Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Mengadu Nasib di Kerasnya Kehidupan Jakarta, Kisah Alumni Bidikmisi dan Pencerah Nusantara (Part 1)

16 September 2018   15:20 Diperbarui: 16 September 2018   15:55 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Janji sebagai Pencerah Nusantara

Dari 100% jadi mendekati 0%. Rasanya buat apa berjuang kalau nyatanya sudah ada yang dijagokan. Tapi aku ingat perkataan Kak Liza saat itu, bahwa apapun yang didengar, cukup jadi Nurmalasari yang akan selalu berjuang memberikan yang terbaik.

Seleksi tidak berhenti di wawancara, aku diberikan tugas dan hanya diberi waktu 2x24 jam. Lebih dari itu, maka aku akan didiskualifikasi. Aku tidak memiliki waktu banyak pikirku. Perjalananku ke Surabaya dari Jakarta sudah 12 jam lebih. Belum tetek bengek selama perjalanan. Waktuku tipis.

Aku pun memutuskan menginap di kosan Alumni Pencerah Nusantara Penempatan Mentawai yang saat itu sedang menimba ilmu spesialis di Universitas Airlangga. Jika tidak salah waktu yang tersisa hanya sekitar 6 jaman untuk mengerjakan dan submit. 

Ya, aku berhasil menyelesaikan tugas pada detik-detik terakhir. Sudah tidak mikir apapun saat itu. Pun juga tidak tahu, apakah tugas yang aku kerjakan itu benar atau salah jawabannya. Rasanya sudah tidak peduli. Apapun hasilnya, aku sudah berjuang, pikirku.

Selang beberapa hari, aku mendapatkan email bahwa aku lolos menuju tahap akhir seleksi, yakni wawancara dengan pimpinan yayasan. Karena saat itu aku sedang di kampung, jika harus ke Jakarta lagi, sepertinya tidak memungkinkan. Jadi, aku meminta dispensasi untuk melakukan wawancara jarak jauh via Skype. Beruntungnya pihak yayasan membolehkan. Tanpa panjang lebar, aku pun langsung berangkat dini hari menuju Surabaya, mengingat sinyal internet di Lumajang sepertinya belum bisa jika harus untuk Skype.

Saat Skype, aku merasa gak bisa mendengar apapun jawaban yang keluar dari mulutku. Aku hanya membaca pesan dari Kak Liza yang begitu singkat, "Kakak bangga sama jawaban kamu, apapun hasilnya nanti". Untuk mengindari Nepotisme, maka selama proses Kak Liza sebagai koordinator tidak dilibatkan terlalu dalam.

Sampai tahap ini, aku masih mimpi rasanya. Hingga kabar bahagia itu menghampiriku, ya Nurmalasari diterima bekerja di CISDI. Sejak saat itu, mulailah kehidupanku di Jakarta.

Bersambung!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun