"Aku ingin menjadi guru bang." ucap adikku ketika kita sedang berbicara tentang apa yang dia rencanakan setelah menyelesaikan S2nya."Guru ? Kamu tahu tidak gaji guru itu berapa ? Guru bukan profesi yang prestise." ucapku sambil mencoba mengubah pola pikirnya.
"Lihat abang, posisi abang sekarang sudah bagus di perusahaan. Jenjang karir dan penghasilan yang abang juga lebih dari orang lain. Kalau kamu menjadi guru apa yang bisa kamu banggakan ?" Lanjutku dengan bangga.
"Aku tetap ingin menjadi guru bang." ucapnya lirih.
"Ya terserah, yang penting abang sudah beritahu kamu". Ucapku menutup pembicaraan kami siang itu.
Pertemuan keluarga siang itu menyisakan rasa kesal ku, karena aku anggap adik ku telah memilih profesi yang kelak akan menyianyiakan potensi dan perjuangan akademik yang sedang diraihnya.
Sepuluh tahun berlalu sejak peristiwa itu berlalu, pada suatu ketika istri ku menghubungi hp ku.
"Pah tolong jemput Rio ya, mamah masih ada meeting dengan client."
Rio adalah anak ketigaku, usianya masih sembilan tahun dan duduk di kelas tiga sekolah dasar.
"Oke, sebelum istirahat kantor papah jemput Rio di sekolah."
"Terima kasih ya pah, mamah mungkin sampai rumah jam 2 siang."
"Oke mah, semoga berhasil meetingnya." ucap ku mengakhiri telepon dari istriku.
Segera aku membereskan laporan dari cabang yang lumayan banyak, Memeriksa dengan teliti hingga tanpa sadar waktu berlalu dan rekan sekantorku mengagetkanku.
"Pak Rustam mau makan siang bareng ga ?"
"Ya Allah, saya lupa harus jemput anak pulang sekolah. Maaf pak Bram besok saja kita makan siang bersama." Ucapku sambil buru-buru membereskan meja kantor dan bergegas keluar kantor menuju tempat parkir.
Segera ku larikan mobil ku keluar kantor, tapi apa daya jam istirahat kantor selalu membuat jalan-jalan protokol Jakarta menjadi macet karena banyaknya kendaraan yang keluar gedung pada saat yang sama.
Rasa was-was mulai menghantui, berita tentang penculikan anak ramai dibicarakan di sosmed. Terbersit rasa sesal karena tidak memberikan gadget untuk Rio. Bagi aku dan istri, memberi gadget untuk anak-anak yang masih sekolah dasar hanya membuat anak-anak menjadi selfish dan kurang interaksi langsung dengan orang tua dan saudara-saudaranya. Tapi keadaan saat ini aku jadi berpikir ulang tentang teoriku.
Tiba di depan gerbang sekolah segera ku parkir mobil,setelah ku lihat Rio tidak nampak di sekitar gerbang sekolah. Buru-buru aku setengah berlari menuju penjaga sekolah dan bertanya.
"Anak kelas tiga A sudah pulang semua pak ?"
"Sepertinya sudah semua mas."
"Bapak kenal Rio anak saya ? Apakah anak saya sudah pulang pak ?" Tanyaku sedikit khawatir.
"Tidak kenal mas, coba cek dulu di kelas mas. Siapa tahu anak mas masih di kelas."
"Terima kasih pak, saya ijin masuk ya."
"Silahkan mas."
Segera aku melewati lapangan sekolah memotong jalan menuju ruang kelas Rio. Terik matahari yang biasanya ku hindari sudah tidak kupedulikan lagi. Aku harus cepat memastikan keberadaan Rio saat ini, sebagai orang tua rasa was-was yang kurasakan saat ini sangat menyiksa.
Langkah ku terhenti di samping kelas, dari jendela ku lihat Rio sedang ditemani ibu Halimah wali kelasnya sedang duduk satu meja. Rio nampak sedang menggambar ditemani bu Halimah. Terdengar suara Rio yang agak lantang menjawab pertanyaan wali kelasnya.
"Rio menggambar apa ?" tanya bu Halimah.
"Rio menggambar papah, mamah, kak Adit, kak rina dan Rio." ucap anak ku lantang.
Aku menghentikan langkah ku, dan mencoba menyimak interaksi mereka berdua.
"Papah mamah sayang sama Rio ?" tanya bu Halimah kembali.
"Papah, mamah, kak Adit dan kak Rina sayang sama Rio" ucap anakku bangga.
"Papah rio kerja dimana ?"
"Papah kerja di Sudirman bu." Ucap anakku sambil menyebutkan nama jalan tempat gedung kantorku bediri.
"Rio sayang tidak dengan papah dan mamah ?"
"Sayang bu, sayang banget." Ucap anakku menegaskan.
"Rio kalau sudah besar mau jadi apa ?" tanya bu Halimah
"Rio ingin menjadi guru seperti ibu." Ucap anakku sambil meletakkan pensil warnanya dan menatap gurunya.
Aku kaget dalam hati, lho kenapa cita-cita anakku ingin menjadi guru, tanyaku membatin.
"Kenapa Rio ingin seperti ibu ?" Tanya ibu Halimah penuh perhatian.
"Karena ibu baik, ibu banyak mengajarkan Rio. Ibu kalau menerangkan pelajaran enak. Rio jadi suka baca gara-gara ibu." Ucap anakku dengan polosnya.
"Rio pikir ibu makanan.... enak.." Ujar bu Halimah sambil tertawa pelan.
Mendengar pembicaraan mereka aku terdiam. Teringat ucapan yang aku lontarkan ke adikku sepuluh tahun yang lalu. Aku merenung, jika semua orang berfikir seperti aku yang mengejar karir, prestise dan materi lantas siapa yang akan mengajar anak-anakku. Siapa yang akan membangun generasi muda agar tumbuh dengan baik.
Jika para pengajar tidak memiliki jiwa pengajar apa jadinya bangsa ini kedepan. Jika para pengajar mempunya pola pikir seperti aku yang hanya menghitung untung dan rugi maka rusaklah bangsa ini kedepan. Dengan mata berkaca-kaca aku melangkah ke depan pintu kelas dan memanggil anakku.
Tulus aku ucapkan terima kasih kepada ibu Halimah yang telah menjaga anakku. Aku kembali teringat jasa-jasa para guru yang telah menuangkan segenap keilmuan dan kesabarannya selama menuntun aku di sekolah. Dalam perjalanan pulang aku ketik pesan kepada adikku, permohonan maaf atas kesalahan berpikirku dan berdoa semoga Allah memberi keberkahan kepada seluruh pahlawan tanpa tanda jasa yang selama ini telah mengabdikan ilmunya tanpa kenal lelah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H