Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pemilu Raya dan Rasa Hilang Percaya

31 Agustus 2023   18:18 Diperbarui: 31 Agustus 2023   18:43 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: koleksi pribadi

Gegap gempita pemilu raya sudah nyaring terdengar. Padahal, pestanya baru akan dimulai tahun depan, kan? Oh, tentu saja. Masa-masa jauh dari gemuruhnya pesta, para kontestan sudah berbondong-bondong mencari suara. Mungkin saja, sekaligus membangun citra.

Benar begitu, bukan?

Para elit partai berbondong-bondong membentuk koalisi. Ramping dan gemuk menjadi gambaran yang dinanti. Para penonton tinggal memantau melalui televisi atau media maya lainnya, seraya menyiapkan diri kalau saja keputusan ternyata tidak sesuai prediksi.

Nantinya, baik skema ramping atau pun gemuk yang akan diikuti, ya, terserah saja. Itu hak sepenuhnya warga negara yang masih bernyawa. Jika yang tergambar pun tidak sesuai harapan, terima dengan lapang dada. 

Sebab, termasuk hal wajar ketika ada yang melakukan cara tertentu demi mencapai tujuan. Selama tidak ada yang dirugikan, biarkan saja. 

Akan tetapi, terkhusus untuk para calon pemangku jabatan di negeri ini, yang tidak diperkenankan adalah ia yang memakai cara tidak benar untuk menduduki kursi puncak, terutama yang secara terpilih dapat menikmati empuknya kursi-kursi di gedung yang akhir-akhir ini penuh kontroversi.

Di dalam gedung berbentuk sayap itu santer terdengar kabar tak menyenangkan dan beragam drama yang tak terelakkan. 

Misalnya saja, kejadian tentang anggota dewan yang terhormat sempat terciduk melakukan praktik kotor. Ada yang tertangkap basah menonton video tak senonoh di ruang rapat. Ketika dikonfirmasi, jawabannya malah membuat geli. Mengelak. Itulah yang terjadi. Ada pula yang terekam kamera sedang melakukan judi slot. Sempat berkilah bahwa itu sekadar permainan untuk melibas rasa bosan saat jeda rapat paripurna. Lagi dan lagi, pandai sekali mengarang cerita.

Kalau begitu, kenapa nggak jadi novelis saja, to? Kan, alur dan latar belakang kisa bisa diatur semaunya. 

Kini, banyaknya fenomena diluar logika semacam itu, membuat pemilu raya seolah-olah menjadi satu paket dengan rasa hilang percaya. Apa lagi, kalau konflik internal terus meninggi. Bisa-bisa, kepercayaan masyarakat bisa tenggelam sebab terbiasa termakan janji-janji manis yang kerap berupa bualan.

Harapannya, sih, ke depannya tidak demikian.

Saat ini, ketika tanpa sengaja menyelami perihal topik yang lumayan sensitif begini, aku lantas teringat kala salah seorang kenalan pernah merasa kecewa pada masa pemilihan periode sebelumnya.

Kala itu, ada satu atau dua tokoh yang didukung dengan segenap jiwa, malah berpindah haluan; merapat pada barisan yang tidak diharapkan.

"Aku sungguh kecewa, sudah tak bela-belain ribut sama saudara dan tetangga, loh. Malah kayak gitu akhirnya. Beda arah. Omongannya inkonsisten. Nggak jelas banget, deh," kata dia dengan lantang.

Salah siapa? Fanatik, kok, kebangetan. Bukankah sudah menjadi rahasia umum kalau--- Ah, aku tak berani melanjutkannya. Barang kali, ada kata-kataku yang keliru dan malah menjadi bumerang bagiku. Kan, seram, ya?

Itulah sebabnya, ada pelajaran berharga dalam setiap problematika yang ada. Salah satunya tentang pemilu raya ini. Adalah, kita tidak boleh terlalu mencintai atau membenci secara berlebihan. Porsinya dibikin pas saja, agar kecewa yang didapat tidak membuat diri kelimpungan.

Menyoal politik ini memang rumit. Arusnya mengalir bak air. Deras sekali. Maka dari itu, kalau tidak ingin tergelincir, sebaiknya butuh kehati-hatian yang tinggi. Sesekali, tengok kanan dan kiri. Sebab, kebanyakan pemilik kewenangan memang berjalan sesuai dengan kepentingan masing-masing. Sehingga, sebagai pemilih harus lebih bijak agar tidak semudah itu terjebak.

Jebakan itu mungkin tidak mematikan, tetapi bisa saja menyakitkan kalau sampai gara-gara beda pilihan sampai ribut dengan orang-orang sekitar. Toh, pihak yang dipilih belum tentu paham gejolak yang riuh di lapisan terbawah. Kenapa pemilih yang budiman malah gaduh di belakang. 

Kali ini, sudah saatnya mendinginkan isi kepala, agar tidak sebentar-sebentar panas. Pun, tidak sedikit-sedikit adu mulut. Dibawa santai saja! Akan tetapi, jangan sampai merusak ritmenya. Selain itu, yakinkan diri bahwa politik itu bisa menjadi pertunjukan yang asyik.

Bagi yang sudah berada pada tingkat hilang percaya, boleh saja, kok. Asalkan, tidak terkena gejala skeptis akut. Bakal bahaya juga. Sebab, semua punya hak suara yang sama, makanya kudu dimanfaatkan sebaik-baiknya. Entah itu membela tim ramping atau gemuk, sah-sah saja.

Jadikan perbedaan sebagai seni, yang tetap saja indah meski dipandang dari berbagai sisi. Seharusnya begitu, kan?

Ah, iya. Saat ini, yang perlu dilakukan adalah mendukung seperlunya dan berdoa sebanyak-banyaknya. Semoga yang berwenang lebih amanah dan sistemnya lekas berbenah, biar ketika pemilu raya tiba, rasa hilang percaya tak lagi menyapa.

Jayalah Indonesia, merah putih di dada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun