“Sekitar 1 miliar orang di seluruh dunia akan meninggal akibat rokok pada abad 21 jika pemerintah dan warga sipil tidak segera bertindak mengatasi epidemik penggunaan rokok” (WHO, 2008).
Kalimat di atas benar sekali. Rokok menjadi sesuatu yang dilematis bagi semua negara termasuk Indonesia. Bahkan Indonesia mendapat julukan sebagai surga bagi para perokok. Bagaimana tidak, dengan bea cukai yang rendah ditambah sifat pemalu masyarakatnya untuk menegur para perokok, Indonesia menjadi kawasan merokok yang paling strategis. Tak heran jika kini Indonesia menduduki peringkat ketiga untuk jumlah perokok terbanyak di dunia setelah India dan China (Ulfah, 2010)
Di negara industri maju, kini terdapat kecenderungan berhenti merokok, sedangkan di negara berkembang khususnya Indonesia, malah cenderung timbul peningkatan kebiasaan merokok. Laporan WHO menyebutkan bahwa jumlah perokok meningkat 2,1% per tahun di negara berkembang, sedangkan di negara maju angka ini menurun 1,1% per tahun. Penelitian di Jakarta menunjukkan bahwa 64,8% pria dan 9,8% wanita di atas usia 13 tahun adalah perokok. Menurut Darmoji (1973), prevalensi merokok 96,1% pada tukang becak, 79,8% pada paramedis, 51,9% pada pegawai negeri, dan 36,8% pada dokter.
Selain itu, sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar, Indonesia menjadi pangsa bisnis yang besar. Berbagai perusahaan tumbuh pesat di Indonesia. Salah satunya adalah perusahaan rokok. Namun keberadaan perusahaan rokok ini menjadi dilema karena menimbulkan dampak positif dan negatif. Pabrik-pabriknya, baik yang besar maupun kecil, yang telah sukses maupun yang baru muncul, telah banyak menyerap tenaga kerja dan berperan aktif dalam pembangunan. Sebuah dilema memang jika pabrik-pabrik rokok ini tidak diperbolehkan lagi untuk memproduksi bahan yang salah satu bahannya terbuat dari tembakau ini.
Selama ini, masyarakat memang masih memperdebatkan untung-rugi racikan daun tembakau alias rokok. Ditinjau dari kesehatan, rokok diketahui mempunyai lebih dari 4.000 senyawa kimia berbahaya yang menyebabkan berbagai macam penyakit, di antaranya kanker, paru-paru, jantung, impoten, gangguan janin dan sebagainya. Rokok menjadi penyebab utama kematian di dunia (IranIndonesian Radio, IRIB World Service, 30 Mei 2011). Kebiasaan merokok sendiri tidak hanya merugikan si perokok, tetapi juga bagi orang di sekitarnya. Selain itu, asap rokok merupakan polutan bagi manusia dan lingkungan sekitarnya. Bukan hanya bagi kesehatan, merokok juga menimbulkan masalah di bidang ekonomi.
Pemerintah tampaknya setengah hati mengeluarkan kebijakan larangan merokok atau menutup industri rokok. Pasalnya, tahun 2009 cukai rokok menyumbang pendapatan negara sebesar 53 trilyun, tahun 2010 mencapai Rp 53,3 trilyun (Solikhah, 2010). Jumlah pemasukan yang lumayan fantastis dari satu sektor saja. Memang agak sulit mencari bandingnya dari sektor lain, seperti BUMN yang hanya bisa menyumbang sekitar Rp 34 trilyun.
Memang benar, industri rokok memberikan kontribusi pendapatan negara, namun berdasarkan penelitian World Bank kerugian yang harus ditanggung negara akibat dampak rokok jauh lebih besar (Solikhah, 2010). Kerugian tersebut meliputi penyembuhan penyakit akibat rokok, absen dari bekerja, hilangnya produktifitas dan pemasukan, kematian prematur, dan menimbulkan kemiskinan lebih lama. Kebanyakan perokok terdiri dari mereka yang bergolongan berpendapatan rendah.
Berdasarkan data Sensus Ekonomi Nasional tahun 2005, pengeluaran keuangan rumah tangga perokok untuk konsumsi rokok menunjukkan angka cukup besar, mencapai 11,5%. Angka itu lebih besar dibandingkan dengan pengeluaran untuk urusan pendidikan yang hanya 3,2%, kesehatan 2,3%, dan konsumsi ikan serta daging 11%. Sebagai contoh, seorang petani di Wonosobo menghabiskan Rp 274 ribu per bulan untuk merokok, namun merasa keberatan atas biaya Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) anaknya yang hanya Rp 7.000 per bulan. Biaya besar lainnya yang tidak mudah untuk dijabarkan termasuk berkurangnya kualitas hidup para perokok dan mereka yang menjadi perokok pasif. Belum lagi penderitaan bagi mereka yang harus kehilangan orang yang dicintainya karena merokok. Semua ini merupakan biaya tinggi yang harus ditanggung (Solikhah, 2010).
Berbagai usaha untuk mengurangi produksi dan konsumsi rokok telah banyak dilakukan. Berbagai kampanye anti rokok, penerbitan undang-undang, dan pengawasan telah dilakukan. Pemerintah Indonesia pun membuat sejumlah aturan yang membatasi ruang gerak iklan rokok di media massa, walaupun peraturan-peraturan tersebut dibuat dengan "setengah hati", karena di satu sisi, peraturan itu dibuat untuk membatasi ruang gerak industri rokok dengan alasan kesehatan, tapi di sisi lain pemerintah juga mengharapkan industri ini sebagai sumber pemasukan negara di saat keadaan ekonomi Indonesia kurang menguntungkan.
Baru-baru ini pemerintah juga berencana mengeluarkan RPP Tembakau yang akan melarang seluruh aktivitas komunikasi industri rokok dengan konsumennya, seperti iklan, promosi, sponsorship, bahkan CSR. Namun, hal ini mengundang pro dan kontra yang masih sulit dicari jalan keluarnya. Berbagai kebijakan juga telah dikeluarkan terkait perlindungan terhadap perokok pasif melalui penyediaan ruang khusus bagi para perokok. Namun, masih menemui kendala karena kesadaran masyarakat untuk mematuhi aturan masih rendah. Tidak hanya itu, penyuluhan tentang bahaya rokok pun semakin gempar dilakukan namun tidak digubris sama sekali.
Selain berbagai cara dan upaya di atas, juga dilakukan pengendalian terhadap tembakau. Namun, pengendalian tembakau ini dianggap membangkrutkan industri rokok yang mengakibatkan Pemutusan Hukum Kerja (PHK) masal, juga akan menggulung eksistensi petani tembakau. Tudingan ini sebenarnya hanya isapan jempol. Karena menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), industri tembakau bukanlah penyerap tenaga kerja besar di tingkat nasional. Industri ini hanya menduduki peringkat 48 dari 66 sektor yang berkontribusi pada penyerapan tenaga kerja (Solikhah, 2010). Industri rokok berkontribusi kurang dari 1% terhadap total tenaga kerja nasional sejak tahun 1970-an, hingga kini (bandingkan, misalnya dengan sektor jasa konstruksi yang berkontribusi 5,4%, atau sektor pertambangan yang berkontribusi 4,6%). Tren menurunnya penyerapan tenaga kerja akan terus terjadi, karena industri rokok melakukan mekanisasi.
Industri rokok sendiri masih mematok harga beli tembakau sesuka hatinya. Harga dan kualitas daun tembakau sepenuhnya ditentukan oleh pihak industri rokok tanpa sepengetahuan petani tentang standar kriteria yang digunakan. Ketua Asosiasi Petani Tembakau Temanggung (APTT) Wisnu Broto mengatakan, harga jual tembakau bahkan pernah mencapai harga di bawah rata-rata yang hanya sebesar Rp 5-10 ribu per kilogram. Padahal, dengan rata-rata produksi petani 600-700 ton tembakau per hektar, seharusnya harga jual yang cukup wajar di atas Rp 22 ribu per kilogram (Petani keluhkan harga jual tembakau, 2004).
Studi yang dilakukan oleh Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia menyebut tiga penghasil utama tembakau (Bojonegoro, Kendal, dan Lombok Timur) baru-baru ini menemukan bahwa upah rata-rata buruh tani per bulan adalah Rp 413.000 atau 47% dari upah rata-rata nasional (Alviah, 2010).
Data Statistik Upah 2005 yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa upah petani tembakau per hari sebesar Rp 3.637,00 yang adalah terendah di antara enam komoditas pertanian (Alviah, 2010). Selain itu, jumlah pekerja industri rokok menurun seiring dengan adanya era mekanisasi. Selama tahun 2006, rata-rata upah bulanan pekerja industri rokok adalah Rp 670 ribu. Upah ini lebih rendah dari rata-rata upah pekerja industri makanan (Rp 851 ribu) dan pekerja semua industri (Rp 962 ribu). Menjadi ironis memang ketika pendapatan petani yang berada di bawah angka rata-rata upah nasional dibandingkan dengan keuntungan industri rokok.
Tembakau Tidak Hanya Sekedar Asap Rokok
Berdasarkan masalah dan fakta yang ada tersebut, kita semua dituntut untuk berpikir cerdas terkait solusi terbaik untuk masalah rokok di negara kita ini. Semua masalah pasti ada solusinya, begitu juga dengan masalah rokok ini. Karena ternyata, bahan baku rokok yaitu tembakau yang terkenal hanya mengandung zat-zat beracun bagi tubuh, ternyata memiliki manfaat positif. Tembakau dapat menjadi reaktor dalam menghasilkan protein anti-kanker yang ditemukan oleh Dr. Budi Witarto MEng seorang peneliti dari LIPI (2007), untuk melepas gigitan lintah, obat diabetes, serta biofuel. Biofuel sendiri adalah setiap bahan bakar baik padatan, cairan, ataupun gas yang dihasilkan dari bahan-bahan organik atau tumbuh-tumbuhan yang juga disebut Non-Fossil Energy (Donny, 2008). Berbeda dengan bahan bakar yang banyak kita kenal saat ini yang kebanyakan termasuk kelompok Fossil Energy.
Kesadaran akan makin berkurangnya cadangan bahan bakar berbasis Fossil Energy, diiringi dengan banyaknya kritik tentang emisi karbon yang dihasilkan oleh bahan bakar ini, membuat para perusahaan raksasa minyak dunia pun mulai beralih melakukan penelitian dan bahkan investasi di Non-Fossil Energy ini, sehingga biofuel menjadi primadona dengan kemasan yang ramah lingkungan. Meski begitu, ada juga pihak yang masih meragukan biofuel ini dengan alasan akan adanya pertarungan antara food untuk manusia dan food untuk kendaraan bermotor dan industri mengingat tanaman yang digunakan adalah tanaman pangan (Donny, 2008).
Namun masalah ini segera terjawab karena sebuah penelitian yang dilakukan Vyacheslav Andrianov, Ph.D., di Thomas Jefferson University, menyatakan bahwa tembakau sebagai bahan utama pembuat rokok ternyata bisa menghasilkan biofuel lebih efisien dibandingkan tanaman pangan lainnya (Tim Planethijau, 2010). Selain itu, tembakau sangat menarik untuk diimplementasikan sebagai biofuel karena ide yang diambil adalah menggunakan tanaman yang tidak digunakan dalam produksi makanan.
Menurut Andrianov, tembakau adalah tanaman tradisional yang tumbuh di berbagai negara dan akan sangat mudah menumbuhkan tembakau sebagai biofuel, terutama ketika permintaan akan tembakau sebagai bahan baku rokok semakin menurun karena setiap orang berusaha untuk hidup lebih sehat (Kukuh, 2010). Ide bahan bakar dari tembakau ini akan menuntun peralihan fungsi tembakau dari bahan industri rokok kepada bahan bakar yang nilai jualnya lebih tinggi. Inilah mengapa banyak orang yang melihat bahan bakar alternatif sukses.
Petani tembakau tentunya akan berpikir banyak untuk energi alternatif ini jika memang benar-benar potensial di pasar bahan bakar. Apalagi dengan pengetatan aturan merokok dan akibat yang ditimbulkan nikotin. Jika hal ini terjadi, maka harga rokok akan mahal dan masyarakat akan berpikir ulang untuk membeli rokok yang harganya bisa mencekik leher. Hal ini, akan berimbas pada penurunan konsumsi rokok.
Pada akhirnya, Rokok VS Biofuel ini diharapkan dapat menjadi solusi cerdas dan tepat sasaran terkait masalah rokok di Indonesia dalam bentuk pengalihan fungsi tembakau sebagai bahan dasar rokok menjadi biofuel. Inovasi yang berbentuk multielemen ini akan bisa terwujud jika pihak-pihak yang terkait, seperti petani tembakau, pabrik biofuel, pemerintah, berbagai departemen yang terkait, dan LSM saling bekerja sama untuk mewujudkan Indonesia sehat. Karena jika berhasil, maka berbagai masalah terkait dengan rokok bisa teratasi. Selain itu, secara tidak langsung juga akan menyelamatkan masalah kelangkaan energi dan pencemaran lingkungan serta global warming. Masalah gizi buruk yang diakibatkan oleh konsumsi rokok dalam keluarga tidak akan terjadi jika masyarakat Indonesia tidak mengonsumsi rokok lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Alviah. 2010. Perusahaan rokok kaya, petani tembakau tetap miskin [Online]. Didapat dari: http://indonesiancommunity.multiply.com/journal/item/3979/Perusahaan_Rokok_Kaya_Petani_Tembakau_Tetap_Miskin [Diakses 9 Agustus 2013].
Donny. 2008. Biofuel defelopment di Indonesia [Online]. Didapat dari: http://don85.wordpress.com/2008/01/16/biofuel-development-di-indonesia [Diakses 9 Agustus 2013].
IranIndonesian Radio, IRIB World Service. 2011. Say no cigarette: jalan menuju kesehatan publik [Online]. Didapat dari: http://indonesian.irib.ir/index. php?option=com_content&view=article&id=33557 [Diakses 9 Agustus 2013].
KoranTempo. 2004. Petani keluhkan harga jual tembakau [Online]. Didapat dari: http://www.korantempo.com/news/2004/9/1/Ekonomi%20dan%20Bisnis/26.html [Diakses 9 Agustus 2013].
Kukuh. 2010. Tembakau sebagai biofuel [Online]. Didapat dari: http://teknologi.kompasiana.com/internet/2010/01/23/tembakau-sebagai-biofuel/ [Diakses 9 Agustus 2013].
Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Aspek ekonomi tembakau di Indonesia. Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta.
Septiara. 2010. Rokok atau tembakau??[Online]. Didapat dari: http://azure-septiara.blogspot.com/2010/07/rokok-atau-tembakau.html [Diakses 9 Agustus 2013].
Solikah, A. 2010. Pemanfaatan tembakau untuk pengendalian rokok[Online]. Didapat dari: http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&jd=Pemanfaatan+Tembakau+untuk+Pengendalian+Rokok&dn=20100510093315 [Diakses 9 Agustus 2013].
TCSC-IAKMI. Fakta tembakau di Indonesia.TCSC-IAKMI dan IUATLD. Jakarta.
TCSC-IAKMI. Industri rokok di Indonesia. TCSC-IAKMI dan IUATLD. Jakarta.
TCSC-IAKMI. Konsumsi merokok dan balita kurang gizi. TCSC-IAKMI dan IUATLD. Jakarta.
Tim Planethijau. 2010. Bio energy. Rokok bisa jauh lebih mahal, jika tembakau berpotensi sebagai biofuel [Online]. Didapat dari: http://www.planethijau.com/mod.php?mod= publisher&op=viewarticle&cid=49&artid=1158 [Diakses 9 Agustus 2013].
Ulfah, N. 2010. Indonesia surga bagi perokok [Online]. Didapat dari: http://health.detik.com/read/2010/01/21/180047/1283580/775/indonesia-surga-bagi-perokok [Diakses 9 Agustus 2013].
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H