Mohon tunggu...
NURMALA SARI
NURMALA SARI Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa, Program studi Kedokteran, Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran, Dan Ilmu Alam (FIKKIA Banyuwangi) Universitas Airlangga

Hobi menonton film

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tuntunan Ringan: Tantangan Dan Masa Depan "Pemberantasan Korupsi Di Indonesia"

3 Januari 2025   23:33 Diperbarui: 3 Januari 2025   23:33 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

      Korupsi telah menjadi salah satu masalah utama yang menghambat pembangunan dan mencederai kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintahan di Indonesia. Berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan, termasuk pembentukan lembaga khusus seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), revisi regulasi, dan peningkatan kesadaran masyarakat. Namun, fenomena tuntutan ringan terhadap pelaku korupsi kerap menjadi sorotan tajam publik. Putusan yang dianggap terlalu lunak ini menimbulkan polemik, terutama ketika kasus tersebut melibatkan pejabat tinggi atau kerugian negara dalam jumlah besar. Meskipun berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantasnya, termasuk pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan pengadilan khusus tindak pidana korupsi, masih terdapat tantangan signifikan dalam penegakan hukum. Salah satu isu utama adalah vonis ringan yang dijatuhkan kepada pelaku korupsi, yang sering kali tidak mencerminkan beratnya kejahatan yang dilakukan. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata hukuman bagi terdakwa kasus korupsi pada tahun 2023 hanya mencapai tiga tahun empat bulan, dengan sebagian besar vonis berada di bawah empat tahun (Hikmawati, Puteri, 2013).

      Tuntutan ringan dalam kasus korupsi dapat berdampak pada persepsi masyarakat bahwa hukum tidak ditegakkan secara adil. Hal ini berpotensi melemahkan efek jera bagi pelaku korupsi dan mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Selain itu, fenomena ini juga dapat menciptakan celah bagi pelaku lain untuk melakukan tindakan serupa, yang pada akhirnya akan memperburuk kondisi tata kelola pemerintahan. Tuntutan ringan terhadap pelaku korupsi menjadi sorotan publik karena dianggap tidak memberikan efek jera dan melanggar rasa keadilan masyarakat. KPK mencatat bahwa pada tahun 2019, dari 1.125 terdakwa, hanya enam yang dituntut dengan hukuman berat, sementara 604 dituntut ringan (Aji Prasetyo, 2020). Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan penuntutan yang lemah, di mana rendahnya tuntutan dari penuntut umum berkontribusi pada rendahnya vonis yang dijatuhkan oleh hakim. Peneliti ICW mengungkapkan bahwa jika kerugian negara akibat korupsi sangat besar, maka tuntutan yang rendah dapat menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmen penegakan hukum (Aslendra, Rizki, 2024).

      Vonis ringan tidak hanya berdampak pada kepercayaan publik terhadap sistem hukum, tetapi juga memperlemah upaya pemberantasan korupsi secara keseluruhan. Menurut analisis, keputusan hakim yang menjatuhkan hukuman ringan dapat dianggap sebagai insentif bagi pelaku korupsi untuk terus melakukan tindakan serupa (Putra, Dwi Aditya, 2024). Selain itu, hal ini juga dapat menciptakan budaya impunitas di kalangan pejabat publik dan memperburuk kondisi sosial ekonomi masyarakat (Purnama, Bahtiar Ujang, 2023. Nandha Risky Putra & Rosa Linda, 2022).

      Di sisi lain, tantangan pemberantasan korupsi tidak hanya terbatas pada penegakan hukum, tetapi juga mencakup aspek politik, budaya, dan ekonomi. Dalam konteks politik, intervensi atau tekanan dari pihak tertentu sering kali menjadi penghalang bagi proses hukum yang transparan dan akuntabel. Sementara itu, budaya permisif terhadap praktik-praktik koruptif, seperti gratifikasi dan nepotisme, turut mempersulit upaya pembersihan birokrasi. Dari sudut pandang ekonomi, kerugian akibat korupsi dapat menghambat pertumbuhan, memperlebar kesenjangan sosial, dan menurunkan daya saing bangsa di tingkat global.

      Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan strategi yang komprehensif dan terintegrasi, mencakup reformasi hukum, peningkatan kapasitas lembaga penegak hukum, serta penanaman nilai-nilai antikorupsi sejak dini di masyarakat. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, media, dan akademisi juga menjadi kunci dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas di semua sektor.

     Oleh karena itu, pembahasan mengenai tuntutan ringan dalam kasus korupsi dan dampaknya terhadap masa depan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sangat relevan. Artikel ini bertujuan untuk mengkaji fenomena tersebut, menganalisis tantangan yang dihadapi, serta menawarkan solusi untuk menciptakan sistem yang lebih efektif dan berintegritas dalam memberantas korupsi.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

          Penelitian ini mengkaji fenomena tuntutan ringan terhadap pelaku korupsi di Indonesia dan dampaknya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Berdasarkan studi literatur yang dilakukan, ditemukan bahwa fenomena tuntutan ringan merupakan masalah yang serius dalam penegakan hukum di Indonesia. Meskipun berbagai upaya pemberantasan korupsi telah dilakukan, seperti pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pengadilan khusus tindak pidana korupsi, dan revisi regulasi, masalah tuntutan ringan tetap menjadi hambatan besar yang memperburuk kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.

Tuntutan Ringan dalam Kasus Korupsi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun