Karena memilih bertahan, harus kupersiapkan serangkai kekuatan untuk menghadapi segala kemungkinan. Bisa jadi bertahanmu kali ini bukan sebab kau memang benar ingin di sisi. Barangkali kau melakukannya karena sekadar inginmu melepaskan rasa hati yang tak kauyakini, dan aku hanya sebagai tujuan pelampiasan diri.
Kali ini, aku tak sekadar berekspektasi. Aku hanya ingin meyakini realita yang perlahan kulewati; untuk semua hal yang telah beranjak pergi dan segala persepsi yang akan terjadi. Untuk satu hal ini; perihal tak melepaskanmu; aku hanya ingin berdamai dengan niat awal yang kuorasikan dalam hati, yaitu membahagiakanmu, tanpa embel-embel ini dan itu.
Kau ingat, kan, Sayang? Sudah sering kali aku menyuruhmu pergi, namun sesering itu juga kau memilih tetap tinggal di sini.
Aku bukan buta dengan posisi. Hanya saja, kau yang tak ingin sepenuhnya kembali; pada cinta yang sebelumnya telah kaujejaki.
Aku juga tidak tuli dengan asumsi. Aku yakin banyak orang yang memandangku hina sebab hadir sebagai parasit atas suatu ikatan yang seharusnya tak ternoda.
Mungkin.
Kau juga tak lupa, kan, Sayang? Sudah sering kali kukatakan bahwa sebabku bertahan karena aku ingin meredam keadaan; selain karena yakinku yang juga menguatkan. Tergambar jelas dalam ingatan suatu perkataan yang sengaja kulontarkan agar kau secepatnya mengambil kesimpulan;
"Kalau di tengah persimpangan ada niatan untuk pulang ke jalan awal, dengan senang hati kupersilakan. Tak perlu risau. Kalau memang sudah telanjur, aku tahu dengan jelas bagaimana cara untuk mundur."
Namun, semua itu tak sedikit pun kauhiraukan. Dengan dalih, tentang aku, kau tak sanggup melepaskan.
Sekali lagi. Aku memilih pasrah pada kondisi. Aku hanya berusaha jujur pada diri. Kalau dibilang naif, memang benar adanya. Mana mungkin ada seseorang yang merelakan hatinya dengan sengaja tersakiti? Tidak juga diriku.