Mohon tunggu...
Nur Medawati
Nur Medawati Mohon Tunggu... -

seorang pendidik\r\n

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Daftar Riwayat Hidup Vs Curriculum Vitae

24 September 2012   13:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:47 988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Oleh: Nur Medawati

“Kapan dia akan married?”

Begitulah pertanyaan yang sering terdengar jika ingin menanyakan kapankah seseorang akan menikah. Pernah suatu hari penulis melihat informasi lowongan pekerjaan yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Salah satu syarat yang diminta adalah curriculum vitae. Pada awalnya penulis tidak tahu apa itu curriculum vitae, beruntung ada dicantumkan nomor telepon yang dapat dihubungi. Setelah penulis selesai menanyakan alamat maka penulis pun menanyakan apa sebenarnya curriculum vitae. Si pegawai pun mengatakan curriculum vitae itu sama dengan riwayat hidup. Kemudian penulis tanyakan kembali ”Kalau begitu mengapa tidak memakai istilah daftar riwayat hidup saja?”. Kemudian si pegawai mengatakan ”Biar keren”. Penggunaan istilah asing tidak hanya dalam percakapan sehari-hari, tetapi juga dalam syair-syair lagu banyak dijumpai gejala tersebut. Misalnya saja lagu I am sorry say good bye yang dinyanyikan oleh Krisdayanti atau lagu I miss u but I hate you yang dibawakan oleh Slank.

“. . . maaf kita putus, so thank you so much I’m sorry good bye.

Keadaan ini menunjukkan bukan hanya orang asing yang telah menyerbu kita tetapi juga bahasanya turut menyerbu bahasa kita.Dengan kata lain bangsa kita telah mengalami krisis bahasa Indonesia dan sekaligus menjadi krisis identitas kita sebagai suku bangsa. Padahal salah satu fungsi bahasa adalah untuk menunjukkan siapa dan bagaimana kita. Seperti kata peribahasa bahwa bahasa menunjukkan bangsa yang berarti baik dan buruk seseorang dapat diketahui pada bahasanya. Dalam tataran yang lebih tinggi lagi bahwa bahasa menunjukkan jatidiri suatu bangsa.

Banyak orang beranggapan bahwa fungsi bahasa tidak begitu penting diperhatikan yang terpenting adalah cukup tahu dan dapat mengomunikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian bahasa dapat diartikan sebagai alat berpikir dan alat komunikasi untuk menyampaikan jalan pikiran kita kepada orang lain. Maksudnya melalui bahasa memberikan kita kemampuan untuk berpikir secara teratur dan sistematis. Sehingga apa yang hendak kita sampaikan kepada orang lain dapat membangun suatu komunikasi yang harmonis atau melalui bahasa kita dapat mengomunikasikan pengetahuan kita kepada orang lain.

Berbicara bahasa maka tidak akan terlepas dari jenis-jenis bahasa yang ada di dunia ini. Jenis bahasa yang dimaksud adalah bahasa yang sudah diakui secara de fakto dan de jure. Salah satu bahasa yang termasuk di dalamnya adalah bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia secara de fakto memang sudah ada sejak dahulu di wilayah Nusantara dan secara de jure bahasa Indonesia diakui secara resmi pada butir ke-3 Sumpah pemuda tahun 1928 menyatakan bahwa Kami putra-putri Indonesia, menjunjung bahasa Persatuan, bahasa Indonesia. Selanjutnya, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia dan pada tanggal 18 Agustus 1945bahasa Indonesia dicantumkan dalam UUD 1945, Bab XV pasal 36 yang berbunyi, ”Bahasa Negara ialah bahasa Indonesia”. Generasi penerus harus mengamalkan amanat itu. Menghargai bahasa Indonesia dengan jalan “menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar dalam suasana resmi” berarti mengamalkan amanat para pahlawan tersebut.

Dalam sejarahnya Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu dan telah berabad-abad dipakai oleh masyarakat Asia Selatan sebagai bahasa perhubungan. Jadi lahirnya bahasa Indonesia bukan sesuatu yang sekonyong-konyong jatuh dari langit atau keluar dari kepundan gunung berapi, tetapi sesuatu yang logis dari masa yang silam. Jika dianalogikan dengan kehidupan manusia, dalam rentang usia yang lebih dari separuh abad, bahasa Indonesia mestinya sudah mampu mencapai tingkat “kematangan” dan “kesempurnaan” hidup, sebab sudah banyak merasakan liku-liku dan pahit-getirnya perjalanan sejarah.

Namun, seiring dengan bertambahnya usia, bahasa Indonesia justru dihadang banyak masalah. Mampukah bahasa Indonesia menjadi bahasa budaya dan bahasa Iptek yang berwibawa di tengah dahsyatnya arus globalisasi? Mampukah bahasa Indonesia bersikap luwes dan terbuka dalam mengikuti derap peradaban yang terus gencar menawarkan perubahan dan dinamika? Masih setia dan banggakah para penuturnya dalam menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi yang efektif di tengah-tengah perubahan zaman?

Sementara itu, jika kita melihat kenyataan di lapangan, secara jujur harus diakui, bahasa Indonesia belum difungsikan secara baik dan benar. Para penuturnya masih dihinggapi sikap rendah diri sehingga merasa lebih modern, terhormat, dan terpelajar jika dalam peristiwa tutur sehari-hari, baik dalam ragam lisan maupun tulis, menyelipkan setumpuk istilah asing, padahal sudah ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kita lebih suka menggunakan istilah babbysitter, catering, tissue, snack, production house, atau airport, daripada pramusiwi, jawaboga, selampai, kudapan, rumah produksi, atau bandar udara. Kenyataan ini semakin memberikan cerminan akan pemahaman, penghayatan, dan penghargaan kita terhadap bahasa nasional dan negara sendiri belum tumbuh secara maksimal dan proporsional. Sehingga tidak sedikit penutur bahasa Indonesia yang mencampuradukan bahasa Indonesia dengan bahasa asing.

Gejala pencampuraduan bahasa asing (bahasa kedua) ke dalam bahasa Indonesia (bahasa pertama) disebut campur kode. Pencampurkodean sebenarnya tidak melulu melibatkan bahasa asing. Bisa juga melibatkan bahasa nasional dengan bahasa daerah.

Bagi bahasa hidup, yakni bahasa yang masih terus digunakan dan berkembang, persentuhannya dengan bahasa-bahasa lainnya menimbulkan masalah tersendiri. Di satu sisi, persentuhan itu menambah khasanah bahasa itu sendiri. Namun, di sisi lain justru mengancam keberadaan bahasa tersebut.

Globalisasi, suka tidak suka memberi efek yang membahayakan bagi perkembangan bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Masuknya budaya asing perlahan-lahan mendesak keberadaan bahasa Indonesia. Maraknya tayangan berbahasa Inggris hingga serbuan para investor asing menyebabkan penggunaan bahasa asing semakin menjadi bagian dari kehidupan sebagian besar masyarakat. Tayangan-tayangan berbahasa asing, penggunaan nama dengan bahasa asing, hingga standar perusahaan baik nasional maupun multinasional mendesak setiap orang untuk dapat berbahasa asing. Dalam kondisi yang demikian, menyebabkan bahasa Indonesia semakin terdesak.

Pencampurkodean bahasa Indonesia dengan bahasa asing disebabkan oleh beberapa alasan.

1. Alasan Akademis

Terkadang orang-orang dengan latar belakang pendidikan tertentu ingin menunjukkan kemampuan di bidangnya, ia sering mengunakan istilah-istilah asing dalam bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya. Pencampuran ini kalau tidak dalam bahasa lisan tentunya dalam bahasa tulisan.

2. Gengsi

Meledaknya arus globalisasi menyebabkan banyak orang belomba-lomba untuk menguasai bahasa Inggris (selain bahasa Mandarin dan bahasa Jepang). Oleh karena itu, agar tidak diangap ketingalan zaman banyak orang yang senang mengunakan kata-kata dalam bahasa Inggris. Misalnya:

1.Kado ini benar-benar menjadi surprise buatku.

2.Tidak ada seorang pun yang perfect di dunia ini.

Dari kedua alasan di atas, dapat disimpulkan bahwa campur kode bukanlah kebiasaan yang turut melestarikan bahasa Indonesia. Meskipun campur kode sangat tidak disarankan, tetapi dalam kasus-kasus tertentu campur kode tidak dapat dihindari. Syaratnya hanya bila kata asing tersebut tidak memiliki padanan dalam bahasa Indonesia.

Untuk mengantisipasi gejala pencampurkodean bahasa Indonesia dan bahasa asing, dapat dilakukan dengan melakukan pembinaan kepada penutur bahasa tersebut dan melakukan pembakuan di bidang tata bahasa mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Sehingga diperoleh keseragaman dalam penggunaan bahasa. Selain itu, diperlukan adanya tindakan langsung dari pemerintah dalam mengembangkan bahasa Indonesia, seperti mewajibkan semua kegiatan yang dilakukan di negara Indonesia dengan menggunakan bahasa Indonesia, baik orang Indonesia asli maupun orang asing yang datang berinvestasi ke Indonesia. Dengan kata lain, bukan kita yang menyesuaikan diri dengan pendatang, tetapi pendatanglah yang menyesuaikan diri dengan penduduk setempat, seperti peribahasa dimana bumi dipijak, disitulah langit dijunjung.

Oleh karena itu, dampak globalisasi harus segera diwaspadai karena dapat menimbulkan terjadinya pergeseran bahasa dan perubahan bahasa. Hal ini pula yang dikhawatirkan bahwa 90% bahasa-bahasa di dunia sekarang akan punah dalam kurun waktu 100 tahun.

Marilah, kita sebagai generasi muda agar melestarikan bahasa Indonesia dan jangan pernah malu menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Kalau bukan kita yang memulainya, siapa lagi...?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun