Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ketika Hati Terperangkap di Ruang Tandus

20 September 2023   18:12 Diperbarui: 20 September 2023   18:16 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Marion from Pixabay

"Mak, tenggat bayaran semester sebentar lagi. Rasmi belum ada uang. Gaji yang bulan lalu nggak cukup. Gimana, ya, Bu?" Seorang gadis berwajah muram itu bernama Rasmi Alambana atau biasa disapa Rasmi. Ia mengutarakan kegelisahannya pada sang ibu mengenai daftar ulang kuliahnya yang hampir jatuh tempo. Sebenarnya, Rasmi memiliki sedikit uang simpanan, tetapi jumlahnya masih jauh dari yang seharusnya dibayar. Kini, Rasmi tampak bingung. Jalan satu-satunya adalah menelepon orang tuanya dengan harapan beban yang ia tanggung akan terasa ringan.

"Apa nggak ada perpanjangan waktu, Nduk? Ibu sama Bapak juga sudah berusaha semampunya. Namun, apa daya. Gagal panen kali ini beneran bikin keuangan di rumah juga berantakan."

Rasmi menahan tangis yang nyaris tumpah. Ia tidak ingin membuat ibunya khawatir. Sehingga, sebisa mungkin, ia menelan kepahitan itu sendirian.

"Ya, sudah. Nggak apa-apa, Bu. Nanti Rasmi berusaha melobi kampus. Doakan Rasmi, ya, Bu!" Rasmi segera mengakhiri panggilan teleponnya setelah meminta pada sang ibu untuk mendoakannya. Setelah itu, ia menjauhkan ponsel dari genggamannya. Lalu, tanpa menunggu lama, ia lantas menenggelamkan diri di bawah selimut guna untuk menumpahkan segenap sesak yang bergelayut di dada. 

"Maafkan Ibu sama Bapak, ya, Nduk. Kalau selama ini kami belum bisa menjadi orang tua yang baik buat kamu. Bahkan, kami malah sering merepotkanmu."

Rasmi terisak pelan ketika ingatannya tertuju pada kalimat penuh maaf dari ibunya barusan. Sungguh, ia tidak ingin menyalahkan kedua orang tuanya. Perihal melanjutkan kuliah, ini memang bagian dari mimpinya. Ia juga sudah bertekad untuk membiayai pendidikannya secara mandiri semenjak dua tahun yang lalu.

"Ibu dan Bapak bantu doa saja. Nggak usah terlalu dipikirkan masalah biaya. Rasmi akan nyambi kerja juga. Jadi, bakalan aman untuk biaya hidup dan kuliah. Semoga niat baik Rasmi dimudahkan." 

Kala itu, Rasmi cukup yakin kalau jalannya akan mulus. Ia tidak mempertimbangkan jika terkadang harapan tidak selalu berjalan seiring dengan rencana. Apa lagi, beberapa tahun terakhir perkara ekonomi sungguh menjadi bencana. Sebab, di kota asal Rasmi, yaitu di salah satu daerah ujung Sumatera Selatan, harga karet turun drastis, dari yang semula seharga lebih dari sepuluh ribu, kini bahkan tidak sampai delapan ribu. Sungguh miris sekali. Maka dari itu, pemasukan utama keluarga Rasmi otomatis anjlok. Itulah alasannya ketika hendak melanjutkan studi, orang tuanya langsung angkat tangan. 

Apa lagi sekarang, Rasmi tidak bisa membayangkan bagaimana dua orang kesayangannya itu pontang-panting mencari sumber penghasilan yang lain karena dari sektor pertanian tidak bisa diharapkan.

"Karetnya udah pada ditebang, Nduk. Rencananya mau diganti dengan menanam pepaya. Katanya, hasilnya lumayan."

Itu perkataan ibu sekitar empat bulan yang lalu. Nyatanya, kehidupan kerap mengajak bercanda. Setelah pohon-pohon karet sudah dialihkan pada tanaman pepaya, kemarau panjang melanda. Krisis air turut serta menjadi warna. Sudah lebih dari satu bulan tepatnya, tak ada hujan yang menyapa. Kekeringan pun mendera. Tanah tandus tak dapat dihindari. Jangankan panen. Pepaya-pepaya yang sudah berdiri kokoh pun berangsur layu, hingga tak jarang juga yang sudah mati.

"Pepaya yang waktu itu pada mati, Nduk. Nggak ada air buat nyiram. Sungai kecil yang di dekat ladang itu pun nggak ada isinya sama sekali."

Rasmi meringis ngilu mendengar keluhan ibunya satu minggu yang lalu. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa selain berdoa sebanyak-banyaknya agar hujan segera turun.

"Tuhan, tolong tunjukkan jalanmu!" jerit Rasmi tertahan. Pikirannya benar-benar kalut. Hidup di tanah rantau dengan segudang permasalahan yang masih terus berlanjut membuat otaknya kalang kabut.

"Rasmi, mau nitip?" teriak teman samping kamar Rasmi. 

Rasmi segera bangkit dari posisinya semula. Ia berjalan pelan menuju ke arah pintu. Kemudian, ia menuju ke luar untuk menghampiri temannya tadi.

"Baliknya lama, nggak?" Rasmi bertanya.

Puspa, teman di indekos Rasmi, menjawab dengan santai, "Mau ketemuan bentar sama Daddy, abis itu langsung balik."

"Nggak jadi nitip, deh. Gue mau pesan online aja. Keburu lapar total, nih." Rasmi berujar dengan raut memelas.

"Baiklah kalau gitu. Gua cabut dulu, Say. Kalau ada yang lo pengin, chat gue aja."

Sepeninggalnya Puspa, Rasmi kembali ke kamar. Tanpa menunda, ia mengambil ponsel yang sedari tadi dibiarkannya teronggok sembarangan di ranjang. Setelah itu, ia membuka aplikasi pemesanan. Pilihan Rasmi jatuh pada warung makan yang menyediakan menu khas Sumatera. Ia memutuskan untuk membeli pindang patin. Membayangkan kuahnya yang segar, membuat Rasmi senang.

Setidaknya, aku butuh asupan yang segar-segar dulu biar kepalaku agak tenang. Rasmi membatin.

Puspa: Halo, Rasmi. Gue tahu lo lagi nggak baik-baik aja. Mata lo kelihatan bengkak tadi. Paling nggak, kalo lo mau ngelak, tutupin pake make up sebelum temui gue. Biar gue nggak nebak aneh-aneh.

Jantung Rasmi bertalu-talu sesaat karena mendapat pesan dari Puspa. Belum sempat ia membalas, ada satu pesan lagi memenuhi notifikasi.

Puspa: Lo boleh berbagi beban sama gue, Rasmi. Jangan dipendam sendiri. Lo temen gue satu-satunya di sini, yang nggak pandang sebelah mata setelah tahu tindakan kelam yang gue lakuin ini. Jadi, tolong! Izinin gue bantu lo kali ini. Sehina-hinanya hamba Tuhan satu ini, gue juga mau berbuat baik kayak lo selama ini. Boleh, ya, Rasmi?

Rasmi tergugu selepas membaca kalimat panjang itu. Ia tidak tahu harus seperti apa menyikapinya.

"Apa aku harus kayak Puspa juga, ya? Punya Daddy gitu. Soal duit pasti nggak akan kesusahan, bukan?" Rasmi bermonolog.

Awalnya, Rasmi memang terkejut ketika Puspa terlampau jujur mengenai kehidupan pribadinya yang terbilang suram itu. Menjadi sugar baby. Sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran polos seorang gadis seperti Rasmi. Namun, ia tidak bisa menyalahkan pilihan yang ditempuh oleh Puspa. Konsekuensi yang ditanggung tidak main-main juga, kan? Itu sungguh perbuatan yang salah, tetapi Rasmi tidak bisa mencegah. Ditambah, ia juga sadar kalau perjalanan yang ditempuh Puspa tak kalah berat darinya. Makanya, Rasmi berikrar pada dirinya sendiri agar tidak menghakimi sesuka hati. 

Semua karena tuntutan ekonomi.

Hanya saja, kini Rasmi takut kalau sampai ia juga tergoda untuk melakukan hal serupa. Apa lagi, saat ini hatinya seolah-olah sedang terperangkap di ruang yang tandus. Gersang, seakan-akan tidak ada daya untuk sekadar meluapkan keresahan.

Kamu memang terjebak di ruang tandus, Rasmi. Namun, kamu juga harus berpikir jernih. Hidup dalam kegersangan nggak sebegitu mengerikan kalau kamu berada di jalan yang benar. Ingat! Yang ada pada isi kepalamu itu bukanlah jalan keluar yang tepat. Bisa-bisa, kamu akan terjerumus pada kubangan dosa yang sangat dalam. Kamu nggak mau tersesat kayak gitu, kan? Satu sisi hati Rasmi mengingatkan.

"Maafkan aku, Tuhan, atas cara berpikirku yang tidak karuan. Aku janji, aku akan bekerja lebih giat lagi. Aku juga akan berdoa lebih khusyuk lagi, sampai aku bisa lari sejauh mungkin dari ruang tandus ini."

-Tamat-

Sumber gambar: Koleksi pribadi
Sumber gambar: Koleksi pribadi

Halo, perkenalkan, namaku Lateefa Noor. Aku suka menulis fiksi. Bagiku, menuangkan cerita bisa menjadi sarana curhat yang ampuh agar orang-orang tidak mengetahui kejadian aslinya.

Selain itu, aku juga tergabung dalam komunitas penggerak perempuan di Kota Metro, Lampung. Aku merasa bahagia ketika bisa menjadi penyambung lisan bagi para perempuan yang suaranya teredam oleh keadaan.

Begitu saja profil singkat tentangku. Salam literasi.

Aku juga bisa ditemu di akun Instagram di lateefa.noor. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun