Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toleransi: Pelebur Konsep Mayoritas - Minoritas

26 September 2017   20:37 Diperbarui: 26 September 2017   20:54 768
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"The test of courage comes when we are in the minority; the test of tolerance comes when we are in the majority." Ralph W. Sockman

Bisa dibilang susah sekali menemukan masjid di Mentawai. Jelas, karena memang jumlah muslim di Mentawai sedikit. Namun, keberadaan masjid ini (lihat pada gambar) cukuplah mengobati rinduku untuk bisa beribadah di rumahNya, rinduku bersillaturrakhim dengan muslim lainnya, rinduku memperdalam ilmu agama. Dari sini aku bisa merasakan bagaimana hidup menjadi seorang MINORITAS.

Takut? Oh enggak!

Aku di sini hidup dengan sangat bahagia. Berada di antara keluarga kristiani (kristen dan khatolik) yang begitu sangat baiknya memperlakukanku, seorang muslim. Tanpa harus MENGGANDAKAN prinsip dan keyakinanku, inilah yang perlu dicatat! Apakah aku diperlakukan buruk layaknya di berita? Itu HOAX kali. Berita GAK PENTING yang hanya akan memecah bangsa Indonesia.

Bagaimana merasakan melaksanakan ibadah sholat di gereja atau pastoran. Bagaimana merasakan berada di suatu kampung yang tak terdengar suara adzan sama sekali. Bagaimana sholat dengan dikerubungi anak kecil, karena terihat melakukan kegiatan aneh dan pakai pakaian tertutup, red: mukena.

Dan saat merasakan ini semua, pada akhirnya aku menyadari bahwa masih banyak saudara kita di belahan bumi lain yang mencari tempat ibadah susah. Mencari masjid jauhnya seperti Surabaya-Jakarta. Ingat! Ini masih di Indonesia, bukan di negeri orang. Saat itu juga, ketika kembali ke negeri dengan 1000 Surau, masih kah enggan untuk melangkahkan kaki ke sana? Masihkah bolong sholatnya padahal bisa mendengar adzan 5 kali sehari.

Dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana aku bisa "menghargai dan  memberikan kenyamanan beribadah" kepada saudara kita yang minoritas. Tidak memusuhinya. Tidak merusak tempat ibadahnya! Rasulullah SAW tidak pernah sekalipun mengajarkan untuk tidak menghargai agama lain, bahkan merusak tempat ibadah mereka. Maka jika ada yang mengaku islam tapi merusak tempat ibadah agama lain, memusuhi saudara yang beragama lain, bisa dipastikan dia ISLAM ABAL-ABAL, gak memahami Al-Quran dan Al-Hadist. Orang-orang itu belum merasakan saja bagaimana hidup menjadi minoritas!

Satu hal yang membuatku sampai sejauh ini begitu menyayangi keluarga dan sahabatku di Mentawai yang "beragama berbeda denganku" adalah mereka menanyakan kepadaku makanan dan minuman halal apa yang sekiranya bisa kukonsumsi, memastikan tempat yang akan kugunakan untuk sholat itu gak pernah dilalui anjing, mempersilahkanku memimpin doa dalam keyakinanku sebagai seorang muslim padahal semuanya kristen dan katolik.

So, toleransi tidak cukup hanya dikatakan gaes, namun harus DIRASAKAN! Dan ini kisahku saat ditugaskan oleh Kantor Utusan Khusus Presiden RI untuk MDGs sebagai Tim Pencerah Nusantara di Kabupaten Kepulauan Mentawai tahun 2014-2015. Bagaimana kisahmu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun