Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sepuluh Tahun yang Lalu

4 September 2023   18:29 Diperbarui: 4 September 2023   19:01 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak itu, aku menjadi rendah diri. Rasa percaya diriku tergerogoti. Setiap kali ada yang menawarkan cinta, aku kerap sengaja menjauh. Aku tidak nyaman untuk memulai lagi hubungan baru dengan orang lain. 

"Kamu harus yakin sama dirimu sendiri! Percayalah bahwa masih ada laki-laki yang baik, kok. Yang menerima kamu apa adanya. Yang nggak ngerendahin kamu kayak mantanmu itu. Dunia ini luas, loh. Jangan sampai gara-gara kecewa sama satu orang, kamu sampai membuat semuanya sama aja. Nggak gitu konsepnya, Sis. Jangan jadikan satu laki-laki itu sebagai patokan!"

Nasihat temanku berkelebat di kepala. Pelan-pelan, aku mulai membuka diri. Mencoba dekat dan mengenal beberapa laki-laki. Namun, hasilnya nihil. Sejauh ini, belum ada yang berhasil mengetuk pintu hatiku kembali. Meski sudah sepuluh tahun terlewati, sakit itu masih saja mampu membuat hati nyeri. Sungguh, aku sudah pasrah kali ini. Aku berpikir kalau pun tidak bisa memiliki pasangan, ya, tidak masalah. Aku bisa hidup sendiri.

Namun, perasaan tak menentu menghampiri kala pertanyaan dari Ibu menghampiri, "Nduk, belum ketemu yang pas juga, ya? Ini ada anaknya teman Ibu yang mau kenal sama kamu. Gimana?"

Aku harus gimana, Bu? Apa aku akan dibilang egois kalau terus menerus menolak lelaki yang dikenalkan padaku? Nggak, kan?

Batinku berkecamuk. Ada adu argumen yang tidak terhindarkan. Namun, aku harus berpikir jernih. Sepenting apakah mempunyai teman hidup? Apa ada yang berubah kalau aku menikah?

Aku menghela napas karena merasa lelah dengan pikiran-pikiran yang berkeliaran.

Ah, Ibu. Kan, aku jadi kepikiran.

Kalau ingat Ibu yang sudah mulai renta, aku merasa tidak keberatan kalau harus menuruti keinginannya. Toh, hingga detik ini, ia tidak pernah menuntut apa-apa. Sehingga, tidak ada salahnya untuk membalas jasanya, kan?

Tuhan ... apa aku harus mencoba, ya?

Aku memantapkan diri. Aku bertekad untuk lekas beranjak. Aku tidak ingin terbayang-bayang lagi dengan kenangan yang mengganggu itu. Momen menyakitkan sepuluh tahun yang lalu harus segera dimusnahkan agar aku bisa menjalani hidup dengan benar setelah itu. Aku juga mau membuka lembaran baru, bukan buat orang lain tentunya. Akan tetapi, tujuannya adalah untuk kebaikanku sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun