Mohon tunggu...
Nurmala Fauzan
Nurmala Fauzan Mohon Tunggu... Human Resources - Human Resources

Mahasiswa program doktoral Universitas Negeri Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Fokus dan Atensi yang Tercuri

7 Juni 2023   05:30 Diperbarui: 7 Juni 2023   05:43 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Worklife. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pandemi Covid-19 telah mengambil banyak hal dari kita, bukan hanya orang-orang tercinta yang pergi meninggalkan karena kematian, tetapi juga bertahun waktu yang terasa hilang dalam keterasingan. Namun demikian, harus kita akui bahwa pandemi covid  telah memaksa kita mengeluarkan sisi terbaik dari diri, selain ketangguhan menghadapi ketidakpastian juga kemampuan beradaptasi terhadap perubahan yang begitu cepat dan mengganggu.


Yang paling terasa salah satunya adalah perubahan lokasi kerja dan pergantian media pertemuan. Sebelum pandemi, hidup kita dibatasi oleh ruang dan zonasi, dan kita terbiasa membagi-bagi peruntukan suatu area, ada area kantor sebagai tempat bekerja dan rumah sebagai tempat kembali untuk beristirahat usai hari kerja yang panjang dan melelahkan. Namun social distancing menuntut agar batasan ruang itu lebur. Mau tidak mau kita bekerja dari rumah, bahkan tak jarang menghadiri suatu pertemuan virtual dari ruang tidur.
Rapat-rapat panjang yang dahulu selalu dilakukan dengan tatap muka,  karena covid 19 terpaksa diselenggarakan melalui media daring. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, pertemuan-pertemuan daring ini kemudian menjadi biasa dalam keseharian kita selama masa pandemi.


Pertemuan-pertemuan daring ini memiliki banyak kelebihan, selain menghilangkan waktu tempuh (dan ongkos) perjalanan, juga menghemat biaya pemakaian ruangan serta menghilangkan anggaran (misal konsumsi) yang biasanya harus ada pada setiap pertemuan luring. Namun di sisi lain,  pertemuan daring ini membatasi komunikasi non verbal, cenderung rentan terhadap disinformasi dan yang paling fatal menghilangkan batasan jam kerja ataupun keteraturan jadwal. Dahulu kita hanya bisa menghadiri satu pertemuan saja dalam satu waktu, artinya secara fisik kita benar-benar menghadirkan seluruh perhatian kita di satu pertemuan tersebut.  Tetapi sekarang tak jarang kita memasang dua bahkan tiga perangkat elektronik untuk menghadiri rapat yang berbeda namun diselenggarakan pada waktu yang sama. Dan jika sebelum pandemi kita dibatasi oleh sesuatu yang bernama jam kerja, anehnya selama pandemi hampir tak ada lagi yang namanya jam istirahat atau jam pulang kerja, tak jarang rapat berlangsung dengan menabrak jam istirahat makan siang atau bahkan diselenggarakan sampai menjelang tengah malam.


Dan kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, seberapa efektifkah pertemuan daring yang kita hadiri secara bersamaan tersebut, seberapa mampukah kapasitas pikiran kita menyerap semua informasi yang masuk secara berbarengan dan seberapa besar pengaruh dari rapat-rapat panjang tersebut terhadap produktivitas kinerja pegawai.


Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, mari kita mulai dengan dua kata yang saling berhubungan: "fokus dan atensi". Atensi merupakan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada masalah yang dihadapi dan konsentrasi adalah kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam periode yang lebih lama.  


Fokus yang intens terhadap suatu hal dapat membuat orang mengabaikan dan efektif buta terhadap hal lainnya. Hal ini diceritakan dengan sangat baik oleh Chritopher Chabris dan Daniel Simons, dalam percobaannya yang terkenal: The Invissible Gorilla. Chabris dan Simons membuat sebuah film pendek mengenai dua tim yang saling mengoper bola basket, satu tim menggunakan kaus putih dan tim lainnya menggunakan kaus hitam. Para penonton film diberi perintah menghitung jumlah operan bola yang dilakukan oleh tim putih. Tugas ini cukup sulit, dan ketika sesesorang berkostum gorila lewat di tengah pertandingan selama beberapa detik penonton yang diberi tugas menghitung jumlah operan bola sama sekali tidak melihat gorila tersebut lewat di tengah pertandingan.


Dalam beberapa tahun terakhir, ilmu mengenai atensi telah berkembang dengan sangat cepat dan beberapa penelitian menunjukkan bahwa atensi sangat terkait dengan performa seseorang. Semakin terganggu konsentrasi seseoarang, maka kinerjanya akan semakin buruk. Richard Davidson, seorang pakar neurosains dari University of Winsconsin bahkan menyebutkan bahwa kemampuan untuk memusatkan atensi atau fokus adalah salah satu dari kemampuan hidup yang esensial. Namun sayangnya, belakangan ini kita harus berperang melawan gempuran pengalih perhatian yang luar biasa arusnya, yang datang melalui pesan teks, reels yang lewat di Instagram, cuitan di twitter maupun informasi yang lewat dari media sosial lainnya.


Erving Groffman, seorang sosiolog yang ahli di bidang interaksi sosial, mengatakan bahwa saat ini kita mengarah pada suatu fenomena yang disebutnya "menjauh", suatu model interaksi yang menunjukkan bahwa kita ada di sini, namun tak sesungguhnya ada di sini. Betapa sering secara fisik kita sedang bersama dengan teman sejawat, namun tak henti membuka perangkat elektronik untuk sekedar membaca pesan, melihat status teman yang sedang jauh atau bahkan sekedar memotret makan malam yang sedang kita santap bersama dan membagikannya di media sosial. Alih-alih memusatkan perhatian pada sosok nyata teman di hadapan kita, kita bersikap sebaliknya dengan lebih berfokus pada mereka di dunia maya.


Kondisi ini tak hanya terjadi dalam dunia sosial saja, arus informasi yang berlimpah ruah melalui internet, menimbulkan distraksi yang luar biasa sehingga saat sedang mencoba untuk fokus bekerja pun seringkali perhatian kita terbagi dengan pesan atau surat elektronik yang tak berhenti masuk dan menuntut jawaban.


Seorang teman di bagian pemasaran bercerita, jika dahulu ia bisa menyajikan paparan dalam waktu tiga puluh menit tanpa ada kekhawatiran tidak diperhatikan, maka kini ia harus mampu memberikan kesan baik dalam presentasi di lima belas menit pertama, karena jika tidak semua orang akan mulai memeriksa whatsapp mereka. Kecenderungan kuat untuk mengecek pesan atau membuka internet sepertinya menjangkiti hampir semua pemakai perangkat elektronik, sehingga kesulitan untuk memusatkan perhatian setelah rentang waktu tertentu menjadi masalah bersama.


Profesor Earl Miller, seorang ahli saraf di Massachusetts Institute of Technology, mengatakan bahwa otak manusia hanya dapat menghasilkan satu atau dua ide dalam satu pikiran sadar sekaligus. Manusia sangatlah berpikiran tunggal dengan kapasitas kognitif yang terbatas.  Namun sayangnya, belakangan ini kita terjatuh ke dalam ilusi bahwa kita mampu melakukan beberapa hal sekaligus. Para ahli saraf yang mempelajari hal ini menemukan bahwa ketika seseorang melakukan beberapa hal sekaligus sebenarnya mereka sedang melakukan "juggling", peralihan dari suatu hal ke hal lain, yang seringkali tidak kita sadari karena otak melakukan peralihan tersebut dengan sangat mulus. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah otak kita melakukan konfigurasi ulang dari waktu ke waktu, antara satu tugas ke tugas lainnya. Dan peralihan ini bukannya tanpa biaya. Kita harus mengingat apa yang dilakukan sebelumnya, dan harus mengingat apa yang akan kita kerjakan kemudian, dan itulah yang membuat kinerja menurun dan otak kita berpikir lebih lambat. Hal ini disebut sebagai efek biaya peralihan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun