Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Aku, SKM, dan Pencerah Nusantara

20 April 2016   10:36 Diperbarui: 10 November 2017   16:03 2772
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan berfikiran itu mulus. Jungkir balik saya lakukan diwarnai dengan tangisan.

Mulai dari tantangan di dalam tim itu sendiri. Di dalam tim terdapat berbagai profesi seperti Dokter, Perawat, Bidan, Ahli Gizi, dan saya sendiri seorang SKM. 1 bulan disana saya mengalami yang namanya “degradasi jati diri sebagai seorang SKM”. Kenapa? Jelas saja. Apa sih yang saya bisa lakukan? Penyuluhan? Promotif Preventif yang selalu digembar-gemborkan akan menjadi ujung tombak peningkatan kesehatan masyarakat. Kalau semua keterampilan itu juga dimiliki oleh tenaga medis dan paramedis. Lalu saya, SKM?

Itulah yang selalu saya pikirkan sejak awal. Bukan membuat saya terlihat sebagai seorang SKM, justru membuat saya tidak ada bedanya dengan anak yang masih SMA. Yang tidak memiliki kemampuan apa-apa.

Hingga akhirnya ketika saya menerima “amanah” sebagai Ketua Tim, yang dituntut untuk dapat memetakan kemampuan setiap anggotanya, sedikit pencerahan mulai nampak. Dokter, akan sangat ahli dalam hal medis. Itu sangat jelas. Untuk pengetahuan tentang manajemen puskesmas, mungkin lebih banyak saya sebagai seorang SKM karena hampir selama 4-6 semester saya mempelajari tentang manajemen terutama manajemen puskesmas. Perawat, hampir sama dengan medis, meskipun terdapat materi tentang perawat komunitas, promosi kesehatan pasti juga sangat paham, namun apakah juga mendapatkan pengetahuan yang lebih terkait kesehatan lingkungan? Epidemiologi? Biostatistik? Sistem Informasi Kesehatan? Begitu juga dengan Bidan. Bidan akan menjadi sangat ahli dalam hal kesehatan ibu dan anak, itu sangat saya akui. Sedangkan ahli gizi akan sangat ahli dalam gizi. Dari itu semua, saya menangkap bahwa kelebihan SKM yang notabene bergerak dalam Social Science adalah selain kesehatan, dia juga menguasai ilmu social semacam ethnografi. Kemampuan dalam hal melihat peluang untuk menjalankan prinsip “All for Health” atau semua untuk kesehatan. Bahwa semua yang ada di masyarakat sangat bisa untuk mendukung kesehatan.

Pemikiran seperti itulah yang akhirnya sedikit memotivasi saya, hingga saya bisa mengembalikan jati diri saya sebagai seorang SKM. Lalu, apakah ini sudah selesai? Sudah cukup mampukah saya diterima dan menjalan peran sesungguhnya sebagai SKM?

Jawabannya BELUM.

Setelah melihat dan menganalisis itu semua. Saya kemudian membagi tanggung jawab di dalam tim, dimana Dokter, Perawat, Bidan selain bertanggung jawab penuh dalam hal medis, mereka juga harus memegang manajemen puskesmas, UKBM, kesehatan ibu dan anak. Sedangkan yang Ahli Gizi selain fokus di Gizi juga memegang epidemiologi. Dan saya sendiri dipercaya kesehatan lingkungan, kesehatan remaja, survey kesehatan masyarakat, diseminasi informasi baik internal dan eksternal.

Saya pun mulai bersemangat menjalankan peran itu semua. Namun, tak semudah seperti yang saya pikirkan. Ketika saya mulai masuk ke Puskesmas banyak hal yang tidak sesuai dengan logika dan ekspektasi saya. Banyak hal yang seharusnya A tapi menjadi B di puskesmas. Ketika diri ini terdorong untuk merubahnya, semuanya terbentur pada satu hal, Siapa kamu? Baru lulus kemarin saja sudah sok. Tak semudah itu, merubah kebiasaan, walaupun kita tahu itu kurang benar. Tak semudah itu juga membuat pemikiran-pemikiran kita sebagai seorang yang bisa disebut “newbe” dapat dengan mudah diterima.

Geregetan, iya. Frustasi, jelas.

Namun, jika saya menyerah sekarang, lalu buat apa saya sebagai seorang SKM dipercaya menjadi seorang Utusan Khusus Presiden untuk MDGs, seorang Pencerah Nusantara yang seharusnya mampu menjadi pencerah, mengembalikan fungsi puskesmas menjadi yang sebenarnya.

Dari situ, saya mulai menempatkan diri sebagai seorang murid lagi, yang berguru kepada Dosen Ilmu Praktis di Lapangan, ya saya memang harus berguru kepada senior-senuor di puskesmas, menundukkan kepala yang seakan susah ditundukkan hanya karena merasa lebih tahu dari mereka secara teori. Awalnya memang saya menempatkan diri sebagai murid sebagai trik agar bisa masuk ke puskesmas, namun lama kelamaan memang saya merasa saya tahu apa sih? Mentang-mentang kuliah di kampus super terkenal saya terus merasa tahu semua begitu? Dan bahwa belajar itu harus dimanapun dan kapanpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun