintegrasi sembari membangun negaranya masing-masing yang kala itu baru saja merdeka. Namun perpecahan mulai terjadi, Ukraina beranggapan bahwasanya CIS adalah cara Rusia untuk mengendalikan negara-negara eks-Soviet. Kemudian perpecahan tersebut teratasi dengan ditandatanganinya perjanjian persahabatan antara Rusia dan Ukraina.
Kemudian mulai terjadi krisis di Ukrina dimana terjadinya protes di ibu kota Kyiv, Ukrarina. Pada November 2013, Presiden Viktor Yanukovych dari Ukraina, yang pro terhadap Rusia, menolak untuk kesepakatan dan ekonomi dengan UNI Eropa. Hal ini yang kemudian melatar belakangi terjadinya  revolusi penentangan terhadap otoritas Rusia di Ukraina. Revolusi tersebut berhasil dilakukan dengan lengsernya Presiden Viktor Yanukovych.
Setelahnya sempat terjadi kekosongan pemerintahan hingga parlemen Ukraina mengumumkan tiga hal pada tanggal 23-26 Februari. Pertama, memunculkan nama Olexander Turchynov sebagai presiden sementara dan Arseniy Yatsenyuk sebagai perdana menteri sementara. Kedua, kesatuan elit polisi Berkut dibubarkan dan disalahkan atas tewasnya para demonstran ketika terjadi kericuhan. Ketiga, pelarangan penggunaan bahasa Rusia sebagai bahasa kedua di Ukraina.
Menanggapi revolusi yang terjadi, Rusia kemudian membalas dengan mengirim pasukan ke Semenanjung Krimea. Setelah menguasai Krimea, Rusia mengobarkan pemberontakan separatis di kawasan Ukraina Timur, yang dikenal sebagai wilayah Donbas, dengan mengirim persenjataan kepada kubu separatis. Selanjutnya pada April 2014, pemberontak yang didukung Rusia merebut gedung-gedung pemerintah di wilayah Donetsk dan Luhansk, lalu memproklamirkan pembentukan dua republik baru.
Setelah pasukan Ukraina terdesak kubu separatis, delegasi pemerintah Ukraina, wakil-wakil separatis dan wakil dari Organisasi untuk Keamanan dan Kerjasama di Eropa OSCE melakukan perundingan dan akhirnya menandatangani kesepakatan gencatan senjata di ibukota Belarusia, Minsk. Namun kesepakatan itu ternyata tidak tahan lama, pertempuran Kembali pecah sampai Februari 2015.
Kemudian keadaan kembali memanas dengan adanya ikatan yang erat antara Ukraina dan NATO, hingga Ukraina memiliki keinginan untuk bergabung dengan NATO. Hal ini digagas oleh Presiden Velodymyr Zelenskyy agar Ukraina mendapatkan dukungan militer langsung dari aliansi lintas-Antlantik serta mendapatkan senjata nuklir. Di sisi lain Rusia menuntut agar Ukraina tetap "netral" sehubungan dengan perluasan aliansi militer Barat, NATO.
Isu serangan kemudian mulai bergulir sejak November 2021. Sebuah citra satelit menunjukkan penumpukan baru pasukan Rusia di perbatasan dengan Ukraina. Moskow diyakini Barat memobilisasi 100.000 tentara bersama dengan tank dan perangkat keras militer lainnya. Intelijen Barat menyebut Rusia akan menyerang Ukraina. Rusia membantah akan menyerang kala itu. Namun, Rusia mengajukan tuntutan keamanan yang terperinci kepada Barat.
Salah satunya Rusia meminta NATO menghentikan semua aktivitas militer di Eropa Timur dan Ukraina. Rusia meminta aliansi tersebut untuk tidak pernah menerima Ukraina atau negara-negara bekas Soviet lainnya sebagai anggota. Seperti yang diketahui bahwasanya NATO telah melakukan lima fase ekspansi, dari tahun 1999 hingga 2020. Tawaran untuk memperluas NATO tentu saja menjadi ancaman yang serius bagi Rusia. Rusia tidak dapat menerima ekspansi yang terus menerus dilakukan NATO di arah timur.
Pada 15 Februari 2022, Putin menegaskan akan menarik semua pasukan dari perbatasan. Ia mengatakan ini saat konferensi pers bersama Kanselir Jerman Olaf Scholz di Moskow, Rusia. Putin mengatakan, Rusia tidak menginginkan perang. Menurutnya, Rusia siap mencari solusi dengan Barat.
Hingga pada kamis, 24 Februari 2022, pernyataan Putin di depan Olaf tak terealisasi. Rusia akhirnya melepaskan serangannya. Ledakan terjadi di sejumlah kota di Ukraina termasuk Kyiv. Kendati begitu, penyerangan yang dilakukan Rusia di Ukraina, menurut Putin, merupakan tindakan untuk membela separatis di timur Ukraina.
Namun pernyataan Putin tersebut diragukan oleh para ahli. Dipercaya bahwa alasan di balik penyerangan tersebut tidak lain dan tidak bukan adalah karena Putin ingin memaksakan adanya perubahan di Ukraina. Dalam hal ini yang dimaksud adalah posisi kepemimpinan, yang mana Putin ingin kepemimpinan dialihkan kepada Pro-Moskow. Karena semenjak terjadinya revolusi di Ukraina, Rusia merasakan terus menerus dirugikan.
Secara keseluruhan, perang antara Rusia dan Ukraina ini sesungguhnya bukan hanya persoalan internal antar kedua negara. Namun, keberadaan Ukraina sebagai entitas yang cukup penting di perbatasan dengan Rusia, tidak saja memiliki nilai strategis bagi Rusia, tetapi juga bagi negara-negara Eropa Barat, sehingga krisis Ukraina pun mengundang kepentingan banyak pihak, termasuk AS yang tergabung dalam NATO bersama negara-negara Uni Eropa. Di sisi lain sejumlah negara menentang perbuatan Putin karena dinilai menyalahi hukum internasional.
Referensi :
Hidriyah, S. (2022). Eskalasi Ketegangan Rusia-Ukraina. Info Singkat, Vol. XIV, No. 4.
Oktaviano, D. R. (2015). Kepentingan Rusia Me-Aneksasi Semenanjung Krimea Tahun 2014. Jurnal Transnasional, Vol. 7, No.1.
Arifin, Nurul. (2016). Perang Donbass (Ukraina Timur) Tahun 2014. Skripsi Jurusan Hubungan Internasional, Fisipol Universitas Negeri Jember.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H