Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cinta Ditolak, Bapak Budi Bertindak

2 September 2023   18:28 Diperbarui: 2 September 2023   18:31 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Alice Bitencourt from Pixabay

Itu bapak Budi. Dia seorang mantan kepala desa. Auranya yang tegas dan kharismatik membuatnya disegani. Pada masa beliau menjabat, gaya kepemimpinannya membuat masyarakat kagum. Semua orang yang mengenalnya, begitu bangga. Tak terkecuali Budi---anaknya, yang nanti digadang-gadang menggantikan beliau menjadi kepala desa yang baru. 

"Bagaimana persiapan pemilihan nanti, Le?" tanya bapak mantan kades tersebut.

"Sudah hampir seratus persen aman, Pak. Akan tetapi---" Budi ragu ingin melanjutkan. 

Tanpa mendengar penjelasan mendalam, sang bapak pun paham, dilihat dari gelagat Budi yang seperti menanggung beban yang besar. "Perkara hati, to?" 

Ditebak oleh bapaknya begitu, Budi sangat malu. Lalu, dengan berat hati ia bercerita bahwa niat tulusnya mengajak menikah si bunga desa gagal. Bujuk rayunya sudah ia kerahkan, tapi Ani---gadis yang dipuja itu, menolaknya.

"Ya, sudah. Besok malam kita ke rumahnya. Serahkan semuanya pada Bapak." 

Budi mengangguk, menyetujui rencana bapaknya. 

Besoknya, Budi meluncur ke kediaman Ani bersama sang bapak. Raut mukanya harap-harap cemas. Ia takut kalau ada penolakan lagi. Padahal, pemilihan kepala desa sebentar lagi digelar. Ia takut kalau sampai ada yang bertanya, "Bu Kades-nya mana, Pak?" 

Budi bergidik ngeri membayangkan ledekan semacam itu terjadi jika sampai ia belum juga mendapatkan pasangan hingga ia resmi menjadi kades. Sebenarnya, bukan hanya itu yang menjadi alasan ia ingin menjadikan Ani sebagai istri. Budi merasa kalau Ani adalah paket komplit yang akan mampu melengkapi perjalanannya kelak. Ia percaya bahwa Ani merupakan sosok yang layak untuk mendampinginya.

"Kamu beneran sudah yakin, Le?" tanya sang mantan kades dengan penuh selidik ketika tanpa sengaja melihat anaknya yang tampak gelisah sedari sebelum berangkat tadi. "Kalau masih ragu, mending putar balik saja sebelum terlambat," lanjutnya kemudian.

"Bukan ragu, Pak. Hanya saja, takut kalau perasaanku tak terbalas." Budi berucap dengan nada memelas.

"Lelaki harus tegas, termasuk soal hati. Apa lagi, calon pemimpin sepertimu.. Kamu kudu siap menerima segala risiko. Anggap saja ini juga bentuk perjuangan kayak masa pemilihan nanti. Kalau ternyata nggak dipilih, harus ikhlas. Legowo adalah kunci."

Bapaknya Budi menasihati dengan santai. Pikiran Budi sedikit tenang. Meski pun, masih banyak tanya yang belum terjawab. Namun, ia optimis kali ini.

"Mantapkan hati. Jangan lupa doanya juga dikuati." Budi mengangguk dengan semangat kala mendapatkan petuah dari sang Bapak lagi.

Tak terasa, jalan yang ditempuh sekitar setengah jam itu telah usai. Budi dan bapaknya tiba di tempat yang dituju, yaitu rumah si bunga desa yang terletak di ujung gang di dekat pos ronda.

Bismillah, batin Budi.

Sesampainya di depan rumah Ani, Budi dan si Bapak disambut dengan hangat. Ada kudapan yang terhidang manis di meja ruang tamu. Tak lupa, kopi panas pun turut serta menemani.

"Waduh ... malah jadi merepotkan ini, Pak," canda Budi pada bapaknya Ani, tentu saja untuk mengurangi rasa gugup. 

Semua yang ada di sekitarnya pun tertawa lepas.

"Ndak repot, kok, Mas Budi. Kami sungguh merasa tersanjung karena didatangi oleh tamu agung seperti panjenengan." Ibunya Ani menyahut dengan senyum yang sangat lebar.

Selepas basa-basi tentang banyak hal, bapaknya Budi mengutarakan perihal kunjungannya malam ini. "Kedatangan kami ke sini, selain untuk menyambung hubungan, juga ada sedikit perlu sama Ani, Pak, Bu."

"Panggilkan Ani, Buk e!" perintah bapaknya Ani pada sang istri.

Tak berselang lama, Ani pun bergabung di tengah-tengah mereka. Ada debar di dada yang terasa aneh. Takut dan juga gelisah yang dirasakan oleh Ani berpadu menjadi satu. Ia tidak mengerti oleh sebab apa rasa tak beraturan itu hinggap dalam diri.

Setelah penghuni rumah berkumpul, mantan kades yang masih terlihat tampan di usianya yang tak lagi muda itu melanjutkan pembicaraan, "Sebenarnya ... saya ingin melamar Ani---"

Ani panik. Gadis ayu itu memberi isyarat pada Budi untuk menolongnya. Sungguh, ia tidak mau menikah dengan pria yang usianya bahkan lebih tua dari bapaknya. Melihat kode dari Ani, Budi hanya diam saja, sembari tersenyum penuh makna.

"Tolong aku, Mas!" seru Ani tanpa suara, mengarah pada Budi. Namun, lelaki itu hanya menatapnya dengan raut datar saja.

Ani kian resah.

"Gimana Nduk Ani? Mau sama saya atau ... Budi." Mantan kades itu menegaskan. 

"Saya mau sama Mas Budi, Pak," jawab Ani sambil tersipu. Beberapa hari lalu, Ani bukannya menolak Budi. Ia hanya butuh sedikit waktu.

Kedua keluarga itu pun tergelak mendengar jawaban Ani. Gadis itu merasa tertipu. Matanya mengedar ke arah Budi yang sedang cekikikan, seolah-olah mengejeknya habis-habisan. Ani makin kelimpungan menghadapi tingkah calon bapak kepala desa yang membuat hatinya jumpalitan itu.

"Awas kamu, Mas!" Ani berucap lirih sambil mengepalkan tangan.

Itulah namanya cinta ditolak, bapak Budi bertindak. Hingga akhirnya, Budi dan Ani terjebak di buku pelajaran. Maksudnya, pelajaran hidup, yakni Buku Nikah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun