"Sebagai Seorang SKM, inilah penghargaan terbesar dalam hidup saya", mungkin barangkali itulah yang saya rasakan saat ini.
Dulu, saya adalah sosok yang gila prestasi. Prestasi yang diukur dengan banyaknya sertifikat juga piala.
Prestasi terbesar yang "mungkin" sukses membuat saya menjadi salah satu "artis" di kampus adalah ketika saya menjadi Mahasiswa Berprestasi karena sering memenangkan berbagai Perlombaan Karya Tulis Ilmiah. Tidak hanya itu, di akhir masa menjadi mahasiswa, saya mendapatkan dua prestasi yang tak kalah bergengsinya yaitu dinobatkan sebagai Wisudawan Berprestasi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga dan menjadi seorang Pencerah Nusantara.
Namun, saya merasa ada sesuatu yang belum terlengkapi dalam tumpukan puzzle "kegilaan" seorang Nurmalasari pada prestasi-prestasi itu. Sesuatu yang bernamakan kepuasan batin.
Siapa sih yang tidak bangga dipuji-puji karena prestasinya? Tapi apakah benar pujian itulah yang saya inginkan?
Hingga akhirnya ada sebuah tanya yang begitu besar dalam diri saya, "Dengan semua prestasi itu, apakah saya dapat bermanfaat untuk masyarakat sebagai seorang SKM? Apakah prestasi itu hanya tameng untuk menutupi bahwa sebenarnya diri ini sebagai seorang SKM tidak bermanfaat sama sekali untuk masyarakat".
Pertanyaan itu terus menerus bergulat dalam benak hingga saat saya harus benar-benar mengabdikan ilmu sebagai seorang SKM di Mentawai, salah satu daerah dengan akses pelayanan kesehatan yang tak terjangkau.
Jika ada yang bertanya, menjualkah prestasi itu di hadapan masyarakat sana? Apakah prestasi-prestasi itu cukup mampu menggerakkan masyarakat disana?Â
Jawabannga tidak.Â
Dari situ saya mulai belajar untuk melepaskan semua pernak pernik prestasi yang memang sepertinya sedikit menjual sekali di kalangan interviewer job seeker.
Saya mulai belajar dari nol menjadi seorang SKM yang memang benar-benar mengabdi dengan seluruh pengorbanan dan cinta tanpa batas untuk menjawab jeritan tangis mereka yang tak mencicipi apa itu hidup sehat.