Mohon tunggu...
Nurmalasari
Nurmalasari Mohon Tunggu... Konsultan - Public Health Specialist

Passionate in Youth4Health & Mental Health | SDGs, Social Network, & Indigenous Enthusiasts

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bapak dan Ibuku: Sarjana Tanpa Gelar

20 Januari 2014   13:36 Diperbarui: 31 Juli 2022   13:55 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seperti kata Marshanda, Allah sudah menyusun skenario terbaik untuk kita. Ya, benar sekali. Jika aku tidak dilahirkan di keluarga ini, akankah aku jadi seperti sekarang ini?

Tangan dingin Bapak dan Ibuku telah berhasil membuatku membentuk kepribadian dan mental bajaku.

Dulu, mungkin aku sangat marah bahkan antipati ketika aku sedang menangis, tanpa banyak bicara, aku langsung disiram dengan air oleh Bapakku. Ternyata kusadari bahwa Bapakku mendidikku agar menjadi wanita yang tegar dalam menghadapi berbagai masalah. Menangis boleh, tetapi masalah tidak akan selesai jika kita hanya menangis dan diam saja.

Tidak hanya Bapakku, Ibuku juga seperti itu. Tanpa bertanya apakah aku masih mengantuk atau tidak, aku tidur jam berapa, maka jam 2 wajib bangun, sholat tahajjud, dan belajar meski sampai ketiduran dan buku dipenuhi luberan tinta. Ternyata Ibuku membentuk gaya belajarku, belajar di pagi hari itu sangat baik.

Tidak semata-mata memaksaku atau menyuruhku untuk belajar, meskipun Ibu tidak bisa mengajariku karena beliau buta huruf —Ibu tidak bisa mengenyam pendidikan bahkan untuk jenjang sekolah dasar sekalipun karena harus bekerja demi membantu Kakek dan Nenek membiayai sekolah ketiga adik-adiknya, namun Ibu menemaniku belajar sembari membuatkanku minuman hangat juga camilan agar aku tidak mengantuk saat belajar.

Masih begitu segar dalam ingatanku, ketika SD-SMA hingga kuliah, aku harus mengurusi segalanya sendiri: daftar sekolah sendiri, mencari kos sendiri. Sampai-sampai, terkadang Bapak dan Ibuku tidak tahu jika anaknya diterima di SMP terbaik di Pasirian (SMP Negeri 1 Pasirian), SMA terfavorit di Lumajang (Sekolah Unggulan Terpadu-SMA Negeri 2 Lumajang), bahkan salah satu perguruan tinggi terbaik di negeri ini: Universitas Airlangga. Ya, mereka berdua mendidikku untuk menjadi mandiri, tidak manja, tidak bergantung kepada orang lain selama itu bisa dikerjakan sendiri.

Aku juga masih ingat, ketika aku meminta dibelikan baju baru atau mainan dan lain-lain, beliau menjelaskan kepadaku bahwa Bapak dan Ibu belum memiliki uang lebih untuk itu. Tetapi, jika itu menyangkut pendidikan, tanpa babibu besoknya langsung ada, bahkan aku bisa punya buku RPAL-RPUL dan sejenisnya yang waktu itu bahkan belum banyak yang memiliki.

Oh iya, hampir lupa. Mulai SD hingga SMA, Ibuku selalu membawakan aku bekal makanan ke sekolah dan mewajibkanku sarapan pagi meskipun kadang nasinya baru 'nyulik' ditambah kadang belum ada lauknya, jadinya nasi ditaburi garam saja. Uang saku yang aku dapatpun, hanya cukup untuk naik bis ke sekolah. 

Bagaimana dengan jajan di sekolah? Aku jarang sekali jajan, karena memang uang sakuku hanya untuk biaya transportasi. Makanya, setiap jam istirahat aku akan makan bekalku di kelas kemudian langsung menuju ke perpustakaan sekolah untuk membaca buku. Hingga aku dijuluki "Anak Perpustakaan" hahaha.

Bahkan, pernah ketika aku memiliki uang lebih, aku memutuskan ke kantin untuk jajan. Respon yang diberikan kepadaku oleh teman-teman rata-rata seperti, "Nurmala, kamu gak salah arah? Perpustakaan kan bukan ke sini. Ini ke arah kantin" hahaha.

Bukan karena terlalu pelit, tapi Ibuku begitu menjaga makanan dan minuman yang aku konsumsi. Selain itu, sarapan juga baik untuk meningkatkan konsentrasi saat belajar. Pun juga, bekal yang notabene dimasak sendiri itu bisa dipastikan kandungan nutrisi dan juga keamanan pangannya. Sumpah, berasa anak gizi banget pokoknya.

Bapak dan Ibuku bukan Sarjana yang tahu tentang itu semua: gizi, gaya belajar anak, dan lain-lain. Mereka saja buta huruf karena tidak pernah mengenyam pendidikan sama sekali. Tetapi, bagaimana mereka bisa mendidikku seperti itu layaknya "seorang sarjana" yang begitu paham akan semua itu?

I don't know. Namun, yang aku tahu, meskipun kami dari keluarga yang serba kekurangan, tetapi mereka sadar akan pentingnya pendidikan bagi anak-anaknya. Allah pun menjabah semua yang Bapak dan Ibuku lakukan demi aku dengan banyaknya kebaikan yang aku dapatkan selama sekolah. Seperti teman-teman yang suportif; guru yang mencarikan aku beasiswa, memberiku buku-buku untuk belajar hingga aku bisa mendapatkan Rangking 1 berturut-turut, bahkan mementoriku hingga aku sampai bisa mengikuti Olimpiade Sains Nasional (OSN) untuk bidang Fisika dan berbagai kompetisi lainnya di bidang matematika.

Itulah kenapa aku sangat bersyukur dilahirkan di keluarga ini meskipun bertumbuh di tengah kejamnya kemiskinan.

Arigatou gozaimasu, Okan dan Oton. Sukidayo :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun