Bagai hujan yang mengalir tanpa beban. Ibarat hari yang terus saja berjalan. Aku, dengan segala resahku, masih saja memikirkannya. Bermain dengan kenangan tentangnya. Tentang rasa yang telah tertanam sejak bertahun-tahun lamanya. Hingga kini, sosoknya selalu menghiasi benakku. Indahnya tak pernah luruh ditelan waktu.
"Apa rasa ini terlalu dalam?" Pertanyaan semacam ini sering menjelma dalam ingatan.Â
"Sepertinya bukan," hati mencoba meyakinkan.Â
Mungkin aku yang terlalu naif. Tak pernah benar-benar tersadar bahwa sebenarnya dia tak sepantasnya kumiliki. Aku pun tak sepatutnya mengharapkan kehadirannya di sisi.
Seperti halnya hujan yang setiap tetesnya jatuh tanpa beban, begitulah diriku, yang selalu mencintainya tanpa tawar. Rasa ini mengalir deras bak tetesmu, wahai hujan. Derasnya tak terbendung. Bagaimana bisa aku menghentikan sesuatu yang bukan dalam kendali ragaku? Meski raga ini merongrong keras ingin menghindar. Namun, jiwa terlalu nyaman dalam kelam.
Di sini, dengan segala gundahku. Aku masih setia menjaga namanya. Masih setia merekam jejaknya. Jejak yang terlalu sulit dibuang begitu saja, meski perlahan. Bukan aku tak berusaha. Bukan aku tak mau mencoba. Aku sudah berjuang sekuat tenaga. Aku bahkan sudah melakukan berbagai cara. Namun nyatanya kosong. Aku tak bisa. Rekam jejaknya masih saja sama, seperti sedia kala. Lekat.
Lalu, aku harus bagaimana? jerit batinku kuat.Â
"Kamu harus mencoba membuka hatimu untuk yang baru." Nasihat seperti itu sering kudapati. Kode tersirat dari orang-orang terdekat yang selalu menancap.
Sungguh, bukan aku tak mau. Aku ingin berlari kencang dari jerat masa lalu yang mengekang. Bahkan, aku sudah berulang kali mencoba melakukan aneka cara. Berkelana menemukan penggantinya. Berharap ada yang mengisi posisinya semula. Namun, aku gagal lagi. Rasanya tak mudah berpasrah dalam lelah.
Apa langkahku keliru? Hatiku bergumam, penuh tanya yang mengambang.
Baru kusadari, ternyata, ini bukan tentang aku yang susah menemukan yang baru, semuanya hanya karena jejaknya yang masih terpenjara erat di sini, di hatiku. Aku hanya mampu berpasrah dengan waktu. Berharap ia tanpa segan membantu. Menolongku menyingkap tabir yang masih saja terpeluk erat di relung hatiku.
Bisakah diri yang jauh dari baik ini berpaling arah? Meninggalkan kenangan yang telah lama tertahan?
Napasku sedikit memburu. Memikirkan harus menyingkirkan sederet kisah manis antara aku dan dia beberapa waktu silam.
"Oh, Tuhan. Bagaimana ini? Tolong tunjukkan aku jalan yang benar!" Aku berucap lirih.
Ah, iya. Aku hanya butuh waktu agar tawar dari candu yang kian hari kian membiru. Aku butuh rona baru yang mampu menyadarkanku dari virus asing yang tak enggan merusak akal sehatku. Sosok impian yang membawaku pergi dari resah yang menderu. Aku benar-benar menginginkan hal itu. Aku mendamba jiwa yang mampu membantu menghapus setiap lirik yang telah lama ku urai dalam pilu. Deretan nada tentang kisahku dan dia yang tak mungkin berpadu dalam satu.
Bertawar bersama kenangan ... aku bisa, kan?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI