Mohon tunggu...
Lateefa Noor
Lateefa Noor Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis amatir yang selalu haus ilmu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ujian Kesabaran

28 Agustus 2023   19:09 Diperbarui: 28 Agustus 2023   19:13 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sabhira atau yang akrab disapa Sasha sangat percaya kalau nama adalah doa. Ia sendiri mengalaminya sekarang. Terkadang, ia ingin memprotes mengenai pemberian nama Shabira yang bermakna orang yang bersabar itu. Sebab, ujian kesabaran itu seakan tidak ada jedanya sampai sekarang. 

Apa harus berganti nama saja, ya? Pikiran Sasha tampak konyol. Seharusnya, ia tidak harus berganti nama. Namun, reaksinya saja yang perlu diubah ketika menghadapi masalah yang menimpa. Tentu saja, agar rasa sabar itu tetap tumbuh dengan subur meski berkali-kali dihantam badai. 

Bagi seorang Puja Kesuma alias Putri Jawa Kelahiran Sumatra seperti Sasha, ujian kesabaran itu lumayan berat. Namun, ia selalu berjuang agar tetap kuat. 

"Sakit, Mas!" erang Sasha sembari memegang tangan sang suami erat. 

Setelah sembilan bulan menunggu diselingi dengan drama rumah tangga yang tak kunjung usai, perjuangan Sasha sebagai calon ibu dimulai. 

Perut Sasha mulai mulas sejak tadi malam. Lalu, keesokan paginya, ia dibawa sang suami untuk periksa ke bidan langganannya. Namun, karena ada kendala, ia disarankan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut di rumah sakit. Sebab, di tempat praktik bidan tersebut, alat-alatnya belum lengkap. 

"Ketubannya sudah merembes dari tadi. Dikhawatirkan janinnya akan kehabisan cairan kalau tidak mendapatkan penanganan yang tepat." 

Setelah mempertimbangkan baik dan buruknya, Sasha dan suaminya, Arjuna, menuruti saran dari bidan tersebut. Sehingga, setelah menyiapkan kebutuhan lengkap, sang tenaga medis dan sopirnya membawa mereka ke rumah sakit. 

Sesampainya di rumah sakit yang dituju, Sasha segera mendapatkan penanganan. Lalu, Arjuna bertugas untuk menyelesaikan proses administrasi. 

"Tetap mau lahiran normal?" tanya Arjuna pada Sasha. 

"Dicoba dulu ya, Mas." Sasha berucap dengan yakin. 

Setelah menunggu sekitar lima jam, keadaan tetap sama. Belum ada perubahan sama sekali. Termasuk, tanda-tanda kontraksi. Namun, yang ditakutkan adalah air ketuban akan habis karena sudah menetes sedari tadi. 

"Kita coba induksi ya, Bu! Kita observasi sampai nanti sore. Kalau tidak ada perubahan, terpaksa harus dilakukan cara lain," kata dokter tanpa ragu. 

"Cara lain?" lirih Sasha sembari menahan nyeri sesaat setelah cairan induksi itu disuntikkan pada selang infus yang terpasang di tangannya. 

Sasha tidak bisa membayangkan efek dari lahiran yang tidak normal seperti orang-orang kebanyakan. Bukan karena rasa sakitnya, tetapi ia memikirkan omongan orang lain yang masih beranggapan bahwa melahirkan dengan cara tidak melalui jalan bayi adalah sebuah kesalahan. Bahkan, bisa dianggap seolah sebagai aib. 

Sakit fisik mungkin nggak seberapa, tetapi sakit hatinya akibat komentar julid itu yang ngeri. Efeknya bisa macam-macam. Mending kalau psikis nggak kena, kalau sampai mengarah pada baby blues juga. Kan, ngeri. Sasha membatin sambil menahan rasa sakit akibat cairan induksi yang mulai bereaksi. 

Arjuna yang melihat kesakitan tergambar pada raut muka Sasha begitu gelisah. Ia sampai tidak kuat ketika harus mendampingi proses demi proses tersebut. 

"Sabar ya, Sayang! Mas yakin kamu kuat," bisik Arjuna tepat di sisi telinga Sasha. 

Sasha mencengkeram tangan Arjuna kuat. Rasa sakit itu perlahan menyerang lebih dahsyat. 

"Gimana kalau ternyata Allah lebih sayang sama aku, Mas?" tanya Sasha seraya menahan nyeri. 

Arjuna menggeleng pelan. 

"Bertahan sedikit lagi ya, Sayang! Nggak boleh menyerah gitu aja. Tunjukkan sama Mas sosok Shabira yang katanya sabarnya berjuta-juta, yang katanya ujian hidup saja sampai minder padanya," tutur Arjuna sambil memegang erat tangan Sasha. Lelaki itu tak pernah sedetik pun berhenti menyemangati sang istri yang sedang berjuang melahirkan buah hati yang selama ini dinanti. 

Setelah berjuang sekuat tenaga dibantu cairan induksi, usaha melahirkan secara normal belum berhasil. Selepas observasi dari siang sampai sore hari, tetap bukaan satu. Apalagi, denyut janin juga sempat menurun. Sehingga, dengan keputusan yang cukup berat, jalan operasi yang dilakukan. 

"Sebaiknya, segera diberikan penanganan, Bu! Detak janin juga makin menurun. Kalau ditunda lebih lama, dikhawatirkan bayinya tidak kuat. Apalagi, air ketuban sudah keluar sejak tadi. Takutnya, si janin akan kehabisan cairan di dalam kandungan dan itu akan berefek tidak baik."

Kalimat panjang dari petugas medis yang menangani Sasha sore itu, cukup mengejutkan. Tak ingin mengambil risiko mengerikan, Sasha dan Arjuna pun memilih untuk operasi sesar. 

Antara yakin dan tidak yakin, Sasha hanya bisa berserah pada Allah saat itu. Demi sang buah hati, ia rela melakukan apa saja, termasuk jika nantinya menjadi bahan omongan tak mengenakkan di lingkungan sekitarnya. 

"Aku nggak apa-apa Mas. Asal dia baik-baik saja." Sasha meyakinkan sang suami kalau ia tidak masalah menjalani operasi sesar. Usaha juga sudah dilakukan dengan maksimal, tetapi jika Allah sudah berkehendak, manusia hanya bisa pasrah. 

Kini, setelah mendengar tangisan sang bayi, hati Sasha lega. Meskipun, selepas obat bius habis, bagian perutnya terasa sakit luar biasa. 

"Anak zaman sekarang memang nggak sopan. Masalah sebesar ini nggak diskusi dulu dengan orang tua. Udah nggak butuh lagi kayaknya. Aku merasa nggak dihargai banget, Mbak."

Sasha mendengar nada menyakitkan itu dengan samar. Sasha menahan sesak. Kemarin, saking paniknya, Sasha dan Arjuna memang tidak sempat mengabari keluarganya. Namun, Sasha tidak menyangka kalau reaksi yang diterima akan sedemikian rupa. 

Sasha paham dengan jelas suara menggelegar itu adalah milik sang ibu mertua yang baru tiba dengan beberapa sanak saudara dari keluarga suaminya. Bisik-bisik tidak mengenakkan itu menyusup ke telinga. Termasuk, pemikiran Sasha yang ternyata benar adanya. 

"Itu oleh-olehnya melawan orang tua. Lahirannya sulit. Anak muda sekarang emang gitu, pada nggak mau ngerasain sakit pas mengejan."

Sasha masih berusaha tetap tegar menangkap kata-kata sadis dari sekumpulan orang di kamar. Sungguh, Sasha miris menyaksikan gelagat orang yang menghakimi sepihak sebelum mengetahui kebenaran ceritanya. 

"Sabar, Sha!" Sasha meyakinkan diri untuk tetap sabar menerima kenyataan pahit itu. Ia memejamkan mata seraya agar sang suami segera kembali ke kamar rawat agar hatinya bisa lebih tenang.

Sasha mulai terbiasa melihat pertunjukan drama yang diperlihatkan di hadapannya. Tanpa bersusah payah membeli tiket, ia kerap disuguhi adegan laiknya sinetron itu. 

"Minta disanding ibunya kayaknya ini, Le!" kata sang ibu mertua pada anak lelakinya karena melihat Si Jagoan menangis. 

See! seru Sasha dalam hati. 

Ungkapan menggebu penuh amarah itu hanya berlaku di depan Sasha, tidak di depan anak lelakinya. Kini, Sasha mulai terbiasa menyaksikan pemandangan semacam itu. 

Sasha segera meraih buah hatinya yang diserahkan oleh Arjuna. Ia menggendongnya dalam pangkuan. Lalu, ia menepuk pelan anak laki-lakinya itu. Tanpa disangka, tangis itu pun mulai reda. 

"Memang beda kalau yang pegang pawangnya," ucap Arjuna sambil tertawa. 

Sasha hanya menanggapi dengan senyum simpul. 

"Jadi anak yang baik ya, Sayang." Arjuna berkata sambil mengecup lembut pipi sang anak. Lalu, berlanjut dengan pipi Sasha yang sontak membuat wanita itu tersipu malu.

Sasha tidak peduli dengan tatapan datar yang kali ini menyorotnya. Sekarang, ia sudah tidak lagi terlalu memikirkan omongan orang lain. Pikirannya harus terus positif agar berdampak baik juga terhadap perkembangan sang buah hati. 

Sungguh, Sasha tidak masalah diperlakukan seperti apapun. Ia tidak menaruh rasa benci sedikitpun. Yang jelas, tugasnya untuk memperbaiki hubungan kurang baik antara suami dan sang ibu itu sudah terwujud. Menurut Sasha, itu sudah cukup. Selebihnya, biarkan Allah yang memainkan peran untuk kelanjutan ceritanya. Sebab, ada satu hal yang tidak bisa diubah, yaitu watak. Maka dari itu, Sasha hanya bisa menggemakan doa agar hati-hati yang sekeras karang itu bisa melembut seiring bergulirnya waktu.

Ambil yang baik dan buang yang buruk, pikir Sasha. 

Kali ini, Sasha selalu meyakinkan diri untuk selalu memupuk rasa bahagia dalam diri. Sebab, jika dituruti, ujian kesabaran itu tidak akan ada habisnya. Untuk saat ini dan seterusnya, ia berharap bisa mengaplikasikan arti dari namanya tersebut dalam kehidupan sehari-hari. 

Shabira. Artinya, orang yang bersabar. 

Sasha percaya bahwa dirinya akan mampu melewati ujian kesabaran dengan bijak. 

"Kamu hebat, Shabira!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun