"Bukan ragu, Pak. Hanya saja, takut kalau perasaanku tak terbalas." Budi berucap dengan nada memelas.
"Lelaki harus tegas, termasuk soal hati. Apa lagi, calon pemimpin sepertimu.. Kamu kudu siap menerima segala risiko. Anggap saja ini juga bentuk perjuangan kayak masa pemilihan nanti. Kalau ternyata nggak dipilih, harus ikhlas. Legowo adalah kunci."
Bapaknya Budi menasihati dengan santai. Pikiran Budi sedikit tenang. Meski pun, masih banyak tanya yang belum terjawab. Namun, ia optimis kali ini.
"Mantapkan hati. Jangan lupa doanya juga dikuati." Budi mengangguk dengan semangat kala mendapatkan petuah dari sang Bapak lagi.
Tak terasa, jalan yang ditempuh sekitar setengah jam itu telah usai. Budi dan bapaknya tiba di tempat yang dituju, yaitu rumah si bunga desa yang terletak di ujung gang di dekat pos ronda.
Bismillah, batin Budi.
Sesampainya di depan rumah Ani, Budi dan si Bapak disambut dengan hangat. Ada kudapan yang terhidang manis di meja ruang tamu. Tak lupa, kopi panas pun turut serta menemani.
"Waduh ... malah jadi merepotkan ini, Pak," canda Budi pada bapaknya Ani, tentu saja untuk mengurangi rasa gugup.Â
Semua yang ada di sekitarnya pun tertawa lepas.
"Ndak repot, kok, Mas Budi. Kami sungguh merasa tersanjung karena didatangi oleh tamu agung seperti panjenengan." Ibunya Ani menyahut dengan senyum yang sangat lebar.
Selepas basa-basi tentang banyak hal, bapaknya Budi mengutarakan perihal kunjungannya malam ini. "Kedatangan kami ke sini, selain untuk menyambung hubungan, juga ada sedikit perlu sama Ani, Pak, Bu."